Fotografer tsunami Aceh tahun 2004 yang dahsyat
- keren989
- 0
BANDA ACEH, Indonesia – Pria berusia 53 tahun itu sedang meminum kopi yang baru saja dipesannya di sebuah paddock di ibu kota Banda Aceh. Setiap hari usai mengantar kedua anaknya ke sekolah, Bedu Saini mengawali paginya dengan minum kopi sebelum memulai berburu fotonya untuk dimuat di surat kabar harian Serambi Indonesia tempat beliau bekerja sejak tahun 1990.
Setelah tegukan terakhir, dia buru-buru meninggalkan kedai. Hari itu, Rabu (12/11), Bedu ingin memotret simulasi pasukan Raider Kodam TNI Iskandar Muda di Krueng Aceh, sungai yang membelah kota Banda Aceh. Ia berdiri di Jembatan Pante Pirak, tempat paling bersejarah dalam hidupnya, untuk memotret latihan penyelamatan sandera yang dilakukan pasukan TNI Raider.
Dari jembatan di tengah ibu kota provinsi Aceh, 10 tahun lalu, Bedu memotret dua orang pria yang sedang berjuang menyelamatkan seorang bayi yang tersapu derasnya air sungai, di tengah tumpukan puing dan mayat berserakan saat tsunami melanda Aceh. memukul Minggu pagi, 26 Desember 2004.
Bedu menceritakan, saat terjadi gempa berkekuatan 9,3 skala Richter, ia sedang berada di rumah kontrakan bersama istrinya, Khalidah, ketiga anaknya, dan ibu kandungnya. Naluri jurnalistiknya tak terbendung. Meski istrinya melarang, Bedu tetap berangkat. Ia mengendarai sepeda motor menuju pusat kota Banda Aceh. Usai memotret reruntuhan bangunan akibat gempa, Bedu melihat warga berlarian dan dikejar air di kawasan Simpang Lima.
“Saya terus memotret orang-orang yang panik berlari di depan saya, padahal air sedang menuju ke arah saya. “Kemudian saya naik ke tempat yang lebih tinggi untuk memotret orang-orang yang dikejar tsunami,” kenangnya kepada saya, Selasa (18/11).
Bedu berjalan di Jembatan Pante Pirak yang hanya berjarak 25 meter dari Simpang Lima. Dari sini ia memotret orang-orang yang mengapung di sungai dengan tumpukan sampah. Bedu juga mengabadikan dua orang pria yang bertekad turun ke sungai untuk menyelamatkan seorang bayi di antara tumpukan sampah.
Menyaksikan dahsyatnya dampak tsunami, Bedu masih teringat ibu, istri, dan ketiga anaknya yang tinggal serumah dengannya. Tingginya ombak membuat dia tidak bisa berbuat apa-apa selain berdoa untuk keselamatan mereka sambil terus mengambil gambar.
Sekitar pukul 14.00 WIB air mulai surut. Ia segera menginjak gas sepeda motor untuk pulang. Karena sampah dan mayat berserakan di jalan utama, Bedu terpaksa memutar untuk sampai ke rumahnya. Namun air masih menggenangi kawasan rumah kontrakannya di Desa Lambaro Skep, sekitar tiga kilometer dari pusat kota.
Sepeda motornya diparkir di trotoar depan RSUD Zainoel Abidin. Khawatir kameranya basah, Bedu meletakkan benda berharga itu di lantai dua sebuah toko. Dia mengarungi air setinggi pinggang untuk pulang. Saat melihat rumahnya hancur, Bedu tertegun. Dia tidak dapat menemukan orang yang dicintainya.
Setelah dilakukan penggeledahan kesana kemari, seorang warga mengatakan istrinya selamat di lantai dua rumah tetangga. Bedu segera berangkat ke sana. Dia mendapatkan istrinya dari putri mereka. Namun putri sulung berusia 6 tahun dan putra bungsu berusia 4 bulan beserta ibunya tidak ada. Istrinya mengatakan ketiganya tidak selamat. Setelah beberapa hari pencarian, jenazah mereka tidak pernah ditemukan.
Meski redaksi dan mesin cetaknya hancur, namun Serambi kembali terbit seminggu setelah bencana dengan mengandalkan mesin cetak di Lhokseumawe, Aceh Utara. Sebanyak 55 karyawan, termasuk 11 jurnalis, surat kabar harian terbesar di Aceh tewas akibat tsunami. Dengan selamatnya para jurnalis yang tersisa, termasuk Bedu, Serambi menerbitkan dengan peralatan kerja dan kantor sementara di sebuah toko.
Mungkin jika saya tidak keluar setelah gempa, kedua anak dan ibu saya tidak akan hilang.
Pada 14 Januari 2005, ada yang mengantarkan kamera Bedu ke kantor Serambi. Keesokan harinya, foto Bedu saat tsunami melanda Banda Aceh muncul di halaman depan surat kabar. Tiga hari kemudian, foto-foto itu muncul di sejumlah media nasional dan internasional.
“Saat itu saya mengira ada yang kehilangan kameranya, karena saat saya pergi ke toko tempat saya meletakkan kamera tersebut, ternyata kamera tersebut sudah tidak ada lagi,” kenangnya.
Pada bulan Desember 2012, saat peringatan tsunami Aceh, Bedu mengadakan pameran foto tunggal yang diambilnya. Sebanyak 34 foto hitam putih momen terjadinya tsunami, proses evakuasi, suasana pengungsian, fase tanggap darurat dan awal kebangkitan masyarakat Aceh pasca bencana dipamerkan selama seminggu. .
Pameran foto menyoroti sisi ini ketertarikan manusia ambil tema, “Hari yang patut dikenang pada tanggal 26 Desember 2004: Tragedi, kematian, air mata dan doa. Ingatlah mereka yang tewas, hormati mereka yang selamat dari tsunami Aceh dan hormati yang mendalam kepada dunia, jurnalis, dan pekerja kemanusiaan.”
Mulai dari petugas kebersihan
Bedu memulai karirnya di Harian Serambi sebagai teknisi petugas kebersihan untuk tiga tahun. Dia kemudian dipindahkan ke departemen lab foto yang bertugas mencuci foto dari film. Di ruangan gelap dia berjuang selama hampir tujuh tahun. Selama waktu itu dia mulai belajar tentang sudut mengambil gambar yang bagus.
Erwiyan – yang juga menjadi korban bencana tsunami – memberi kesempatan kepada Bedu. Melalui seleksi ketat, Bedu lulus sebagai fotografer. Kendala lain datang karena dia tidak punya kamera. Berbekal kamera pinjaman seseorang, Bedu mulai memotret. Seiring berjalannya waktu, pihak kantor akhirnya membelikan kamera untuk Bedu.Saat ada penerimaan jurnalis baru pada tahun 2000, Bedu menemui Redaktur Pelaksana Serambi, Erwiyan Syafri, untuk mengungkapkan keinginannya mengikuti tes tersebut. “Tetapi dengan syarat kalau tidak lulus jangan dipecat,” kata Bedu.
Masa konflik yang paling berkesan adalah pengepungan rumah anggota GAM oleh aparat keamanan di Lambuk, Banda Aceh, selama hampir 5 jam, pada tahun 2003, katanya. “Tapi kalau ditanya foto mana yang paling berkesan selama karir saya sebagai fotografer, semuanya berkesan.” Keadaan Aceh yang saat ini sedang dilanda konflik bersenjata antara gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan aparat keamanan Indonesia, tak membuat Bedu kesulitan mencari objek untuk difoto. Foto-foto yang diambil Bedu menghiasi koran Serambi setiap hari.
Kini Bedu menjalani hari-harinya dengan santai. Pagi hari setelah ia mengantar kedua anaknya yang lahir pasca tsunami, ia minum kopi bersama rekan-rekan fotografer dan jurnalis. Sedangkan putrinya yang selamat dari bencana tsunami tinggal di pesantren. Setiap akhir pekan, Bedu, istri, dan dua anaknya menjenguk putrinya di kediaman Islam. Zaman kopi, he berburu Foto. Sore harinya, jemput anak dari sekolah. Sore hingga malam hari saya pergi ke kantor dan mengedit foto untuk dipublikasikan di tangga.
Bedu mengaku jarang melihat foto-foto tsunami yang menyesakkan itu kecuali ada keperluan yang sangat penting atau untuk dijadikan dokumentasi di koran miliknya. Ia mengaku sedih jika mengingat hari menyedihkan itu.
“Mungkin kalau saya tidak keluar setelah gempa, kedua anak dan ibu saya tidak akan hilang. “Tapi, semuanya adalah ketentuan Tuhan dan saya menerimanya dengan ikhlas dan lapang dada,” ujarnya menyiratkan kesedihan. —Rappler.com