• September 19, 2024

Kakek ‘penebang kayu’ Mbah Harso di Gunung Kidul telah dibebaskan

Mbah Harso mengaku hanya menanam di semak-semak, namun saat hendak memotong akar jati, ia dibawa ke polisi. Bagaimana perjuangan Mbah Harso untuk merdeka?

WONOSARI, Indonesia – Nenek Asyani asal Situbondo, Jawa Timur, bukan satu-satunya yang menderita karena ia pernah dipenjara beberapa bulan karena dituduh mencuri kayu. Seorang kakek di Gunung Kidul juga dipenjara karena diduga mencuri kayu.

Bedanya, Mbah Harso baru mendapat putusan bebas dari Pengadilan Negeri Wonosari, Gunung Kidul, Yogyakarta hari ini, Selasa 17 Maret.

Ia sebelumnya dijebloskan ke penjara dan terancam hukuman 2 bulan penjara karena melanggar UU No. 5 Tahun 1990 tentang Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dan UU No.

Kakek berusia 67 tahun yang berprofesi sebagai petani ini sebelumnya pernah dipenjara karena dituduh menebang dan mencuri kayu di hutan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Paliyan. Harso kemudian dibebaskan setelah fakta persidangan tidak dianggap dapat membuktikan dakwaan terhadap dirinya.

Dalam persidangan, Ketua Hakim Yamti Agustina mengatakan, aktivitas penebangan kayu tumbang dan penggergajian akar jati yang mengganggu pekerjaan Harso bukanlah tindakan ilegal. Dengan adanya putusan tersebut, maka gugatan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap Harso batal.

Oleh karena itu, terdakwa dibebaskan dari segala dakwaan yang dijeratnya, kata Hakim Yamti yang dilanjutkan dengan ucapan terima kasih dari para peserta sidang.

Mendengar putusan tersebut, Harso langsung bersujud syukur di ruang sidang. Putranya, Basuki Rahmat, langsung mendatanginya dan memeluknya.

“Aku normal karena aku tidak bersalah. “Saya bersyukur Allah mengabulkan doa saya,” kata Harso.

Bukan penebang kayu, tapi petani

Kasus Harso bermula pada 26 September 2014. Saat itu, Harso yang sehari-harinya sedang bercocok tanam di hutan BKSDA Paliyan, menebang pohon yang tumbang di lahan kelolanya. Menurut dia, pohon tumbang tersebut melintang di jalan dan mengganggu Harso yang sedang membuat parit.

“Setelah itu saya dipanggil ke kantor BKSDA. Saya dituduh menebang pohon, padahal sebenarnya tidak,” dia berkata.

Ia menjelaskan, gergaji yang dibawanya bukan untuk menebang pohon, melainkan akar jati, karena dianggap akan menghalangi niatnya membuat parit.

Karena tak mau mengakuinya, keesokan harinya BKSDA kembali menelepon dan membawanya ke kantor polisi untuk dilaporkan. Ia mengaku saat itu dibujuk untuk mengakui perbuatan yang tidak dilakukannya agar permasalahan tersebut cepat selesai.

Tapi karena dia tidak melakukannya, dia tidak mau berbohong. “Saya tidak mau. Yah, saya tidak menebang pohon, mengapa saya harus mengakui bahwa saya menebang pohon?” dia berkata.

Harso akhirnya ditahan polisi pada 27 September 2014 hingga 30 Oktober 2014. Dia awalnya ditahan di Polsek Paliyan sebelum dipindahkan ke Polsek Gunung Kidul.

Keanehan dalam kasus Harso

Sementara itu, kuasa hukum Harso, Suraji Noto Suwarno mengatakan, pihaknya menemukan sejumlah kejanggalan dalam kasus yang menimpa kliennya.

Pertama, soal tudingan Harso yang menebang pohon. Menurut dia, tidak ada saksi yang melihat langsung Harso menebang pohon tersebut. Tuduhan yang dilontarkan terhadap kliennya hanyalah dugaan belaka.

“Mereka melaporkannya karena lokasi pohon tumbang berada di dekat lahan yang dikelola Mbah Harso, lalu menuduh Mbah Harso yang menebangnya,” jelas Suraji.

Ceritanya ada kebakaran, kemudian petugas melakukan pengecekan dan ditemukan tiga pohon tumbang, salah satunya berada di dekat lahan Mbah Harso, lanjutnya.

Kedua, terkait diperbolehkannya Harso memanfaatkan lahan di hutan BKSDA yang notabene merupakan hutan satwa liar yang tidak boleh dimasuki siapa pun kecuali untuk keperluan penelitian.

Ia mengungkapkan, Harso mendapat izin mengelola lahan tersebut setelah membayar sejumlah uang kepada oknum berinisial BB dan MG.

“Saya tidak tahu apakah itu perorangan atau hanya warga biasa. “Tapi kalau hutannya tidak bisa dimanfaatkan, seharusnya petani tidak boleh bercocok tanam di sana sejak awal,” ujarnya.

Faktanya, kata Suraji, ada 826 petani yang menggarap lahan di hutan, padahal undang-undang menyatakan tidak bisa. Sejak tahun 2000, hutan tersebut ditetapkan sebagai hutan satwa mandiri, setelah sebelumnya merupakan hutan produksi.

Suraji pun mempertanyakan mengapa dua orang yang disebut Harso sebagai pemberi izin pemanfaatan lahan untuk bercocok tanam di hutan lindung tidak dijadikan saksi oleh polisi.

“Padahal yang mereka katakan adalah mereka memberikan izin setelah Mbah Harso membayar. Merekalah yang menjamin Mbah Harso bisa memanfaatkan tanah itu sampai sekarang jeli,” dia berkata. —Rappler.com

situs judi bola