Refleksi Satu Bulan Kinerja DPR RI
- keren989
- 0
Peningkatan partisipasi masyarakat dalam memantau kinerja DPR patut diapresiasi karena pada akhirnya produk-produk yang dihasilkan DPR adalah untuk kepentingan rakyat.
Belum genap sebulan dilantik, anggota Volksraad (DPR) kembali membuat ulah. Saat Rapat Paripurna Pemilihan Pimpinan Aparatur Dewan, Selasa (28/10), Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Hasrul Azwar, menjungkirbalikkan meja karena merasa pimpinan sidang tidak dibayar. . memperhatikan interupsinya.
Keesokan harinya, Rabu (29/10), partai politik yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Raya membentuk “Partai Tandingan DPR” karena tidak puas dengan kepemimpinan DPR yang saat ini dikuasai Koalisi Merah Putih.
Peristiwa penggulingan meja dan persaingan DPR hanyalah sebagian dari dinamika terkini sejak anggota DPR periode 2014-2019 dilantik pada 1 Oktober lalu. Peristiwa lainnya antara lain peristiwa “palu hilang” dan rapat paripurna pemilihan pimpinan DPR dan pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang berlangsung selama sepuluh jam. Hal-hal di atas nampaknya menjadikan periode DPR kali ini istimewa.
Apalagi mengingat partisipasi masyarakat dalam pemilihan legislatif (Pileg) pada 9 April sebenarnya tidak meningkat pesat dibandingkan tahun 2009. Hanya 75% warga negara Indonesia yang menggunakan hak pilihnya pada pemilu legislatif tahun 2014, meningkat empat persen dari pemilu legislatif tahun 2009. Namun pengawasan masyarakat terhadap wakil rakyatnya meningkat sangat cepat. Apa yang telah terjadi?
Misalnya, perhatian masyarakat terhadap ketidakhadiran anggota DPR ditanggapi dengan sangat antusias (walaupun dikritik) karena ruang rapat di gedung parlemen sepi.
Mengapa kita harus peduli?
Selain persaingan kedua kubu, yang menarik adalah semakin meningkatnya sorotan masyarakat terhadap wakil rakyatnya di DPR. Salah satu penyebabnya mungkin karena mereka merasa penyelenggaraan pemilu legislatif sangat mahal, baik biaya teknis maupun uang yang beredar di masyarakat selama masa kampanye yang dibagikan oleh para calon legislatif. Dalam benak mereka, dengan mahalnya biaya penyelenggaraan pemilu legislatif, maka kinerja anggota DPR harus benar-benar diawasi.
Merujuk pada hasil kajian politikus PDI-P Pramono Anung, penggunaan rata-rata dana kampanye calon legislatif pada pemilu legislatif 2009 Tercapai 1 hingga 2 miliar rupiah. Pada Pemilu Legislatif 2014, biayanya diperkirakan mencapai 3 hingga 4 miliar rupiah. Sedangkan untuk biaya penyelenggaraan Pemilu Legislatif 2014 adalah 16 triliun rupiah, meningkat sebesar 8,5 triliun rupiah pada pemilu legislatif 2009.
Maka setelah Pemilu Legislatif 2014 berakhir, pengawasan ketat mulai dilakukan terhadap anggota DPR 2009-2014 yang masa jabatannya hanya bertahan singkat. Apalagi di penghujung periode, lahirlah undang-undang kontroversial yakni Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) yang dikritik masyarakat karena dianggap sebagai proses demokrasi di Indonesia.
Jujur saja, saya pribadi mewakili teman-teman di WikiDPR kaget dengan kejadian hilangnya palu saat rapat paripurna pertama anggota DPR periode 2014-2019. Namun, kami lebih terkejut lagi melihat reaksi masyarakat yang menghadiri rapat pemilihan pimpinan DPR yang berlangsung selama sepuluh jam itu. Belum pernah masyarakat begitu antusias memantau kinerja wakilnya, apalagi sejak hari pertama mereka dilantik.
Bisa jadi, media sosial berperan besar dalam tingginya tekanan yang diberikan kepada anggota DPR periode ini. Memang benar pengguna media sosial di Indonesia sudah cukup banyak sejak tahun 2009, namun belum dimanfaatkan untuk memantau kinerja pejabat publik. Selain itu, saluran berita terus mengalir melalui timeline di Twitter.
Persoalannya, apakah pengawasan publik ini akan berbanding lurus dengan kinerja anggota parlemen? Seharusnya begitu, karena kini mereka diawasi lebih ketat oleh mata-mata yang terus memantau pergerakan mereka. Namun rasanya masih terlalu dini untuk menilai mengingat masa jabatan anggota DPR hanya satu bulan. Sejauh ini harus diakui, belum ada yang bisa memuaskan masyarakat atas kinerja DPR. Peristiwa seperti penggulingan meja dan persaingan antar DPR hanya menunjukkan contoh ketidakdewasaan politik dan meyakinkan masyarakat bahwa mereka tidak bekerja untuk rakyat.
Buta media sosial
Tim WikiDPR mengumpulkan data dari 560 anggota DPR, dimana kurang dari 20 politisi aktif menggunakan Twitter untuk menyapa pengikut-miliknya. Ibarat seorang anggota DPR yang tidak punya akun Twitter, belum tentu paham kalau dirinya sedang dibicarakan di jaringan. Padahal perbincangan online banyak terjadi di ranah media sosial.
Hal lain yang cukup mengejutkan adalah banyak anggota muda DPR yang berusia di bawah 35 tahun yang bukan pengguna aktif Twitter. Rendahnya kesadaran wakil rakyat dalam penggunaan media sosial tentu menyulitkan mereka dalam merefleksikan perilakunya sendiri.
Bagaimanapun, kinerja DPR Semua pihak harus mendapat pengawasan yang lebih transparan dan komprehensif, bukan hanya karena partai pengusung DPR berseberangan dengan eksekutif. Kontradiksi semacam ini telah berlangsung selama beberapa dekade di banyak negara demokratis lainnya. Mungkin masyarakat awam Indonesia yang belum mengetahui kondisi politik di negara lain akan terkejut melihat dinamika politik yang terjadi di Indonesia saat ini.
Justru di sinilah sengitnya konflik dua kubu di DPR serta pertentangan tajam antara kekuasaan eksekutif dan legislatif menjadi semakin penting untuk diwaspadai. Sudah menjadi tugas kita sebagai masyarakat untuk terus memantau kinerja parlemen. Ini merupakan tanda-tanda perubahan ke arah yang lebih baik, dimana masyarakat tidak lagi terlalu buta terhadap seluk beluk parlemen.
Memang pengendalian kinerja eksekutif merupakan salah satu tugas legislatif, namun bukan berarti menghambat kerja eksekutif. Kedua belah pihak harus saling membantu mewujudkan pembangunan nasional pasca pemilu, bukan saling menyandera.
Menarik untuk menelusuri lebih jauh kinerja anggota DPR periode ini. Hanya dalam waktu satu bulan, banyak hal menarik yang patut dikomentari. Semoga kinerja DPR periode 2014-2019 lima tahun ke depan lebih baik dari sebelumnya. Dengan begitu, pada pemilu 2019 masyarakat akan lebih mudah dalam mengukuhkan pilihannya. Hal ini tidak terjadi seperti yang lazim terjadi saat ini, di mana calon wakil rakyat hanya berusaha mengenal masyarakat pada bulan-bulan menjelang pemilu.
Ingat, bekerja lebih baik merupakan penyelamatan moral bagi setiap legislator untuk memastikan konstituennya tidak salah memilih. Siapapun yang berbuat baik atau buruk, pada akhirnya publik akan mencatat kinerjanya sebagai prinsip transparansi. Sebab, produk yang dihasilkan DPR akan berdampak pada hajat hidup masyarakat itu sendiri. Mereka adalah orang-orang yang membayar pajak untuk mensejahterakan kehidupan anggota DPR. —Rappler.com
Adi Mulia Pradana adalah anggota tim WikiDPR, sebuah inisiatif untuk mengajak warga negara Indonesia berpartisipasi aktif dalam mendorong transparansi dan komunikasi dengan wakil rakyatnya. Ikuti Twitter-nya @adimuliapradana Dan @wikiDPR