Membangun Jakarta sebagai kota ramah gender
- keren989
- 0
Jalanan di Jakarta dinilai tidak ramah terhadap perempuan. Apa yang bisa dilakukan ibu kota untuk membuat aktivitas perempuan lebih aman dan nyaman?
Juli 2014 lalu, saya sengaja menyempatkan diri untuk menghadiri sidang pidana pemerkosaan di halte TransJakarta Harmoni, Jakarta Pusat. Setelah melalui drama perpindahan ruang sidang yang berkali-kali, penundaan proses persidangan dan lain sebagainya, akhirnya hakim memutuskan hukuman 1,5 tahun bagi keempat tersangka. Hukuman ini sangat minim jika dibandingkan dengan penderitaan korban.
Jakarta adalah kota yang jauh dari ideal. Hal ini sering dikaitkan dengan kemacetan lalu lintas dan tingkat kejahatan yang cukup tinggi. Tentu saja kasus pemerkosaan dan berbagai pelecehan terhadap perempuan yang terjadi di angkutan umum hanya menambah daftar panjang sisi negatif Jakarta. Jakarta yang dikelilingi begitu banyak tantangan tentu tidak menjadikan keselamatan perempuan sebagai prioritas utama.
Mungkinkah mewujudkan kota ramah perempuan di Indonesia? Jika memungkinkan, apakah lebih mahal dari yang seharusnya? Atau lebih sulit lagi bagi pemerintah provinsi?
Mari kita lihat salah satu aspeknya, yaitu transportasi dan mobilitas. Faktanya, terdapat perbedaan mendasar antara cara bergerak laki-laki dan perempuan.
Dalam beberapa penelitian, pria melakukan lebih sedikit perjalanan per hari dibandingkan wanita. Laki-laki biasanya bepergian langsung dari dan ke tempat tujuan wisata, misalnya kantor. Dan laki-laki pun berharap agar ia bisa cepat mencapai tujuannya. Karena laki-laki seringkali berperan sebagai pencari nafkah utama, mereka juga memerlukan transportasi dan fasilitas yang menjamin keselamatan.
Sedangkan perempuan mempunyai kecenderungan pergi ke beberapa tempat sekaligus dalam satu hari. Pada hari yang sama dia harus pergi ke pasar, lalu mengantar anak ke sekolah, lalu menjemput anak lagi.
Jika bekerja, perempuan masih mendedikasikan sebagian perjalanannya untuk kegiatan yang berhubungan dengan anak dan rumah tangga. Dan yang terakhir, kebutuhan transportasi perempuan berbeda dengan kebutuhan laki-laki. Karena jumlah perjalanan yang dilakukan perempuan lebih banyak dan bervariasi, perempuan mengharapkan biaya transportasi yang terjangkau. Perempuan juga mengharapkan fleksibilitas dalam transportasi dan aktivitas. Dan tentunya yang terpenting adalah keamanan dan kenyamanan. Aman dalam arti bebas dari pelecehan; sekaligus nyaman dalam arti memberikan banyak fasilitas bagi wanita.
Perbedaan ini tidak berarti bahwa pemerintah kota harus fokus hanya pada satu gender dan mengabaikan gender lainnya.
Kesetaraan gender dalam kehidupan perkotaan
Adalah Wina, Austria, yang dimulai pada tahun 1999 kesulitan untuk memperkenalkan kesetaraan gender dalam kehidupan perkotaan, termasuk perencanaan kota dan transportasi. Ketika pemerintah kota ingin memulai kebijakan ini, mereka melakukan kajian, termasuk implementasi rekaman.
Melalui survei ini mereka menemukan bahwa laki-laki lebih memilih kendaraan pribadi sedangkan perempuan lebih memilih berjalan kaki dan menggunakan angkutan umum. Perempuan memilih keduanya karena dinilai lebih mampu menampung beragam aktivitas. Faktanya, pada akhirnya 50% dari total pergerakan perempuan dilakukan dengan berjalan kaki.
“Benarkah bisa mewujudkan kota ramah perempuan di Indonesia? Kalau bisa, apakah lebih mahal dari yang seharusnya? Atau justru lebih sulit bagi pemerintah provinsi?”
Survei ini membuka mata terhadap praktik perencanaan kota dan transportasi konvensional yang banyak digunakan pada saat itu, yaitu memprioritaskan pergerakan kendaraan dan mengabaikan apa yang terjadi di trotoar. Pemerintah kota Wina kemudian mengubah perencanaan kotanya dan meningkatkan mobilitas pejalan kaki dengan memperluas trotoar dan akses trotoar ke halte dan stasiun bus.
Mereka juga menambahkan lampu jalan, sehingga perempuan merasa aman berjalan di malam hari. Trotoar juga dilengkapi dengan lerengyang dapat diakses oleh orang-orang kereta bayi kepada pengguna kursi roda.
Upaya mewujudkan kesetaraan gender di perkotaan tidak hanya berhenti pada transportasi dan trotoar saja. Pada tahun 1993, pemerintah kota mengadakan kompetisi desain perumahan bertema Kota Kerja Wanita atau Kota Kerja Perempuan.
Kompetisi ini bertujuan untuk menemukan tipologi ideal yang dapat memenuhi kebutuhan perempuan. Perempuan rupanya menghabiskan lebih banyak waktu untuk pekerjaan rumah tangga dibandingkan laki-laki. Hasil dari kompetisi ini adalah desain kompleks apartemen yang dikelilingi halaman dan pekarangan yang memungkinkan orang tua dan anak menghabiskan waktu bersama. Oleh zonasiLokasi komplek apartemen juga dekat dengan fasilitas pendidikan dan kesehatan serta dapat dijangkau dengan kendaraan umum.
Kota ramah gender bukan berarti kotanya harus berwarna pink dengan bunga-bunga dan kursi-kursi putih yang romantis di pinggir jalan. Sebenarnya hasil akhir dari kebijakan desain arus utama gender mungkin tidak berbeda dengan pendekatan tematik lainnya dalam perencanaan kota, seperti kota ‘hijau’.
Namun, hal yang menonjol dari penerapan konsep ini di Wina adalah bahwa pemerintah kota benar-benar duduk dan meluangkan waktu untuk memahami bagaimana laki-laki dan perempuan hidup di kota, kemudian mempertimbangkan hal tersebut dalam setiap keputusan desain dan perencanaan serta menerapkannya. Keputusan desain dan perencanaan tidak lagi terjadi begitu saja dan didorong oleh visi dan imajinasi segelintir orang di balai kota atau investor, namun berpusat pada orang-orang yang benar-benar melakukan aktivitas sehari-hari di kota.
Setiap kota, termasuk Jakarta, sebenarnya mempunyai peluang untuk menerapkan pola pikir yang sama dalam perencanaan dan perancangan kota. Setiap tahunnya, seluruh pemerintah kota dan kabupaten di Indonesia melakukan hal tersebut melalui proses perencanaan pembangunan yang disebut dengan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang). Sementara itu, kota dan kabupaten dapat mempunyai kesempatan untuk meninjau ulang rencana tata ruang di wilayahnya masing-masing setiap 5 tahun sekali. Kedua kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang penuh dengan partisipasi masyarakat.
Sayangnya, kegiatan tersebut kerap dianggap hanya sekedar seremoni bagi pemerintah, termasuk DKI Jakarta. Hal sederhana seperti undangan dan pengumuman partisipasi masyarakat pada Musrenbang tingkat kecamatan sama sekali tidak dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta. Partisipasi masyarakat tidak dipandang sebagai pemenuhan hak-hak sipil, namun dipandang sebagai sesuatu yang meresahkan. Tentu saja, jangan berharap seluruh kegiatan Musrenbang dan penyusunan RTRW diawali dengan survei mendalam terhadap warga kota.
Jika kota merupakan perwujudan demokrasi, maka upaya untuk mengatasi perbedaan antara perempuan dan laki-laki dalam perencanaan dan perancangan kota merupakan perwujudan lain dari demokrasi itu sendiri. Ruang-ruang yang terbentuk dari diskusi yang berlangsung membawa pemahaman baru tentang bagaimana warga memandang perbedaan gender dan bagaimana membawa perbedaan tersebut ke dalam perspektif baru. —Rappler.com
Elisa Sutanudjaja adalah Eisenhower Fellow, editor Jakarta Facts, dan salah satu pendiri rujak.org. Dia juga aktivis sosial, reporter data terbuka dan warga Jakarta. Ikuti Twitter-nya @elisa_jkt