• October 6, 2024

Hari Kebebasan Pers, jurnalis menuntut kebebasan berekspresi

MALANG, Indonesia — Badan dunia United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) menyerukan peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia (WPFD), atau Hari Kebebasan Pers Sedunia yang jatuh setiap tanggal 3 Mei. Tahun ini, UNESCO menetapkan tema “Let Journalism Thrive! Towards Better Reporting, Gender Equality and Media Safety in the Digital Era”, atau Menuju Better Reporting, Gender Equality and Media Safety in the Digital Age.

Di beberapa daerah di Indonesia, jurnalis dari berbagai media nasional dan media lokal mendukung peringatan tersebut, Minggu 3 Mei 2015. Di Malang, Jawa Timur misalnya, mereka mengecam berbagai kriminalisasi terhadap pekerja pers, 8 kasus pembunuhan jurnalis yang belum terselesaikan, 80 kasus kriminalisasi kebebasan berekspresi di Internet, serta pembatasan akses jurnalis di Papua.

“Kami sangat prihatin, di era pers digital dan kebebasan pers yang dirayakan di seluruh dunia, masih terdapat bentuk-bentuk pembatasan kebebasan baik di kampus maupun di Papua,” kata Muhammad Zulfikar Akbar, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang. , yang ikut serta dalam aksi tersebut.

Zulfikar merupakan salah satu mahasiswa yang merasakan kemudahan menjadi jurnalis di era digital saat ini. Dia dan sekitar 13 temannya mendirikan situs independen mediamahasiswa.com. Meski dijalankan oleh mahasiswa dari berbagai universitas di Malang, media ini menyebut dirinya sebagai media independen yang membiayai operasionalnya dari berbagai pendapatan di luar bantuan keuangan dari kampus atau lembaga milik negara.

“Kami sudah berdiri selama tiga tahun, totalnya 50 orang, 13 orang diantaranya adalah pengurus. “Penghasilan utama kami adalah iuran bulanan sebesar Rp10 ribu hingga Rp20 ribu per bulan,” kata Zulfikar yang menjabat sebagai Ketua Direktur Media Mahasiswa.

Pembatasan kebebasan berekspresi di kampus

Di sisi lain, pembatasan berekspresi masih sering terjadi di kampus. Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Dianns Fakultas Ilmu Administrasi terus mendapat perlawanan dari kampus UB saat menayangkan dua film independen beberapa waktu lalu, Samin vs Semen Dan Alkinemokiye.

Kegiatan pemutaran film tersebut dibubarkan dengan kekerasan oleh aparat keamanan setempat saat LPM melakukan peninjauan film pada perayaan Hari Buruh, 1 Mei 2015.

“Acara kami dibubarkan paksa oleh petugas keamanan, sebelum jam 9 malam, saat itu kami belum sempat menayangkan kedua film tersebut secara lengkap,” kata Incan, panitia acara review film tersebut. Samin vs Semen Dan Alkinemokiye.

(BACA: Universitas Brawijaya Larang Pemutaran Film Dokumenter ‘Samin vs Semen’, ‘Alkinemokiye’)

Sebelumnya mahasiswa berencana melaporkan dosennya ke Komnas HAM dan Ombudsman RI, setelah mendapat kendala dan intimidasi saat mengajukan program review film pada April lalu. Namun rencana pelaporan itu urung terlaksana.

Terkait pembubaran, Juru Bicara Universitas Brawijaya Anang Sujoko menyebut ada kesalahan waktu pelaksanaan. Menurutnya, mahasiswa melakukan kegiatan di luar jadwal yang telah disepakati. “Tadinya mereka sepakat untuk tampil pada 5 Mei, tapi tiba-tiba mereka mengusulkan lagi,” kata Anang, Minggu, 3 Mei.

80 kasus pidana

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang menambahkan, berdasarkan data Lembaga Reformasi Peradilan Pidana sejak tahun 2008, terdapat sekitar 80 kasus kriminalisasi terhadap warga negara yang menyampaikan pendapat atau ekspresi di Internet. Korban kriminalisasi berasal dari berbagai latar belakang profesi, mulai dari ibu rumah tangga, mahasiswa, aktivis, jurnalis, dan pengacara. “Sudah ada ketakutan di kalangan narasumber ketika wawancara dilakukan oleh media on line karena ‘pasal karet’ UU ITE,” kata Ketua AJI Malang Eko Widianto, Minggu.

Selain kriminalisasi melalui Internet, upaya kriminalisasi yang dilakukan polisi terus berdampak pada pekerja media. Misalnya kasus penetapan Pemimpin Redaksi Jakarta Post Meidyatama Suryodiningrat pada awal Desember 2014 sebagai tersangka pemajang karikatur. Meski kasusnya ditangani Dewan Pers, status tersangka tak pernah dicabut meski Dewan Pers melayangkan surat yang menyatakan kasus tersebut masuk dalam lingkup UU Pers.

(BACA: Pemimpin Redaksi Jakarta Post menetapkan tersangka penistaan ​​agama)

Perlakuan buruk polisi juga menimpa jurnalis Tribun Lampung Ridwan Hardianyah. Ridwan yang juga Sekretaris AJI Bandar Lampung ditangkap mendadak dan rumahnya digeledah tanpa surat perintah penangkapan pada Rabu, 4 Maret 2015. Belakangan diketahui polisi salah orang. Namun kejadian tersebut sudah membuat korban trauma karena bertemu polisi sehingga mengganggu kerja jurnalistik Ridwan.

Belum lagi kasus Udin, sudah 18 tahun pembunuhan jurnalis Harian Bernas Yogyakarta hingga saat ini belum terungkap, lanjut Eko.

Total hingga saat ini Aliansi Jurnalis Independen Indonesia (AJI) telah merilis delapan kasus pembunuhan jurnalis tanpa ada penyidikan terhadap pelakunya.

Tujuh jurnalis lainnya adalah:

  1. Naimullah (jurnalis Harian Sinar Pagi, Kalimantan Barat, dibunuh 25 Juli 1997)
  2. Agus Mulyawan (jurnalis Asia Press dibunuh di Timor Timur, 25 September 1999)
  3. Muhammad Jamaludin (jurnalis TVRI di Aceh, dibunuh 17 Juni 2003)
  4. Ersa Siregara (jurnalis RCTI dibunuh 29 Desember 2003)
  5. Herliyanto (jurnalis tabloid Delta Post, dibunuh 29 April 2006)
  6. Adriansyah Matra’is Wibisono (jurnalis TV lokal Merauke, dibunuh 29 Juli 2010)
  7. Alfred Mirulewan (jurnalis tabloid Pelangi, Maluku, ditemukan tewas pada 18 Desember 2010).

Polisi adalah musuh kebebasan pers 2015

Dengan begitu, AJI pun menyebut polisi sebagai musuh kebebasan pers pada tahun 2015. Meningkatnya kasus pembunuhan terhadap jurnalis yang belum terpecahkan dan kriminalisasi yang terus berlanjut merupakan salah satu indikasi bahwa polisi telah gagal melakukan reformasi diri sebagai pelayan dan pelindung masyarakat.

“Ini keempat kalinya sejak tahun 2007 polisi menjadi musuh kebebasan pers. Presiden Joko Widodo harus melakukan reformasi besar-besaran di kepolisian untuk berubah, kata Eko.

(BACA: Kekerasan terhadap Jurnalis Memburuk di Tahun 2014)

Selain itu, kebebasan pers belum terjadi di seluruh wilayah nusantara pada tahun ini. Di Papua misalnya, kebebasan pers masih dibatasi. Lembaga rumah kosong digunakan untuk membatasi akses jurnalis asing yang ingin memberitakan Papua. Setiap jurnalis asing yang berhasil mendapatkan akses peliputan di Papua kerap kali diikuti atau dikawal saat menjalankan tugasnya sehingga jurnalis tidak leluasa menjalankan tugas publiknya.

Jurnalis lokal sering kali diintimidasi dan bahkan ada beberapa kasus pembunuhan jurnalis. “Keterbukaan akses terhadap jurnalis di Papua justru akan memberikan informasi yang lebih kredibel dan terpercaya, serta dapat menjadi mata dan telinga yang terpercaya bagi pemerintah Indonesia,” kata Eko. —Rappler.com

slot