• November 27, 2024

Industri pelayaran keberatan dengan perubahan pajak

Menurut INSA, potensi pendapatan dari sektor logistik angkutan laut lepas pantai mencapai Rp 12,94 miliar. Jika industri nasional dikejar maka dampaknya akan melemahnya daya saing.

Anjloknya nilai rupiah membuat pusing banyak pengusaha, termasuk yang bergerak di bidang pelayaran. Namun ini bukan satu-satunya masalah yang dihadapi Asosiasi Pemilik Kapal Nasional Indonesia (INSA).

Pekan lalu, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat INSA Carmelita Hartoto sibuk menjelaskan kepada anggota asosiasinya rencana pemerintah mengubah pungutan pajak penghasilan industri jasa, dari pajak penghasilan (PPh) final menjadi non final.

“Pusing, Kak. Pekan ini terjadi bolak-balik, rapat, dan juga menanyakan kepada regulator mengenai rencana tersebut. Kenapa kita yang harus aktif mencari tahu?” kata Carmelita saat saya hubungi pada Sabtu, 14 Maret sore.

Pada Kamis, 12 Maret, pemerintah meluncurkan 8 paket kebijakan untuk meredam depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Pada poin 6 pengumuman Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil terungkap bahwa Kementerian Keuangan, Kementerian Perhubungan, dan INSA akan menentukan formulasi pembayaran pajak bagi perusahaan atau pemilik pelayaran asing.

8 jurus Jokowi selengkapnya bisa Anda baca di sini.

“Sampai saat ini kami belum diundang untuk membahas paket kebijakan tersebut. Tapi kami berharap. Pasalnya, kebijakan perpajakan ini selalu menjadi bahan diskusi bersama Direktorat Jenderal Pajak sejak lama. Sejak pemerintahan sebelumnya. Mau pakai final atau non final? “Bukannya kami tidak mendukung upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak, tapi kami ingin prosesnya menjamin keamanan dunia usaha,” kata Carmelita, yang juga menjabat Direktur Utama PT Andhika Lines, perusahaan yang dipimpinnya dan mengoperasikan puluhan perusahaan. kapal.

Menurut Carmelita, INSA berharap kebijakan pemerintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk meningkatkan penerimaan pajak tidak kontraproduktif terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, khususnya di sektor logistik.

“Kebijakan yang kontraproduktif akan berdampak pada kenaikan biaya produksi, melemahnya daya saing produk dan jasa kita, yang pada akhirnya berdampak pada daya beli masyarakat,” kata Carmelita.

Pemerintah berencana mengubah PPh final bagi perusahaan pelayaran menjadi PPh non final. Yang kedua berarti akan ada proses negosiasi yang panjang mengenai apa yang termasuk dalam biaya dan apa yang tidak. Kebijakan pajak non-final diterapkan pada tahun 1990an, dan telah diubah sejak saat itu.

“Jika pemerintah sekarang ingin menerapkan PPh non final, hal itu tidak sesuai dengan semangat pemajuan poros maritim dan penurunan biaya logistik,” kata Carmelita.

Pemberlakuan PPh final bagi pengusaha pelayaran nasional merupakan bagian dari implementasi UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran khususnya pasal 56 dan 57. Bagi industri pelayaran, PPh final dinilai terbukti mampu meningkatkan pertumbuhan usaha pelayaran nasional secara signifikan. Pendapatan pemerintah dari sektor pelayaran juga meningkat.

Berdasarkan catatan INSA, indikatornya terlihat dari peningkatan populasi armada niaga nasional selama 10 tahun terakhir, yakni meningkat dari 6.041 kapal pada tahun 2005 menjadi 13.244 kapal pada awal tahun 2014, atau meningkat sebesar 119%.

Indikator lainnya adalah jumlah kargo dalam negeri yang diangkut oleh kapal milik perusahaan pelayaran nasional yang mencapai 98,58% sehingga meningkatkan kontribusi pelayaran terhadap Produk Domestik Bruto Indonesia. Nilainya mencapai Rp 148,97 triliun.

Selama ini mekanisme dan kebijakan perpajakan industri jasa nasional diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 416 Tahun 1996 diatur.

Ketua DPP Perpajakan INSA Indra Yudi menambahkan, reaksi negatif terhadap rencana penerapan pajak non final ditandai dengan anjloknya harga saham mayoritas perusahaan pelayaran yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). adalah. “Tidak ada jaminan pajak akan naik jika ternyata dampaknya terhadap bisnis pelayaran negatif,” kata Indra Yudi dalam keterangan tertulis yang saya terima.

Jika tujuannya untuk meningkatkan pendapatan negara, DPP INSA menyarankan kepada pemerintah agar dilakukan dengan mengintensifkan pemungutan pajak terhadap kapal asing yang membawa muatan ekspor Indonesia yang selama ini diduga tidak membayar pajak di dalam negeri.

Dalam kajian INSA, perkiraan penerimaan perpajakan, baik pajak pertambahan nilai maupun PPh yang berasal dari kapal asing, dapat dipungut oleh pemerintah, khususnya dari angkutan komoditas pertambangan, batu bara dan kapal. minyak sawit mentah (CPO) dan komoditas lainnya mencapai Rp5 miliar hingga Rp12,94 miliar per tahun. “Seharusnya menjadi fokus pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak dari sektor pelayaran,” kata Carmelita.

Mekanisme pemungutan pajak yang paling efektif terhadap kapal asing yang membawa muatan ekspor Indonesia adalah dengan mewajibkan kapal asing untuk menyerahkan bukti pembayaran pajak pada saat kapal asing tersebut keluar negeri.

Pemerintah berupaya meningkatkan penerimaan pajak dari sektor jasa dan industri nasional yang selama ini dinilai kurang optimal dalam menunjang penerimaan negara.

Sektor-sektor tersebut antara lain PPnBM atas penjualan rumah mewah, penyerahan hasil tembakau, PPh Pasal 22 hasil pertambangan Mineral dan Batubara, Perubahan Peraturan Pemerintah No. % PPN tol penggunaan jalan dan perubahan pajak penghasilan final bagi perusahaan pelayaran dalam negeri berdasarkan PMK 416 Tahun 1996.

Carmelita berharap pemerintah dalam mengambil kebijakan juga melihat praktik yang berlaku di negara lain, termasuk negara tetangga. “Tidak perlu jauh-jauh, biaya pajak yang harus ditanggung industri pelayaran nasional lebih besar dibandingkan di negara seperti Singapura,” kata perempuan yang memimpin 1.200 anggota INSA ini.

Di Indonesia, industri pelayaran dikenakan PPh Badan sebesar 1,2%, PPh Pasal 21 (gaji awak kapal) 5-30%, PPN pengurusan muatan sebesar 10%, PPN sewa kapal non pelayaran sebesar 10%, dan bunker bahan bakar kapal sebesar 10%. TONG.

“Di Singapura dan hampir semua negara, industri pelayaran tidak perlu membayar poin pajak tersebut,” kata Carmelita. —Rappler.com

Uni Lubis adalah mantan pemimpin redaksi ANTV. Ikuti Twitter-nya @unilubis dan membaca blog pribadinya unilubis.com.


Data Sydney