Komite Perlindungan Jurnalis memprotes perlakuan Indonesia terhadap 2 jurnalis Inggris
- keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
‘Ditahan selama 5 bulan sejak Mei dan diadili hingga saat ini adalah hal yang berlebihan. “Ini kesalahan administratif, bukan tindak pidana,” kata peneliti HRW Andreas Harsono
JAKARTA, Indonesia – Komite Internasional untuk Perlindungan Jurnalis (CPJ) memprotes perlakuan pemerintah Indonesia terhadap dua jurnalis Inggris, Neil Bonner dan Rebecca Prosser.
Menurut CPJ, pemerintah Indonesia memperlakukan keduanya seperti penjahat, meski tidak melakukan tindak pidana.
“Neil Bonner dan Rebecca Prosser bukanlah penjahat biasa, mereka harus diperlakukan sebagaimana mestinya.” ujar Bob Dietz, Koordinator Program CPJ Asia, Kamis, 22 Oktober.
Apa saja aktivitas keduanya yang menyebabkan mereka ditangkap petugas imigrasi?
Bonner dan Prosser memerankan kembali adegan itu.”Perompak di Selat Malaka” untuk proyek film dokumenter di perairan Pulau Serapat Batam, op Jumat malam, 29 Mei 2015.
Namun mereka ditahan pihak imigrasi Batam karena diduga melanggar izin kunjungan di tanah air. Bonner dan Prosser menggunakan visa turis untuk memfilmkan rencana dokumenter mereka akan ditampilkan di saluran National Geographic.
Diperlakukan seperti penjahat
Dietz menambahkan, permasalahan visa yang dihadapi keduanya bukanlah hal baru.
“Indonesia mempunyai sejarah ketat dalam pengurusan visa bagi jurnalis yang ingin meliput isu-isu internasional tanpa batasan,” ujarnya.
“Investigasi praperadilan yang berkepanjangan dan proses pengadilan yang berlangsung berminggu-minggu terakhir merupakan cara yang keras untuk mengatasi pelanggaran imigrasi.”
Pada Kamis, 22 Oktober, Kejaksaan Negeri Batam menuntut keduanya mendapat hukuman lima bulan penjara dan denda masing-masing Rp50 juta.
Peneliti Human Rights Watch (HRW) Indonesia Andreas Harsono juga menanyakan hal serupa.
“Ditahan selama lima bulan sejak Mei dan diadili hingga saat ini adalah hal yang berlebihan. Ini adalah kesalahan administratif. “Itu bukan tindak pidana,” kata Andreas kepada Rappler, Jumat 23 Oktober.
“Mereka harus dideportasi segera setelah diketahui memasuki Batam. “Tindakan TNI Angkatan Laut menangkap dan meminta mereka diadili merupakan iklan buruk bagi Indonesia,” kata Andreas.
Ia berharap majelis hakim mempertimbangkan hukuman penjara keduanya dan berbagai permasalahan yang mereka alami selama persidangan.
Jurnalis asing bebas memberitakan di tanah airnya?
Tentang kejadian yang terjadi Bonner dan Prosser Kali ini, CPJ kembali mempertanyakan komitmen Presiden Joko “Jokowi” Widodo yang memberikan kemudahan bagi jurnalis asing untuk memberitakan.
Janji itu disampaikan Jokowi, kata CJP, saat berkunjung ke Papua pada Mei lalu. “Mulai hari ini jurnalis asing diperbolehkan dan bebas datang ke Papua, sama seperti (kalau datang untuk meliput) di daerah lain,” kata Jokowi, di Merauke, Papua. pada 10 Mei.
Namun jurnalis asing tetap diwajibkan mendaftar dan mendapatkan izin, yang juga bisa ditolak.
Bahkan, pada bulan Agustus pemerintah berubah pikiran ketika diterbitkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri yang mengatur tata cara kunjungan jurnalis asing ke Indonesia.
Peraturan baru tersebut, yang akhirnya dicabut karena mendapat kritik dari jurnalis dalam dan luar negeri, mengharuskan media asing untuk hadir di hadapan direktorat Persatuan Bangsa dan Politik daerah.
Baca lebih lanjut mengenai peraturannya di sini.
Namun hingga saat ini, aturan kenyamanan bagi jurnalis asing masih belum terealisasi.
Menurut mantan Panglima TNI Jenderal Moeldoko yang bertugas saat itu, wartawan asing sebaiknya didampingi tentara, khususnya di wilayah Papua. —Rappler.com
BACA JUGA: