Kontroversi Subsidi BBM: Jangan Jadi Bangsa yang Manja
- keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
“Oleh karena itu, Bapak Presiden, mohon bantuannya kepada kami. Segera naikkan harga BBM. Agar kita tidak tumbuh menjadi bangsa yang manja.’
JJika saya diperbolehkan menulis surat terbuka kepada Presiden Joko “Jokowi” Widodo, kalimat pembuka saya akan seperti ini:
““Yang terhormat Pak Joko Widodo, mohon segera naikkan harga BBM di negeri ini.”
Betapa tidak, sejak Jokowi memulai tugasnya sebagai presiden Tanah Air, isu bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi menjadi salah satu isu “seksi” yang dibicarakan di sana-sini. Tidak sedikit masyarakat yang mendukung kebijakan tersebut, namun banyak juga yang terang-terangan menolak kebijakan kedua partai berkuasa tersebut dengan alasan kepentingan masyarakat.
Politisi A bilang B, politisi C bilang D. Pejabat ini bilang begini, pejabat itu bilang begitu. Tapi semuanya bernada sama: Seolah-olah Anda sedang membuat pernyataan tersirat, “Jangan salahkan saya kalau saya bilang BBM naik karena saya membela kepentingan rakyat” atau “Masyarakat akan berteriak kalau BBM dinaikkan. akan naik. Orang-orang yang akan dirugikan”.
Hasbullah Thabrany, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, punya contoh yang sangat komprehensif kelompok masyarakat penerima subsidi BBM.
Ia mencontohkan seorang tukang ojek bernama Ahmad yang memiliki penghasilan bersih rata-rata Rp 1,3 juta per bulan. Dia menggunakan rata-rata 2 liter bensin per hari. Jika dihitung, Ahmad mendapat subsidi BBM sebesar Rp12.000 per hari atau Rp300.000 per bulan.
Ada lagi Suparjo, seorang pengusaha kecil sukses yang memiliki empat mobil bagus bersama istri dan dua anaknya yang masih remaja. Meski kaya, keluarga mereka ternyata mengonsumsi bensin bersubsidi. Jika subsidi per liternya Rp 6.000, maka keluarga Suparjo mendapat subsidi BBM sebesar 50 x Rp 6.000 = Rp 300.000 per hari. Sebulan, keluarga Suparjo mendapat subsidi BBM senilai Rp 9 juta.
Lalu, kembali ke politisi kita yang baik hati dan memperhatikan masyarakat, siapakah yang mereka bela sekarang? Orang seperti Ahmad atau Suparjo?
Dear Bapak Joko Widodo, mohon segera naikkan harga BBM di negeri ini.
Saya bukan seorang ekonom, apalagi ahli kebijakan publik. Namun saya cukup memahami bahwa bahan bakar murah yang kita nikmati tidaklah gratis. Di Vietnam, India, bahkan Sri Lanka, harga bahan bakar tidak disubsidi. Harga bensin atau solar berkisar Rp 12.000-Rp 16.000 per liter. Sementara itu, Indonesia menghabiskan sekitar Rp3.000 triliun untuk subsidi bahan bakar selama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono masih berkuasa.
Sampai kapan kita akan dimanjakan? Ya, harga barang akan naik seiring dengan hal dan hal lainnya. Namun di sisi lain, bayangkan jika Rp 3.000 triliun bisa digunakan untuk membangun infrastruktur lain yang lebih dibutuhkan oleh masyarakat kecil di perkotaan.
Mulai dari Rp3.000 triliun, anak-anak di desa Papua atau Nias dapat menikmati perpustakaan dan buku yang lengkap. Dengan kenaikan harga bahan bakar, kita mungkin bisa menikmati sektor transportasi yang lebih memadai, jalan yang mulus atau asuransi kesehatan yang lebih memuaskan dalam dua tahun.
“… Oleh karena itu, Bapak Presiden, mohon bantuannya kepada kami. Segera naikkan harga BBM. Agar kita tidak tumbuh menjadi bangsa yang manja. Bangsa yang berdasarkan gaya hidup menerima begitu saja. Jika Anda menaikkan harga bahan bakar, saya tidak akan ikut berdemonstrasi di jalan, melainkan memuji keberanian Anda.
Mungkin harga nasi goreng yang biasa saya makan akan naik dan harga kopaja yang biasa saya kenakan akan naik dua kali lipat.Tapi pak, benarkah memulai perubahan ke arah yang lebih baik, seperti yang selalu bapak katakan, butuh keberanian dan kemauan yang tulus. ?
Soal kenaikan harga BBM Pak Jokowi, mungkin lebih cepat lebih baik. —Rappler.com
Karolyn Sohaga adalah seorang aktivis sosial yang memiliki ketertarikan pada sastra, isu perempuan dan hak asasi manusia.