• November 24, 2024
Apakah kita adil terhadap kelompok LGBT di Aceh?

Apakah kita adil terhadap kelompok LGBT di Aceh?

Bulan ini saya menulis dua berita tentang lesbian dan gay di Aceh.

Pertama, Wilayatul Hisbah (Kepolisian Syariah) Kota Banda Aceh menangkap dua perempuan yang diduga pasangan lesbian. Keduanya ditangkap pada 28 September sekitar pukul 23.00 WIB sambil berpelukan dan berpelukan.

“Karena mereka duduk bersebelahan dan berpelukan, petugas langsung memeriksanya dan kami curigai mereka adalah pasangan lesbian.” mengatakan Kepala Divisi Penegakan Hukum dan Peraturan Syariah IslamPolisi Syariah Kota Banda Aceh, Evendi A Latif.

Kedua, tersangka pasangan gay yang kedapatan berhubungan seks dikabarkan menjalani 100 kaleng pada Jumat, 23 Oktober.

Bukan berita penangkapannya yang saya soroti, tapi berita betapa antusiasnya aparat kepolisian syariah mencari tahu teman-teman kita di komunitas LGBT. Pertama saat berpelukan, kedua saat berhubungan intim.

Entah bagaimana Kapolri bisa mendeteksi aktivitas mereka. Apakah mereka sudah lama mengikuti orang-orang yang diduga gay dan lesbian ini, atau ini hanya laporan publik?

Oke, artinya ada dua skenario:

Pertama, kalau ini hasil “penyelidikan” polisi syariah, kerjanya luar biasa ya. Hingga sampai ke urusan privat seperti ranjang (keadaan hadir di ranjang, ck ck).

Kedua, kalau laporan masyarakat, cukup memprihatinkan. Pasalnya entah bagaimana publik bisa mendapatkan informasi keduanya berpacaran, dan akhirnya polisi syariah menemukan mereka di momen “bahagia” kedua pasangan tersebut.

Keberatan pertama saya adalah polisi syariah terlalu bersemangat untuk memata-matai kaum gay. Bahkan terkesan berlebihan.

Saya kira Qanun ini berlaku pasif, artinya jika ditemukan pelanggaran kebetulan. Tampaknya Qanun UU bagi kaum LBGT ini masif, mereka rela menyisir pintu kamar yang diduga gay atau lesbian, bahkan salon tempat mereka bekerja. Tempat mereka mendapatkan uang untuk menunjang kehidupan mereka.

Mereka diperlakukan seperti penjahat atau pengedar narkoba.

Bukankah itu suatu ketidaknyamanan?

Dasar hukum

Akhirnya saya tertarik untuk mengetahui cara kerja polisi syariah ini dan apa dasar hukumnya.

Menurut berita yang saya baca lebih lanjut acehnews.net terhitung Jumat, 23 Oktober, Qanun Jinayat atau Hukum Pidana Islam no. 6 Tahun 2014, maka pelaku zina ditegakkan. Pelanggar akan menerima 100 pukulan.

Rincian lengkapnya ada pada rancangan Qanun no. 6 Tahun 2014 pasal 1 nomor 28, mendefinisikan gay atau Liwath adalah tindakan seorang laki-laki memasukkan penisnya ke dalam anus laki-laki lain atas persetujuan kedua belah pihak.

Dan pada pasal 63 disebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan Jarimah Liwath diancam dengan pidana “Uqubat Ta’zir” paling banyak 100 pukulan atau denda paling banyak 1.000 gram emas murni atau penjara paling lama 100 bulan.

Kemudian pada pasal 1 angka 29, lesbian atau Musahaqah diartikan sebagai tindakan dua wanita atau lebih yang saling menggosok bagian tubuh atau vagina untuk memperoleh rangsangan (kesenangan) seksual dengan persetujuan kedua belah pihak.

Hukumannya sama.

(Hmmm, mereka juga menerjemahkan bagaimana kaum gay dan lesbian berhubungan seks surat kaki, bagaimana jika mereka memakainya mainan seks, Pak Polisi?)

Namun perlu anda ketahui bahwa dari disertasi yang saya baca berjudul “Perzinahan dalam Hukum Tertulis di Indonesia dan Malaysia Menurut Hukum Islam: Studi Banding di Indonesia dan Malaysia” karya Neng Djubaedan dari National University of Malaysia (2013), menunjukkan bahwa dalam Faktanya, landasan hukum bagi kelompok LGBT dalam Qanun ini lemah karena tidak bersinergi dengan KUHP.

“KUHP dan Rancangan KUHP hanya melarang persetubuhan sesama jenis antara orang dewasa dan anak di bawah umur (Pasal 292 KUHP) atau orang yang berusia di bawah 18 tahun (Pasal 492 Rancangan KUHP).

“Pasal 292 KUHP menghukum pelaku hubungan seksual sesama jenis dengan anak di bawah umur, yakni pidana penjara paling lama 5 tahun.

“Pasal 492 Rancangan KUHP hanya melarang persetubuhan sesama jenis dengan orang yang belum mencapai umur 18 tahun, dengan ancaman pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama 7 tahun.”

KUHP dan Rancangan KUHP tidak merinci hukuman bagi orang dewasa yang melakukan hubungan sesama jenis. KUHP dan Rancangan KUHP tidak melarang biseksual dan transeksual/transgender.

Untuk iseng, saya berbincang dengan dosen saya Dede Oetomo yang merupakan ketua Gaya Nusantara, sebuah organisasi nirlaba untuk kelompok LGBT.

Nampaknya dalam KUHP tidak ada larangan dua orang laki-laki dewasa berhubungan seks satu sama lain. Namun yang diprotes adalah, bagaimana jika seorang pria dewasa dan pria yang belum cukup umur berselingkuh atau keduanya belum cukup umur.

Nah, keberatan saya yang kedua adalah, mengapa pemerintah memberikan keistimewaan kepada Aceh untuk membuat undang-undang yang tidak bersinergi dengan KUHP dan bahkan bertentangan dengan Konvensi PBB Menentang Penyiksaan? (Bagaimana ini bisa terjadi? hmmm).

Ingin versi lain

Setelah itu saya melihat tulisan tentang berita ini. Saya akui saya berada di Jakarta dan bukan di Aceh, sehingga saya sulit menghubungi narasumber.

Namun dengan segala keterbatasan yang ada, saya justru merasa haus untuk mengetahui lebih jauh bagaimana rasanya menjadi gay dan lesbian di Aceh.

Saya pernah mendengar cerita seorang pria bernama Hartoyo dan membaca kisahnya di laman DW Indonesia. Dalam artikel berjudul Gay disiksa di Aceh Hal itu, Hartoyo menceritakan kisahnya saat dirinya dan rekannya disergap di dalam kamar mereka.

Jarang sekali saya menjumpai model berita seperti ini dari sudut pandang korban. Saya juga ingin bertemu dan mewawancarai mereka yang baru saja berjuang. Saya sangat menyukainya. Tapi tentu saja saya tidak bisa melakukan itu dalam waktu dekat.

Hanya saja saya sedih melihat pemberitaan di berbagai media itumemompa pemberitaan mengenai kelompok LGBT yang mengambil langkah besar-besaran dari pemerintah Aceh untuk “memberangus” mereka. Misalnya saja pemberitaan tentang polisi syariah Aceh yang menertibkan salon-salon “sesat” yang menyasar kaum gay.

Pemberitaan seperti ini jelas-jelas bertujuan untuk menyanjung pemerintah Aceh, dan terkesan tidak adil bagi kelompok LGBT. Pelaporan di Aceh harus lebih adil dengan mewawancarai korban untuk mendapatkan sisi lain dari pemberitaan mereka. Porsinya harus seimbang.

Nah, ini keberatan saya yang ketiga.

Mudah-mudahan kita tidak menjunjung syariat Islam dengan menutup mata, atau terlalu bersemangat memaksakan sesuatu tanpa berpikir bahwa syariat harus tetap menjunjung prinsipnya. keadilan. Bukan membabi buta atas nama kebenaran di mata mayoritas. —Rappler.com

BACA JUGA:

Keluaran Hongkong