• October 11, 2024

Keamanan pangan bukan hanya tentang pemeriksaan label

Saat saya berbelanja di supermarket, saya biasanya mengecek tiga hal: asal produksi, tanggal kadaluwarsa, dan label halal.

Anehnya, saya sering lupa mengeceknya saat berbelanja di pasar tradisional. Tanggal kadaluwarsanya hanya sesekali saja, saat pasar agak sepi dan masih banyak waktu untuk berbelanja. Di supermarket karena bersih dan sejuk, proses berbelanja lebih santai, dan lebih nyaman untuk mengecek ketiga informasi tersebut.

Oke, bukan berarti saya anti pasar tradisional. Bahkan, saya membeli makanan di pasar tradisional setiap minggunya. Bisa di pasar dekat rumah anda di kawasan Jatiwaringin, di Pasar Santa, atau di Pasar Tebet. Sekarang saya sesekali belanja sayuran di Pasar Pondok Indah.

Saya pergi ke supermarket untuk membeli barang-barang yang tidak tersedia di pasar tradisional, misalnya daging untuk sukiyaki, pengharum mobil, atau hair wax merek tertentu. Oh iya, beli juga nasi di supermarket atau di Warung Haji Udin dekat rumahmu.

Ketika isu beras plastik mencuat, meski isu tersebut terbantahkan, saya masih berpikir jika makanan yang saya beli dari pasar atau supermarket benar-benar aman. Saya merasa sedikit tenang karena saya selalu membeli beras, selalu membelinya dalam bentuk paket. Begitu juga gula pasir.

“Mengonsumsi makanan cerdas melawan membanjirnya ‘junk food’, yaitu jenis makanan yang dianggap rendah nutrisi dan mengandung lemak jahat.”

Masalahnya, apakah nasi kemasan dan gula pasir yang saya beli aman dikonsumsi? Bagaimana dengan isu gula rafinasi yang masuk ke pasar konsumen?

Apakah membeli beras dan gula di supermarket lebih aman dibandingkan membeli beras dan gula dalam jumlah besar di pasar tradisional? Jika dilihat sekilas, supermarket sepertinya mempunyai keuntungan karena ada prosesnya kontrol kualitas pada produk yang dijual. Hal ini tidak kita dapatkan di pasar tradisional. Jadi, dalam proses berbelanja di pasar tradisional kita mengandalkan “kepercayaan” kepada penjualnya.

Masalahnya, dalam hidup kita juga banyak menemukan kasus. Kepercayaan yang berlebihan mendatangkan kerusakan dan kekecewaan yang berkepanjangan.

Menteri Perdagangan Rachmat Gobel, saat saya hubungi pekan lalu, mengatakan akan mengerahkan pejabat kementerian untuk memastikan produk yang dijual di pasar tradisional tidak inferior.”keamanan” sebagai produk di supermarket modern. “Kami akan arahkan kebangkitan pasar tradisional, termasuk fungsi pasar sebagai pemasok pangan sehat dan aman, serta harga terjangkau,” kata Rachmat.

Saat ini saya memikirkan tentang “keamanan pangan”. Karena masalah tersebut keamanan makanan tidak kalah pentingnya dari Ketahanan pangan. Kedua, ketersediaan pangan dalam jumlah cukup dan harga terjangkau.

Keamanan pangan memerlukan kesadaran literasi yang lebih besar dari kita, konsumen, secara individu. Peran pemerintah dalam hal ini Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) adalah melakukan pengecekan awal sebelum diberikan label. Tapi berapa banyak yang digunakan sebagai sampel pelabelan?

Belum lagi indikasi yang disampaikan pakar pertanian seperti Profesor Bustanul Arifin pada diskusi “Beras Plastik, Nasi Campur dan Diversifikasi Pangan” yang digelar Ikatan Pengusaha Pribumi Indonesia beberapa waktu lalu. Beras yang kualitasnya buruk, termasuk yang dibagikan kepada masyarakat miskin, bisa saja dipoles dengan bahan kimia tertentu sehingga menghasilkan beras yang mengkilat dan “mengkilat”, seolah-olah beras tersebut berkualitas tinggi.

Siapa yang memeriksa hal seperti ini? Produk yang dipoles secara kimia agar lebih menarik?

Di Amerika Serikat, isu keamanan pangan sedang menjadi isu besar: pertarungan antara produsen pangan organik dan produsen pangan transgenik, atau pihak yang menggunakan benih hasil rekayasa genetika (GMO). Ribuan dolar telah dihabiskan untuk kampanye kedua belah pihak, baik melalui media, media sosial, dan pembangunan komunitas.

Produsen pangan organik yang terdiri dari para petani mendapatkan keuntungan citra karena pangan organik dinilai lebih aman, bebas unsur kimia baik pada benih maupun pupuk. Produsen pangan transgenik terkait dengan elemen korporasi raksasa. Keduanya akhirnya berebut bisnis yang menguntungkan.

(BACA: Meninjau kembali isu pangan transgenik)

Tahun lalu, Nutrition Business Journal mencatat nilai penjualan pangan organik di AS mencapai USD 35 miliar. Makanan organik tersedia di lebih dari 20.000 toko makanan alami di seluruh Amerika, dijual di 3 dari 4 toko kelontong. Untuk pangan transgenik, saya menemukan data penjualan sebesar USD 70 miliar pada tahun 2009. Jumlahnya pasti akan terus meningkat setiap tahunnya seiring dengan semakin banyaknya inovasi bioteknologi terkait pangan.

Dalam “perang” ketahanan pangan ini semua pihak dapat menjadi sumber ketakutan terhadap pangan (makanan karena takut). Mulai dari kelompok lingkungan hidup, jurnalis dan kolumnis makanan, blogger dan aktivis, selebriti dan bintang film, hingga koki selebriti, serta komunitas sains dan kesehatan. Ya, banyak bintang film Hollywood yang menerbitkan buku masak dan resep kampanye pangan organik.

Di sisi lain, terdapat juga website yang menyediakan forum diskusi terkait pangan transgenik, salah satunya didirikan Kevin Foltaseorang profesor sains yang baru-baru ini mempelajari makanan transgenik.

Saya bertemu Kevin Folta minggu ini di Proyek Literasi Bioteknologi di Universitas California Davis.

Yang terjadi di negara-negara maju dengan tingkat literasi konsumen yang tinggi, seperti Amerika, tidak hanya memeriksa tanggal kadaluarsa dan isi label, tapi juga bagaimana makanan tersebut pertama kali diproduksi, kapan ditanam atau dibesarkan. Hal inilah yang kemudian menjadi pemicu terjadinya “perang pangan” antara produsen organik dengan GMO alias produsen GMO yang melibatkan seluruh saluran kampanye media. Perang bisa berakhir dengan tindakan hukum, seperti yang saya tulis saat membahas isu pangan transgenik.

Biasanya kita peduli dengan kualitas dan keamanan pangan ketika kita memiliki bayi atau anak di bawah lima tahun. Kami ingin memastikan bahwa bayi dan anak kecil hanya mengonsumsi makanan yang sehat dan aman. Ketika mereka memasuki usia remaja dan mulai mengonsumsi makanan cepat saji, kesadaran akan keamanan pangan memudar. Hal ini terjadi dimana-mana di kalangan kelas menengah. Baik di Amerika dan juga di Indonesia. Jika Anda tidak setuju dengan pengamatan saya, silakan sampaikan pendapat Anda.

Sejujurnya, saya juga mengalami hal yang sama. Saya sangat mengkhawatirkan keamanan pangan ketika putra saya masih kecil, kemudian menjadi kurang peduli saat ia memasuki masa remajanya. Memang seperti itu merasa bersalah bagi seorang ibu yang merasa bersalah karena setiap hari menyuruh anaknya bekerja di luar rumah, lalu mengabulkan semua permintaan anaknya, termasuk soal makanan. Adakah bapak atau ibu yang mengalami hal yang sama seperti saya?

Kalimat “Anda adalah apa yang Anda makan (Anda adalah apa yang Anda makan)” menemukan realitasnya dalam diskusi terkait keamanan pangan. Mengonsumsi makanan cerdas melawan membanjirnya “junk food”, atau jenis makanan yang dianggap rendah nutrisi dan mengandung lemak jahat. Makanan tidak lagi hanya diusahakan enak, tapi juga menyehatkan, bahkan obat. Perubahan tren mendorong produsen pangan untuk berinovasi.

Industri pangan berkepentingan untuk terus eksis dengan mengupayakan berbagai bentuk inovasi, termasuk melalui proses bioteknologi pangan. Dalam konteks budidaya, penerapannya adalah GMO atau GMO. Dalam konteks produk pangan siap saji, yang ditanam adalah pangan yang diproduksi dengan gizi kesehatan.

Sebagai konsumen, posisi kita adalah “memilih dengan bijak”. Literasi pangan itu penting.—Rappler.com

Uni Lubis adalah mantan pemimpin redaksi ANTV. Ikuti Twitter-nya@unilubis dan membaca blog pribadinya unilubis.com.


link slot demo