Roti madu yang sudah tidak manis lagi
- keren989
- 0
Saat mencari sumber kesalahan, hal yang paling mudah dilakukan adalah dengan merekrut pemimpin itu sendiri. Meski kritik masyarakat bisa menjadi alat kontrol terhadap kinerja pemerintah, namun tidak selalu bernada negatif.
Seratus hari pemerintahan Joko “Jokowi” Widodo diwarnai dengan cuitan ketidakpuasan masyarakat di media sosial. Masa awal yang seharusnya menjadi masa “bulan madu” bagi sang pemimpin justru menjadi momen yang membawanya ke jurang ketidakpopuleran.
Pekan lalu (21/0), Pusat Kajian Sosial dan Politik (Puspol) Indonesia merilis hasil survei yang mengungkapkan sebanyak 74,60 persen responden merasa tidak puas dengan kepemimpinan pemerintahan Jokowi dan wakilnya Jusuf Kalla.
Dalam rilisnya, Direktur Puspol Indonesia Ubedilah Badrun mengatakan penilaian tersebut kinerja pemerintah cenderung negatif di berbagai sektor seperti pendidikan, kartu kesejahteraan, kebijakan ekonomi hingga kebijakan energi.
Mayoritas keputusan yang diambil Joko pada tiga bulan pertama pemerintahannya dinilai tidak populer, mulai dari kenaikan harga BBM (meski kemudian turun lagi), terpilihnya Jaksa Agung HM Prasetyo dari Partai Nasional Demokrat, hingga penundaan pemilu. Kurikulum 2013, eksekusi terpidana mati, terpilihnya Wantimpres, hingga pencalonan tunggal terbaru Budi Gunawan, Komisaris Besar Polri – yang kini menjadi salah satu tersangka dalam daftar komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). ) adalah.
(BACA: Timeline 100 Hari Jokowi)
Hal terakhir ini juga diduga menjadi sumber perselisihan antara KPK dan Polri. Tak heran, tagar #WhereAreYouJokowi dan #ShameOnYouJokowi menghiasi timeline, jelas-jelas menyalahkan Jokowi atas hal tersebut. Pendukung Jokowi kini beralih ‘menyerang’ presiden.
Saat mencari sumber kesalahan, hal yang paling mudah dilakukan adalah dengan merekrut pemimpin itu sendiri. Sama seperti menghentikan penjaga di film Penuntut balas, yang jelas ditujukan kepada ‘kepala’ terlebih dahulu sebagai penanggung jawab pusat. Dan sebagai pemimpin negara ini, Jokowi tidak bisa menghindari kritik karena itu adalah tujuan dari prinsip demokrasi.
Meskipun kritik masyarakat dapat menjadi alat kontrol untuk memantau kinerja pemerintah, namun tidak selalu harus bernada negatif. Berbagai langkah yang diambil Jokowi, meski belum ditindaklanjuti dengan kebijakan konkrit, tetap mengingatkan kita mengapa ia mendukungnya pada pemilu presiden lalu.
Konsistensi yang ditunjukkan Jokowi dalam mendukung lingkungan hidup, khususnya isu kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Baru-baru ini ia berkunjung ke Pontianak, Kalimantan Barat. Di sana, ia mengimbau para birokrat daerah untuk mengurangi titik api yang menjadi sumber kebakaran hutan dan lahan setiap tahunnya di berbagai wilayah Indonesia seperti Riau, Jambi, Sulawesi, dan Kalimantan.
Sebelumnya, Jokowi juga mengunjungi Desa Sungaitohor di Kepulauan Meranti, Riau dan mengatakan hal serupa. Jokowi menyatakan dukungannya terhadap warga sekitar dan mengancam akan mencabut izin perusahaan nakal yang merusak dan membakar hutan dan lahan gambut.
kinerja kabinet
Tak bisa dipungkiri, kinerja kabinet menteri sangat mempengaruhi laju pemerintahan Jokowi-JK. Dan dengan demikian mempunyai pengaruh yang besar terhadap ketidakpuasan masyarakat.
Sejauh ini, belum ada perubahan signifikan yang dilakukan Kabinet Kerja. Faktanya, pos-pos strategis kementerian tidak memperlihatkan taringnya seperti harimau ompong.
Dibandingkan seluruh menteri, hanya Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang terlihat benar-benar bekerja sesuai pidato berapi-api Jokowi saat pelantikannya. Pada masa Susi menjabat, Indonesia menenggelamkan sejumlah kapal ikan asing ilegal. Kebijakan ini meski menuai banyak kritik, namun menunjukkan Susi berhasil. Dia membuat keputusan dan dapat belajar darinya.
Sementara Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani misalnya, hingga saat ini belum menetapkan program pembangunan manusia Indonesia yang spesifik dan konkrit. Politisi PDI-Perjuangan sekaligus putri Megawati Soekarnoputri ini seolah memberi pesan “sedang berlibur”.
Anies Baswedan, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, juga banyak dikritik karena kebijakannya yang menunda penerapan kurikulum 2013 secara keseluruhan. Tidak dihapuskannya Ujian Nasional dari sistem pendidikan kita juga mendapat kecaman dari para pakar pendidikan Indonesia.
Atau sebut saja Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijatno yang baru-baru ini melontarkan pernyataan nekat mengomentari dukungan masyarakat terhadap KPK. Nampaknya menteri kita punya waktu luang untuk mengkritisi kebebasan berekspresi masyarakat yang dianggap “kabur” dibandingkan melakukan evaluasi terhadap keberadaan hukuman mati di Indonesia.
Kini yang jadi pertanyaan, apakah kabinet Jokowi masih layak disebut Kabinet Kerja?
Kritik masyarakat kemungkinan besar akan menjadi refleksi bagi Jokowi untuk kebijakan atau keputusan selanjutnya di masa depan. Kritik masyarakat ini juga bisa menjadi dasar bagi Jokowi untuk mengevaluasi kabinetnya secara keseluruhan.
Jika memungkinkan (dan mungkin), Jokowi akan memanfaatkan momen 100 hari ini untuk mengubah susunan kabinet. Demi melanjutkan pemerintahan yang efisien dan jelas, sebaiknya Jokowi mengganti menteri-menterinya yang tidak kompeten. —Rappler.com
Karolyn Sohaga adalah seorang aktivis sosial yang memiliki ketertarikan pada sastra, isu perempuan dan hak asasi manusia.