‘Ingat, Jokowi mewarisi stabilitas ekonomi dari SBY’
- keren989
- 0
Kemarin, Selasa (23/12), saya diundang untuk mengikuti acara pelatihan di lingkungan komunikasi korporat PT Astra International. ya teman Lanskap Media 2015. Intinya, teman-teman yang bertanggung jawab di bidang hubungan internal dan eksternal di perusahaan publik ingin mengetahui bagaimana perkembangan industri media di tanah air, implikasinya terhadap pola komunikasi dengan dan melalui media, tentang potensi komunikasi publik di era digital, menghadapi krisis, dan sebagainya.
Berhadapan dengan mereka, saya jadi teringat saat saya meliput Astra International, awal pertengahan tahun 1990-an. Wawancara dengan pendiri konglomerat ini, William Soeryadjaya, serta putranya Edward Soeryadjaya dan Edwin Soeryadjaya. Berkesempatan pula meliput perkembangan pembalap profesional seperti Rini Mariani Soemarno dan sejumlah pembalap papan atas Astra.
Kantor mereka dulunya berada di Jalan Djuanda, kawasan seberang Istana Negara. Jadi, saya mengingatkan teman-teman di departemen komunikasi korporat Astra tentang pengalaman itu.
Apa yang menurut saya paling mengesankan adalah ketika meliput masa-masa tersulit. Yakni saat Bank Summa milik keluarga Soeryadjaya terkatung-katung akibat ekspansi berlebihan, hingga terjerat kredit macet senilai Rp 1,4 triliun.
Drama yang menimpa keluarga taipan terkaya kedua atas eksploitasi bisnis Edward ini bisa jadi layak dijadikan film seri. Saya membayangkan proses di balik layarnya tak kalah dengan serial Dynasty, Saga keluarga pengusaha minyak super kaya Blake Carrington yang pernah populer di televisi ABC.
Liputan saya waktu itu untuk Majalah Warta Ekonomi. Belum ada versi cyber. Bagi pembaca yang ingin mengetahuinya, link tragedi likuidasi Bank Summa telah disalin ke halaman tersebut Laju itu bisa menjadi referensi.
Summa Bank dan krisis ekonomi tahun 1998
Bank Summa akhirnya dilikuidasi pada tahun 1992. Permasalahan yang ditimbulkan oleh Edward Soeryadjaya yang ingin mendongkrak kesuksesan bisnis ayahnya, akhirnya harus diselesaikan oleh ayahnya dengan pengorbanan yang luar biasa, termasuk kepemilikan di Astra. (Sekarang reputasi Edward Soeryadjaya kembali menanjak. Ia dikenal sebagai pengusaha yang dekat dengan Presiden Joko “Jokowi” Widodo.)
Bank Summa merupakan potret dunia perbankan akibat deregulasi tahun 1988. Mudahnya mendirikan bank. Saya ingat, sebagai jurnalis yang meliput perbankan, saya menghadiri setidaknya satu atau bahkan dua peresmian bank atau kantor bank setiap malam. Dulu ada candaan, jika kerikil dilempar ke udara, kerikil tersebut akan jatuh ke atap kantor bank. Sangat luas.
Saya ingat, sebagai jurnalis yang meliput perbankan, saya menghadiri setidaknya satu atau bahkan dua peresmian bank atau kantor bank setiap malam. Dulu ada candaan, jika kerikil dilempar ke udara, kerikil tersebut akan jatuh ke atap kantor bank. Sangat luas.
Persatuan Lubis
Korban berjatuhan ketika Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan moneter ketat, saat perekonomian memanas pada tahun 1992-1997. Puluhan bank bangkrut. Sebagian besar juga merupakan perbuatan saya sendiri. Kurangnya modal, menyalurkan kredit ke perusahaan yang terkait dengan pemilik bank. Pelanggaran batas pinjaman yang sah.
Krisis moneter tahun 1997-1998 yang berujung pada tumbangnya rezim Soeharto menjadi pelajaran pahit sekaligus koreksi bagi perbankan dan perekonomian.
Sejak saat itu, kehati-hatian menjadi tema sentral pengembangan perbankan. Fundamental perekonomian diperkuat dengan berbagai regulasi. Saya melewatkan sebuah kasus dana talangan Bank Abad. Tapi, biarlah proses hukum berjalan.
Pada tahun 2008, ketika krisis keuangan melanda Amerika dan dampaknya terhadap Eropa dan seluruh dunia, Indonesia relatif aman dan terus tumbuh positif. Kami dibalas dengan undangan kepada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menjadi anggota kelompok negara G20.
Jadi, dalam 10 tahun kepemimpinan Pak SBY, salah satu yang patut diapresiasi meski dikritik dan gagal adalah keberhasilannya menjaga stabilitas politik dan ekonomi.
Perekonomian Indonesia tahun ini versus tahun 1998
Ini buktinya, nomor-nomor tersebut dimuat di halaman tersebut Jurnal Wall Street Minggu lalu (18/12) dalam artikel berjudul Rupiah dan Perekonomian Indonesia: 2014 vs.1998. Artikel ini disajikan sehubungan dengan menjatuhkanNilai Rupiah terhadap Dolar AS merupakan yang terendah sejak krisis ekonomi dan moneter tahun 1998. Begitu pula dengan fundamental perekonomian pada tahun 1998 tentunya sangat berbeda dengan fundamental perekonomian saat ini.
Cadangan devisa di Bank Indonesia saat ini tercatat sekitar US$111 miliar, cukup untuk menutupi pembayaran impor selama enam bulan dan pembayaran lainnya yang harus dibayar. Jumlah ini jauh lebih besar dibandingkan cadangan sebesar US$17,4 miliar pada tahun 1998, yang hanya cukup untuk pembayaran yang sama selama tiga bulan.
Depresiasi Rupiah terhadap dolar AS saat ini tercatat sebesar 4 persen, jauh dibandingkan depresiasi tahun 1998 yang mencapai 73 persen.
Rasio utang luar negeri terhadap produk domestik bruto saat ini tercatat sebesar 31 persen, atau separuh dibandingkan tahun 1998 yang tercatat sebesar 60 persen.
Menurut Bank Indonesia, rasio di bawah 40 persen masih bisa menjamin keberlangsungan perekonomian. Rasio utang Indonesia terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) juga lebih baik dibandingkan Turki yang saat ini sebesar 53 persen, Afrika Selatan 42 persen, dan Rusia 34 persen.
Utang pemerintah saat ini tercatat memiliki rasio sebesar 25 persen terhadap PDB, jauh di bawah angka 100 persen pada tahun 1998. Defisit transaksi berjalan yang cukup memprihatinkan, yakni rasio sebesar 3 persen terhadap PDB.
Bagi Bank Indonesia, ini lampu kuning. Antara tahun 1991 dan 1997-1998, defisit transaksi berjalan Indonesia berada di zona merah, berkisar antara 1 hingga 7,5 persen.
Namun, Bank Indonesia saat ini memiliki independensi yang lebih besar dalam mengambil kebijakan, termasuk menaikkan suku bunga acuan. Hal ini berbeda dengan tahun 1998, ketika Presiden Soeharto menolak menerapkan kebijakan moneter yang lebih ketat untuk mengatasi defisit transaksi berjalan.
Sebagai negara dengan perekonomian terbesar di ASEAN, Indonesia tumbuh sebesar 5 persen pada kuartal ketiga tahun 2014, lebih lambat dibandingkan rata-rata pertumbuhan sebesar 6 persen dalam empat tahun terakhir. Pada tahun 1998, perekonomian kita menjatuhkan 13 persen.
Inflasi pada tahun 2014 diperkirakan mencapai 8 persen, meningkat lebih cepat menjadi 6,2 persen pada bulan November. Angka ini jauh lebih kecil dibandingkan tingkat inflasi yang sebesar 78 persen pada tahun 1998.
Sebagai negara dengan perekonomian terbesar di ASEAN, Indonesia tumbuh sebesar 5 persen pada kuartal ketiga tahun 2014, lebih lambat dibandingkan rata-rata pertumbuhan sebesar 6 persen dalam empat tahun terakhir. Pada tahun 1998, perekonomian kita menjatuhkan 13 persen.
Bank Indonesia menaikkan suku bunga menjadi 7,75 persen bulan lalu untuk melawan inflasi. Enam belas tahun yang lalu, suku bunga bank mencapai 60 persen, menyebabkan puluhan bank bangkrut dan harus dilikuidasi karena tidak mampu menahan beban kredit macet. Perekonomian hancur.
Seperti yang saya tulis di atas, pasca krisis moneter tahun 1998, Bank Indonesia memperketat ketentuan mengenai kehati-hatian perbankan. Angka kredit macet alias pinjaman bermasalah saat ini tercatat sebesar 2,4 persen dari total kredit, jauh dibandingkan angka tahun 1998 sebesar 30 persen.
Dari segi politik, tahun 1998 merupakan masa krisis, kekuasaan rezim Soeharto melemah hingga titik terendah, berujung pada berakhirnya rezim yang telah berkuasa selama 32 tahun tersebut. Saat ini kita berada di dua bulan pertama era pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla yang disambut dengan penuh harapan, seperti judul sampul majalah TIME yang menampilkan foto Jokowi dan tulisan, Sebuah harapan baru.
Terlepas dari gejolak di parlemen, Jokowi-JK menemukan situasi fundamental yang jauh lebih baik dibandingkan masa presiden pasca Soeharto. Dari Gus Dur, Megawati hingga SBY.
Jadi saran saya, daripada Jokowi, JK dan para menterinya masih sibuk menyalahkan pemerintahan SBY (karena Jokowi tentu tidak berani terang-terangan menyinggung pemerintahan Megawati), apalagi dalam urusan ekonomi, lebih baik fokus pada implementasi solusinya. terutama janjinya. Nawa Cita dan melaksanakan Revolusi Rohani. Dari angka-angka yang saya kutip di atas, warisan era SBY tidak semuanya buruk.—Rappler.com
Uni Lubis, mantan Pemimpin Redaksi ANTV, menulis blog tentang 100 hari pemerintahan Jokowi. Ikuti Twitter-nya @unilubis dan membaca blog pribadinya unilubis.com.