• October 8, 2024

Ekowisata untuk menyelamatkan pariwisata di Pulau Dewata

Denpasar, Indonesia — Tempat wisata ini berada di Banjar Pujung Kelod, Desa Sebatu, Kecamatan Tegalalang, Gianyar, Bali. Sekitar 30 menit perjalanan darat dari Ubud, kota wisata internasional Bali atau satu jam dari Denpasar.

Jika Anda datang dari Ubud, berkendaralah ke Kintamani melalui kawasan Tegalalang. Tempatnya berada di sisi kiri jalan, sekitar 500 meter menuju kawasan wisata sawah terasering Ceking. Namanya Kawasan Agrowisata Bali Pulina.

Kecuraman lembah berpadu dengan pemandangan taman dan persawahan di bawahnya menyambut setiap tamu yang berkunjung ke Kawasan Agrowisata Bali Pulina. Udaranya juga segar dengan cuaca pagi yang cerah di awal bulan Mei. Rasanya sangat menyenangkan.

Bali Pulina sedang naik daun. Wisatawan dalam negeri yang biasanya kurang menyukai wisata berbasis pertanian alias agrowisata kini berbondong-bondong datang ke tempat ini.

Sentuhan lainnya Bali Pulina

Agrowisata sebenarnya bukan hal baru di Bali. Di kawasan antara Denpasar dan Kintamani banyak terdapat objek wisata pertanian. Mereka menggabungkan pertanian dan pariwisata. Para tamu yang kebanyakan turis asing diajak bersepeda, berjalan kaki, atau keluar dari kebun petani.

Berada di ketinggian sekitar 500-700 meter di atas permukaan laut, kawasan ini cocok untuk tanaman berumur panjang terutama kopi dan kakao. Begitu pula dengan tanaman obat.

Biasanya wisatawan akan berjalan menyusuri dinding taman di antara pepohonan kakao yang rindang. Mereka juga akan melihat tanaman kopi, termasuk biji kopi luwak yang dihasilkan para luwak di kandang-kandang sekitar kebun.

Hal baru di Bali Pulina, setidaknya setahu saya adalah Kembang Kopi Meningkatkan. Panggung kayu di tepi tebing, seperti melayang di atas taman. Disebut Bunga Kopi karena bentuknya yang mirip dengan bunga kopi.

Panggung ini menawarkan sentuhan berbeda. Memadukan cita rasa seni melalui bentuknya yang mirip bunga kopi dengan pertanian yang selaras dengan alam.

Di atas Bunga Kopi Meningkatkan, pengunjung bisa melihat keseluruhan kawasan Bali Pulina. Termasuk villa dan bal tempat pengunjung duduk dan menikmati kopi di tengah taman Bali yang indah dan luas.

Ini adalah tempat favorit pengunjung untuk melakukan sesuatu selfie.

Sebuah jalan keluar dari eksploitasi

Pariwisata massal sudah dianggap sebagai satu-satunya model pariwisata di Bali. Faktanya, model pariwisata ini telah mengorbankan banyak hal di Bali, terutama lahan pertanian.

Agrowisata seperti Bali Pulina bisa menjadi salah satu jalan keluar bagi Bali yang masih dimanfaatkan untuk pariwisata dengan model pariwisata massal.

“Bali kurang cocok jika masih dikelola secara berkarakter pariwisata massal“Seperti yang terjadi saat ini,” kata Nyoman Sukma Arida, dosen Program Studi Destinasi Pariwisata Universitas Udayana. Sukma juga merupakan alumnus doktor Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan tesis tentang ekowisata di Bali.

Gerilya kota

Di beberapa tempat lain di Bali, model pariwisata terpadu dengan pertanian juga sedang berjalan. Salah satu contoh yang bisa dijadikan contoh keberhasilan adalah Jaringan Ekowisata Desa (JED). FYI, agrowisata memang merupakan bagian dari ekowisata.

Empat desa di Bali difasilitasi oleh organisasi advokasi lingkungan dan pendampingan masyarakat desa bernama Yayasan Wisnu untuk mendirikan JED pada tahun 2002.

Keempat kota tersebut adalah Tenganan dan Sibetan di Kabupaten Karangasem, Plaga di Kabupaten Badung, dan Nusa Ceningan di Kabupaten Klungkung.

Mereka juga awalnya mendirikan jaringan distribusi barang-barang seperti sayuran dan ikan. Namun kemudian fokusnya lebih pada pengembangan pariwisata berbasis lingkungan, ekowisata. Pengelolaannya dilakukan secara profesional oleh koperasi milik bersama keempat kota tersebut.

Keempat desa tersebut masing-masing memiliki karakternya masing-masing. Tenganan merupakan desa tua yang terkenal dengan adat dan budayanya yang berbeda dibandingkan Bali pada umumnya. Nusa Ceningan adalah salah satu desa di gugusan pulau Nusa Penida. Plaga terkenal dengan pertanian kopi dan sayuran. Desa Sibetan merupakan sentra produksi salak.

Di masing-masing desa tersebut, seperti di Bali Pulina, warga desa tidak perlu berganti profesi. Sehari-harinya mereka tetap bertani namun juga menemani wisatawan yang berkunjung ke desanya.

Desa-desa ini bergerilya untuk berbagi kue besar bernama pariwisata, meski hanya menikmati remah-remahnya saja.

Wisatawan yang datang juga bisa menikmati Bali apa adanya. Bukan Bali yang begitu dipoles demi pencitraan. Di desa-desa tersebut kita bisa menikmati keindahan pedesaan, harumnya taman dan sawah, serta cerita sederhana warga desa.

“Lebih dari itu, JED juga merupakan upaya untuk merebut kembali Bali yang selama ini dieksploitasi secara berlebihan atas nama pariwisata,” kata Manajer JED I Gede Astana Jaya.

Model pariwisata jalan tengah

Ada beberapa alasan mengapa ekowisata bisa menjadi solusi eksploitasi berlebihan Bali melalui konsep pariwisata massal.

“Ekowisata mengarusutamakan rasa hormat terhadap penduduk lokal dan kelestarian lingkungan,” kata Sukma.

Ekowisata bukanlah wisata yang hanya mengejar jumlah kunjungan dan pendapatan. Terdapat pembatasan jumlah wisatawan sesuai dengan daya dukung lingkungan.

Pengembangan ekowisata juga merupakan bagian dari upaya berbagi kue pariwisata yang selama ini hanya terakumulasi di jantung pariwisata Bali, khususnya Kabupaten Badung dan Denpasar. Ekowisata Bali saat ini berkembang pesat di daerah lain, seperti Klungkung dan Karangasem. Dengan begitu, kue pariwisata lebih terbagi antar daerah.

Dengan ekowisata, masyarakat desa bisa tetap menjadi pemilik pariwisata di Bali. Tidak perlu investor karena tidak perlu membangun hotel dan villa mewah untuk wisatawan. Petani tidak harus menjual lahannya lalu menjadi buruh di lahannya sendiri.

Oleh karena itu, model wisata seperti kawasan agrowisata Bali Pulina perlu lebih dikembangkan lagi. Sehingga kue manis bernama wisata ini bisa lebih dinikmati warga sekitar tanpa harus menjual tanah sendiri. Juga agar dollar dari pariwisata tidak hanya menumpuk di tangan investor.

Untuk mewujudkan hal tersebut, Bali membutuhkan pemimpin yang mendukung pariwisata populer, menurut Sukma. Tidak hanya melayani kepentingan investor.

“Tidak mungkin Bali menjadi 100% ekowisata. Jalan tengahnya adalah dengan menciptakan kebijakan pariwisata yang memberikan lebih banyak ruang bagi partisipasi masyarakat dan bisaSaring investor untuk memastikan bahwa investor yang masuk adalah investor yang lebih pro lingkungan,” lanjut Sukma.

“Beri ruang pada masyarakat lokal, maka mereka akan mampu mengelola sumber dayanya dengan baik,” kata Sukma lagi. — Rappler.com

sbobet terpercaya