Ahok tidak sependapat dengan Jokowi soal hukuman mati
- keren989
- 0
Begitu digandeng Jokowi memimpin Jakarta, Ahok tak selalu sependapat dengan Jokowi. Dalam kasus hukuman mati, Ahok tidak setuju.
JAKARTA, Indonesia – Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama tidak setuju dengan Presiden Joko “Jokowi” Widodo tentang hukuman mati. Jokowi mendukung bantuan kematian untuk memberikan efek jera bagi mereka yang terjerat kasus narkoba, namun Ahok tidak sependapat.
“Saya tidak setuju dengan hukuman mati, mereka punya kesempatan untuk menjadi orang yang lebih baik,” kata Ahok di Rutan Pondok Bambu, Jakarta Timur, Sabtu, 28 Februari 2015.
Menurut Ahok, hukuman mati hanya pantas bagi narapidana narkoba yang kedapatan menggunakan narkoba di dalam tahanan.
“Kalau begitu, saya setuju mereka harus segera dieksekusi,” ujarnya.
Sedangkan menurutnya, hukuman yang lazim bagi narapidana narkoba adalah penjara seumur hidup tanpa hak pembebasan bersyarat. Mereka juga harus diawasi dengan ketat selama dalam tahanan.
Apa kata Jokowi?
Ahok mengaku sudah mengutarakan pendapatnya kepada Jokowi, namun ia yakin Jokowi punya pertimbangan berbeda soal penolakan belas kasihan terhadap terpidana mati.
Pak Jokowi teliti, kata Ahok.
Jokowi sendiri pada pekan lalu tetap bersikukuh bahwa tidak akan ada penundaan dalam pelaksanaan hukuman mati.
Saya tegaskan, hukuman mati tidak boleh ada campur tangan, karena hak kita sebagai negara berdaulat adalah menjalankan hukum yang berlaku, kata Jokowi. mediaSelasa 24 Februari.
Ia mendapat seruan dari beberapa negara yang ingin membatalkan hukuman mati terhadap warganya, namun ditolak oleh Jokowi.
Presiden Jokowi: “hukuman mati adalah kedaulatan hukum kita, kedaulatan politik kita.” Tidak, Tuan Presiden. Ini adalah masalah akal sehat, masalah hak asasi manusia
— ging ginanjar (@gingginanjar) 24 Februari 2015
NU dan MPR juga mendukung Jokowi
66. Apakah Jokowi tidak tegas? Buktinya, seluruh bandar narkoba yang divonis hukuman mati langsung dieksekusi. Tidak ada syarat pemberian amnesti bagi Jokowi.
— #Gerila Ahok (@Jenderal_Stroke) 19 Februari 2015
Dalam pertemuan dengan Jokowi, organisasi besar Islam Nahdlatul Ulama menyatakan dukungannya terhadap penerapan hukuman mati.
“Iya, dalam hal ini NU mendukungnya (mendukung) penolakan permohonan ampun narapidana narkoba yang divonis hukuman mati,” kata Ketua Umum PBNU, Said Aqil, pada 26 Februari 2015.
Menanggapi penolakan hukuman mati yang berkaitan dengan kemanusiaan, Said mengatakan narkoba akan menghancurkan Indonesia jika dibiarkan.
“Jika ini dibiarkan, maka korbannya akan mencapai ratusan juta orang, terutama generasi muda. Al-Qur’an sendiri menegaskan hal ini. Siapa pun yang menciptakan atau menghancurkan tatanan kehidupan di muka bumi ini harus dibunuh, kata Said. “Tidak ada gunanya memberi kesempatan hidup.”
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Zulkifli Hasan juga mendukung Jokowi karena Indonesia sedang darurat narkoba, dimana banyak orang dewasa dan anak-anak yang menggunakan narkoba.
“Langkah pemerintah bagus, saya mendukung penuh,” kata Zulkifli mediaRabu 25 Februari.
“Tidak hanya masyarakat sipil, TNI, Polri, ustadz bahkan pendeta kini tak pandang bulu terkena (narkoba).”
Sebanyak 10 orang akan menjalani eksekusi tahap kedua pada tahun ini
DOA untuk kasus narkoba WBP Mary Jane Fiesta Veloso (WN Filipina) di Lapas Kelas II A Yogyakarta pic.twitter.com/xmWS5J3Jg4
— Den Mas Tedjo (@denmastedjo) 15 Januari 2015
Kejaksaan Agung mengumumkan sepuluh terpidana mati akan dieksekusi tahun ini pada eksekusi hukuman mati tahap kedua di Nusa Kambangan.
Di antara mereka yang menunggu eksekusi adalah dua warga Australia, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, warga Filipina Mary Jane Fiesta Veloso, warga Prancis Serge Areski, Rodrigo Gularte dari Brasil, dan Raheem Agbaje Salami dari Nigeria. Jokowi menolak memberikan amnesti.
Meski ada permintaan dari beberapa negara untuk menundanya, namun persiapan tetap dilakukan. Di Bali misalnya, persiapan dilakukan untuk merelokasi Chan dan Sukumaran. Pesawat Sukhoi disiapkan untuk membawa mereka dari Bandara Ngurah Rai menuju Nusa Kambangan.
Mary Jane yang mendekam di penjara Yogyakarta masih berusaha mengubah nasibnya dengan mengajukan peninjauan kembali atas kasusnya. Ia menyelundupkan heroin seberat 2,6 kilogram melalui Bandara Adi Sutjipto pada 25 April 2010. Perkaranya akan disidangkan pada Selasa, 3 Maret 2015 di Pengadilan Negeri Sleman.
“Iya, yang ke-3 terbuka untuk umum. Kalau menolak maka habislah, hak hukumnya telah habis. PK adalah hak yang sah dan harus dipatuhi. “Sidangnya mungkin 1 hari, tapi tolong lihat prosesnya, saya tidak mau berasumsi apa-apa,” kata Asisten Tindak Pidana Umum Kejaksaan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta, Tri Subardiman, seperti dikutip. mediaMusim semi, 27 Februari.
Meski tidak ada bukti baru, namun permohonan PK diterima karena Mary Jane belum pernah mengajukan PK sebelumnya. — Rappler.com