• October 6, 2024

Istri Wiji Thukul bertahan hidup sendirian untuk menghidupi keluarga

SOLO, Indonesia — Suatu sore di ruang tamu rumahnya, Sipon sedang berlomba menyelesaikan pesanan penjahitan daster. Pekerjaannya harus segera diselesaikan agar ia cepat mendapatkan uang untuk membayar cicilan utang setiap bulannya. Jika perlu, ia bersedia bekerja hingga larut malam.

“Karyawan saya sedang berlibur, jadi saya mengerjakan semuanya sendiri. “Kadang semalam saya hanya tidur satu atau dua jam,” kata Sipon.

Di rumah mungilnya di pemukiman padat penduduk Kampung Kalangan, Jagalan, perempuan bernama asli Siti Dyah Sujirah ini kini memiliki perlengkapan kembang gula yang lengkap, mulai dari mesin jahit, mesin overlock, hingga mesin pembuat lubang kancing.

Ia menerima pesanan berbagai macam pakaian, seperti kaos olah raga, seragam sekolah, jas lab dan pakaian lainnya. Dia tidak pernah menolak apa pun yang bisa dia lakukan, meskipun banyaknya pekerjaan sering kali membuat dia sulit istirahat.

Sejak suaminya Wiji Thukul menghilang pada tahun 1998, Sipon berjuang sendirian membesarkan kedua anaknya yang saat itu masih kecil. Bukan perkara mudah baginya menghadapi kenyataan bahwa suaminya menjadi sasaran aparat karena memprotes kezaliman Orde Baru melalui puisi dan demonstrasi. Rumahnya selalu diawasi dan dikunjungi oleh tentara dan polisi.

Buronan dan bersembunyi di berbagai kota sejak Agustus 1996, Wiji Thukul tak pernah menafkahi keluarganya. Sejak saat itu, aktivis penyair ini hanya bertemu satu kali dengan istri dan anak-anaknya, yakni pada 25 Desember 1997 di Yogyakarta, beberapa bulan sebelum ia menghilang.

Percakapan telepon dua bulan kemudian yang memberi tahu Wiji Thukul di Jakarta adalah kontak terakhir.

“Menjadi seorang ibu dan kepala keluarga sangatlah berat, apalagi anak-anak masih kecil. “Hidup saya tidak bisa lepas dari hutang,” kata Sipon.

Ia awalnya mencari nafkah dari pekerjaan serabutan, seperti diundang ke setiap perbincangan tentang orang hilang dan kekerasan terhadap aktivis pro-demokrasi sebagai narasumber dan saksi korban, dengan bayaran yang tidak seberapa. Pada awal reformasi, masyarakat sipil memberikan perhatian yang cukup besar terhadap pelanggaran hak asasi manusia, sehingga banyak diskusi yang dilakukan oleh aktivis pro-demokrasi dan organisasi non-pemerintah.

Sipon juga mendapat apresiasi dari salah satu perusahaan jamu atas perannya dalam merintis Sanggar Suka Banjir, sebuah komunitas pemberdayaan anak-anak kurang mampu di desanya. Namun uang Rp10 juta yang diterimanya sebagian besar digunakan untuk melunasi utang.

“Tak lama setelah Wiji Thukul menghilang, saya mendapat masalah pelik yang hampir membuat saya frustasi,” kata Sipon.

Perselisihan dalam rumah tangga

Rumah yang ditinggalinya menjadi sengketa antara warga desa dengan seorang tuan tanah yang mengklaim kepemilikan atas tanah yang akan digunakan untuk percetakan. Sipon dan kedua anaknya nyaris diusir.

Namun, meski memiliki keterbatasan, Sipon mengumpulkan keberanian untuk melawan dan mencari dukungan dari pengacara yang dikenalnya dengan baik. Ia membimbing warga melalui jalur hukum yang cukup memakan tenaga dan waktu. Pada akhirnya, pengadilan memenangkan gugatan tersebut.

Mesin jahit, satu-satunya modal usaha yang ia beli, akhirnya dijual untuk membiayai perjuangannya mempertahankan rumahnya. Meski begitu, Sipon masih berhutang ke berbagai orang.

Sipon kemudian membeli kembali mesin jahit lengkap untuk memulai usahanya kembali dengan harga sekitar Rp 10 juta. Kali ini dia menjaminkan sertifikat rumah tersebut sebagai jaminan pinjaman modal dari bank.

Sayangnya, proses peminjaman tidak mudah karena tidak ada persetujuan dari pihak pria. Status orang hilang tidak dapat dijadikan dasar hukum perjanjian kredit.

Sipon kemudian menghubungi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk meminta surat keterangan suaminya telah meninggal.

“Surat dari Komnas HAM saya bawa ke kecamatan untuk mendapat keterangan dari pemerintah. Tanpa itu, kredit saya tidak bisa dicairkan, kata Sipon.

Bisnis Sipon terus berjalan dari tahun ke tahun, pelanggan bertambah dan pesanan pun bertambah. Kini dia mempekerjakan dua orang untuk membantu menjahit. Bahkan, ia juga mampu menyekolahkan anak sulungnya, Fitri Nganthi Wani, ke perguruan tinggi swasta di Yogyakarta.

Terlilit hutang

Meski begitu, rasa bersalah masih menyelimuti dirinya. Sisa pinjaman bank sebesar Rp 9 juta dan cicilan sepeda motor belum terlunasi.

“Hal tersulit saat ini adalah membayar utang. “Anak-anak sudah besar dan bisa mencari uang sendiri,” kata nenek satu cucu ini.

Fajar Merah menemukan dunianya sebagai musisi yang baru meluncurkan album Merah Bercerita pada akhir Agustus lalu. Sipon juga mendapat royalti kecil dari beberapa kumpulan puisi Wiji Thukul yang direkam penerbit.

Setidaknya ada enam buku yaitu Pelo, Darman, Soek velde, Aku Ingin Menjadi Peluru I, Aku Masih Utuh, dan Aku Ingin Menjadi Peluru II. Sedangkan Lagu Akar Rumput yang pertama kali terbit di Belanda akhirnya diterbitkan di Indonesia oleh salah satu penerbit besar.

“Saya juga dapat dari penerbit Malaysia Rp 1,2 juta, katanya royalti cetak 500 buku,” kata Sipon.

Anak-anak tidak mempercayainya

Foto oleh Ari Susanto/Rappler

Dia mengatakan dia berjuang untuk membuat putranya percaya. Hilangnya Wiji Thukul menimbulkan rumor tak sedap di luar yang menyebutkan Sipon mampu bertahan karena dibiayai oleh seseorang di Australia.

“Anak saya termakan rumor, marah, dan selalu bertanya dari mana saya dapat uang. “Padahal mereka tidak tahu kalau ibunya sering berhutang kesana kemari untuk bertahan hidup,” kata Sipon.

Tekad dan kerja keras Sipon dalam mencari nafkah akhirnya membuka mata kedua anaknya terhadap sang ibu, seorang pekerja keras yang harus membesarkan mereka tanpa seorang ayah. Sipon dirawat di rumah sakit karena kadar gulanya meningkat akibat kelelahan fisik dan mental.

“Sejak saat itu, anak-anak mulai lebih percaya pada ibunya dibandingkan gosip dari luar,” kata Sipon.

Depresi karena kehilangan suami

Meski kuat bertahan dan menopang perekonomian keluarga hingga menikah dengan anak sulungnya, Fitri, Sipon mengalami depresi akibat kehilangan suaminya yang tidak diketahui penyebabnya.

Berbagai upaya dilakukannya, seperti pelaporan ke Kontras, Komnas HAM, dan DPR, namun tidak ada satupun yang membuahkan hasil. Keberadaan Wiji Thukul tidak bisa dilacak, baik hidup maupun mati.

Dia tidak bisa menyembunyikan kerinduannya pada suaminya. Beberapa waktu lalu, saat bercerita tentang suaminya, Sipon terkadang bisa sangat antusias dengan nada tinggi, terkadang berubah dengan cepat seolah ingin menangis sedih. Menurut Fitri, emosi ibunya sedang labil, seperti penderita bipolar, saat bercerita tentang Wiji Thukul.

Sipon meyakini suaminya masih hidup di suatu tempat, sengaja disembunyikan, identitasnya dihilangkan dan dipisahkan dari keluarganya agar tidak dibunuh. Sipon banyak mendengar cerita dari teman-teman aktivis Wiji Thukul di Jakarta yang yakin suaminya masih di sana.

“Saya masih berharap Wiji Thukul bisa ditemukan karena saya yakin dia masih hidup, seperti yang diyakini teman-temannya,” ujarnya dengan mata berbinar setiap kali bercerita tentang suaminya.

Sipon tahun lalu mengaku senang melihat Joko Widodo mencalonkan diri sebagai presiden. Ia pun menggalang semangat dan mendukung mantan Wali Kota Solo itu untuk menjadi orang nomor satu di Tanah Air agar impiannya menemukan Wiji Thukul bisa terwujud.

“Saya menaruh harapan besar kepada Pak Jokowi untuk menyelesaikan kasus orang hilang dan saya yakin beliau punya banyak petunjuk. Masalahnya sekarang berani atau tidak, kata Sipon. — Rappler.com

BACA JUGA:

demo slot pragmatic