• September 23, 2024

Jokowi Marah ‘Living Time’ di Tanjung Priok, Apa Solusinya?

Pada hari Rabu, 17 Juni, Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengunjungi pelabuhan terbesar di Indonesia yang terletak di utara ibu kota Jakarta. Hasilnya, seperti yang kita lihat di pemberitaan media, Jokowi marah karena waktu tinggal yang masih cukup lama yaitu 5,6 hari. Targetnya adalah 4,7 hari.

Waktu tinggal adalah waktu tunggu peti kemas di pelabuhan. Hal ini menjadi faktor penting dalam menentukan kinerja suatu pelabuhan dibandingkan dengan pelabuhan lain di suatu wilayah.

Rata-rata waktu tunggu pelabuhan di Indonesia merupakan yang terlama di kawasan ASEAN. Pendiri dan Ketua Umum Persatuan Pengusaha Indonesia Sofyan Wanandi pernah mengatakan rata-rata waktu tunggu di pelabuhan Singapura adalah 1,5 hari, di Malaysia 3 hari, dan di Thailand 4 hari.

“Di Indonesia bisa 14 hari,” kata Sofyan dua tahun lalu. Menurut Sofyan, penyebabnya adalah sulitnya koordinasi antar instansi yang terlibat di kawasan pelabuhan: ego sektoral. Kini, di pemerintahan Jokowi-JK, Sofyan Waandi duduk sebagai koordinator staf wakil presiden bidang perekonomian.

Lihat data terkait Sofyan Wanandi waktu tinggal Di negara-negara teratas di ASEAN, wajar jika Jokowi kesal. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Indroyono Soesilo yang hadir pada kunjungan Rabu pekan lalu juga ikut kecipratan, begitu pula para pejabat yang hadir, termasuk Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia II RJ Lino. Jokowi bahkan mengancam tak segan-segan mencopot pejabat yang bertanggung jawab, mulai dari petugas lapangan hingga menteri.

Berbasis di pelabuhan

Di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Menteri Keuangan Chatib Basri pernah menginstruksikan Wakil Menteri Keuangan Mahendra Siregar untuk berkantor di Pelabuhan Tanjung Priok minimal dua hari dalam seminggu. Tujuannya untuk mengawal langsung koordinasi antar lembaga dan memastikan waktu tinggal tidak lebih dari empat hari. Terdapat 18 instansi dari 8 kementerian yang mempunyai kewenangan terhadap pelabuhan.

“Ego sektoral tinggi, perlu dipatahkan dengan menunjuk siapa yang paling berwenang di pelabuhan, sehingga waktu tunggu berkurang dan proses arus barang lebih efisien,” kata MS Hidayat, mantan Menteri Perindustrian.

Hidayat yang saya wawancarai melalui telepon, Kamis, 18 Juni, mengatakan, saat itu ia bahkan meminta waktu tunggu dipersingkat menjadi dua hari. Hanya berselang beberapa pekan setelah Wakil Menteri Keuangan Mahendar Siregar mengemban tugas pengawasan langsung, ia mendapat penugasan baru sebagai Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal. Lagi-lagi koordinasi di pelabuhan jadi abu-abu, semua orang merasa tak mau kalah, apalagi kewenangannya dikurangi.

Di media massa saat itu, Direktur Utama Pelindo II RJ Lino menuding Bea dan Cukai menjadi penyebab lambatnya kemajuan tersebut. waktu tinggal. Proses di Bea Cukai, kata Lino, sekitar 4,8 hari dari total 9 hari penantian. Keras kepala pengusaha impor juga berperan besar.

Tim Ombudsman melakukannya penyebab keterlambatan dipublikasikan waktu tinggal di empat pelabuhan utama Indonesia, termasuk Tanjung Priok. Dalam daftar Ombudsman terlihat masih lemahnya koordinasi antar sektor. Misalnya, Cargo Manifest yang diterima Direktorat Jenderal Bea dan Cukai disebutkan tidak segera dikomunikasikan kepada instansi terkait, termasuk Badan Karantina. Banyak juga kontainer yang perlu diperiksa satu per satu di jalur merah.

Maret lalu, Menko Indroyono menginstruksikan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan mengendalikan penurunan tersebut waktu tinggal di pelabuhan. Targetnya adalah menurunkan rata-rata dari delapan hari menjadi 4,7 hari, sesuai keinginan presiden. Jonan diminta menyiapkan otoritas pelabuhan untuk memantau kegiatan terkait perizinan. Semuanya bisa dipantau secara langsung on line.

Dilihat dari kemarahan Jokowi, tampaknya upaya tersebut belum terlaksana. Padahal Jokowi punya data waktu tunggu yang buruk menyebabkan kerugian tak kurang dari Rp 780 triliun akibat inefisiensi biaya logistik.

Usulan dari INSA

Carmelita Hartoto, Ketua Asosiasi Perusahaan Pelayaran Indonesia (INSA), sependapat dengan presiden tentang kenaikan biaya logistik karena waktu tunggu yang lama.

“Pertanyaan waktu tinggal Kondisi buruk di Priok memang menjadi permasalahan bagi kami karena menimbulkan biaya logistik yang tinggi. “Tidak mudah mengatasinya kecuali pemerintah bergerak cepat membagi konsentrasi arus barang agar tidak menumpuk di Priok saja,” kata Carmelita saat saya hubungi melalui telepon, Kamis.

“Aku bertanya, tidak ada jawaban, jadi aku mencari jawabannya sendiri dengan caraku sendiri. “Kalau sulit, saya bisa copot Dirjennya, saya bisa copot pelakunya di lapangan, saya juga bisa copot menterinya,” kata Presiden Jokowi.

Selain ego sektoral, kurangnya koordinasi, dan lemahnya pelaksana di lapangan, Carmelita menilai kapasitas Pelabuhan Tanjung Priok kurang memadai. “Salah satu solusi yang perlu diwujudkan adalah dengan membangun pelabuhan baru. Cilamaya menjadi pilihan terbaik karena akan mengalihkan sebagian besar arus barang yang ditangani di Priok, ujarnya.

Ia juga mengingatkan, ada Cikarang Dry Port yang tidak jauh dari Jakarta namun dikelola swasta. Masalahnya, apakah Pelindo akan mengalihkan sebagian muatannya ke pelabuhan lain? Carmelita bertanya.

Hidayat mengatakan perdebatan mengenai Pelabuhan Cilamaya sudah berlangsung lama. “Mudah-mudahan Pak Jokowi mengambil keputusan. “Jika tidak, inefisiensi logistik akan terus berlanjut,” kata Hidayat.

Pelabuhan Cilamaya mempunyai permasalahan tersendiri. Pertamina mengajukan keberatan pemerintah membangun pelabuhan di sana.

Ada pula usulan lain yang menghidupkan Pelabuhan Kalibaru. Masalahnya sama. Akses menuju ke sana. Carmelita mengatakan, ketidaksesuaian Tanjung Priok juga terlihat dari jalur keluar masuk yang semakin padat. “Saat ini truk bisa berjalan satu arah dalam satu waktu. Sebelumnya, saya bisa bolak-balik tiga kali. Bagaimana Anda ingin menjadi efisien? Makanya ini urusan antarlembaga. “Tidak bisa menyalahkan menteri,” kata Carmelita.

Pembentukan badan otoritas pelabuhan dan pelayanan 24 jam 7 hari juga ditawarkan sebagai solusi. Menurut penelitian INSA semakin meningkat biaya penanganan terminal (THC) sebesar 300% seperti yang dilakukan pada era SBY terbukti tidak menyurutkan semangat importir untuk menimbun barang di pelabuhan.

“Daripada menyewa lahan penyimpanan di luar kawasan pelabuhan, lebih baik mereka membayar kenaikan THC. Itu dibebankan kepada konsumen. Tak heran, biaya logistik turut menyumbang mahalnya harga produk. “Ekonomi biayanya tinggi,” kata Carmelita.

Jika membaca kemarahan Jokowi, dan melihat birokrasi yang terlibat dalam pengelolaan penanganan barang di pelabuhan, justru ada ironi. Di tingkat menteri, masyarakat memang sudah berubah. Namun di tataran pelaksanaan di lapangan, termasuk pihak Bea dan Cukai serta bos PT Pelindo II, masih dipegang oleh orang yang sama, RJ Lino.

Direktur Jenderal Bea dan Cukai Agung Kuswandono baru saja dilantik menjadi salah satu deputi di Kantor Menteri Koordinator Indroyono. Orang-orang tersebut dapat segera mempertanggungjawabkan kinerjanya selama ini. Mengapa tidak ada solusi untuk masalah lama dan berhasil?

Sebagai konsumen, jika pemerintah serius memastikan biaya logistik menjadi lebih efisien sehingga harga barang menjadi lebih terjangkau, tentu saya mendukungnya. Apalagi menjelang lebaran seperti ini, saat harga naik karena berbagai sebab termasuk peningkatan permintaan.

Anomalinya, frekuensi makan sehari-hari menurun, namun kebutuhan pangan meningkat. Dampak akhirnya adalah tingginya inflasi pada bulan Ramadhan dan Idul Fitri.—Rappler.com

Uni Lubis adalah jurnalis senior dan Eisenhower Fellow. Dapat disambut di @UniLubis.


taruhan bola