Selamatkan Rohingya: Ingatlah kebaikan masyarakat Aceh
- keren989
- 0
Bagaimana kita mengingat Aceh? Oh tidak, bagaimana seharusnya bangsa ini mengingat Aceh. Negeri Serambi Mekkah adalah tempat ditegakkannya adat istiadat dan syariat, umat manusia masih ada, dan akan selalu ada. Kemerdekaan Indonesia, kekayaan negara ini, dan segala macam stabilitas yang kita miliki sedikit banyak berkat bantuan masyarakat Aceh.
Pesawat Dakota RI-001 Seulawah menjadi salah satu bukti kebaikan masyarakat Aceh. Seulawah atau gunung emas ini –merujuk pada nama gunung berapi di Aceh Besar– merupakan cikal bakal pesawat yang digunakan republik untuk kepentingan negara.
Pesawat ini dibeli dari sumbangan masyarakat Aceh atas permintaan Sukarno yang khusus datang ke Aceh, pertengahan Juni 1948. Dalam pertemuannya dengan Gubernur Militer Abu Daud Beureueh di Hotel Aceh, sebelah Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, presiden pertama RI, menangis dan kasihan kepada masyarakat yang membantu Aceh mendanai pembelian pesawat.
Menurut Pengamat Sejarah Aceh, Abdurrahman KaoySaat itu, Abu Mansor datang ke Pasar Aceh untuk mengumpulkan sumbangan dari warga di pasar tradisional sebelah Masjid Baiturrahman. “Mereka dengan ikhlas memberikan perhiasan, emas dan seluruh barang berharganya untuk disumbangkan,” kata Kaoy. Sebelum kembali ke Pulau Jawa dengan membawa sumbangan dari masyarakat Aceh, dalam pertemuan besar bersama masyarakat Aceh di Lapangan Blang Padang, Sukarno berpidato mengajak masyarakat Aceh untuk membantu perjuangannya.
Tak hanya emas, kita tahu betapa hebatnya masyarakat Aceh dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Daud Beureueh, Bapak Bangsa Aceh mengatakan: “Saudara Presiden! Kami rakyat Aceh dengan senang hati memenuhi permintaan Presiden. Asalkan perang yang kami lakukan adalah perang sabil atau perang dapat dicapai, perang untuk mempertahankan agama Allah. Jadi jika ada di antara kami yang terbunuh dalam perang itu, itu berarti mati syahid.”
Namun kita tahu, ini bukan pertama kalinya Aceh berbuat baik. Megawati Sukarnoputri menangis tersedu-sedu pada 29 Juli 1999 di Aceh. Ayahnya melakukan hal serupa dengan alasan yang sama. Dia berjanji ketika dia memimpin negara ini, “Bagi masyarakat Aceh, percayalahCut Nyak tidak akan menumpahkan setetes darah pun di Tanah Rencong,” namun kita tahu dan paham. Dari Istana Negara, Megawati sebenarnya mengirimkan 40.000 tentara ke Aceh dalam rangka Darurat Militer.
Apa yang terjadi mungkin hanya tinggal sejarah, namun kita tahu betapa hebatnya karakter masyarakat Aceh. Mereka adalah orang-orang yang menginginkan syariah ditegakkan. Lebih dari segalanya, mereka tidak peduli jika dianggap kuno.
Namun syariat yang mereka pegang teguh bukan sekedar plester, bukan sekadar label. Tapi itu adalah upaya untuk menjadi orang terbaik.
Saya yang bukan warga Aceh bisa saja mengatakan syariah dan qanun (peraturan daerah) adalah diskriminasi. Mudah bagi kita yang bukan orang Aceh untuk mengatakan bahwa penerapan syariah merupakan pelanggaran HAM.
Namun adilkah jika kita menilai sesuatu yang belum kita pahami? Agama Islam barangkali menjadi urat nadi, identitas yang membuat masyarakat Aceh tidak segan-segan membantu dan mendampingi. Kita mungkin hanya berhenti pada satu sisi yang dianggap buruk, namun gagal melihat sisi lain yang lebih baik.
Di tengah sikap pemerintah Indonesia yang lamban, lambat dan acuh tak acuh terhadap pengungsi Rohingya, para nelayan Aceh dengan akal sehatnya tetap berupaya menyelamatkan para pengungsi tersebut. Marzuki Ramli, 45 tahun, salah satunya. Nelayan asal Kuala Langsa bersama teman-temannya menyelamatkan ratusan pengungsi yang menjadi korban kejahatan kemanusiaan.
Kebaikan nelayan Aceh terhadap pengungsi tidak hanya sebatas menyelamatkan mereka. Pada gelombang pengungsi sebelumnya, masyarakat Aceh membantu dengan memberikan makanan ke tempat pengungsian. Bahkan ada beberapa warga Aceh yang ingin mengadopsi anak pengungsi. Mereka tidak tahu apa itu kedaulatan atau eksodus. Hal yang dikhawatirkan Jenderal TNI Moeldoko terhadap Marzuki, seorang nelayan sederhana, adalah: “Ada orang yang terapung di laut. Kalau terlambat datang, bisa mati semua.”
Indonesia baru-baru ini menjadi tuan rumah pertemuan tingkat tinggi; Konferensi Asia-Afrika dan semua itu disebutnya sebagai upaya mempertahankan kedaulatan. Di tengah acara tersebut, Bandung mendeklarasikan dirinya sebagai kota hak asasi manusia.
“Sebenarnya agak ironis, ketika kita sering mengkritik syariat Islam di Aceh yang dianggap melanggar HAM, justru merekalah yang paling bersemangat membantu sesamanya.”
Dalam hal ini, Rohingya lebih relevan dari sekedar pernyataan kosong.
(BACA: Presiden Jokowi Terima Pengungsi Rohingya)
Ini bukan kali pertama Indonesia menerima tamu pengungsi. Pada tahun 1979-1996, fenomena orang kanon juga muncul. Mereka adalah orang-orang Vietnam yang menjadi pengungsi akibat perang saudara. Terdapat 250.000 pengungsi Vietnam yang tinggal di Pulau Galang, di bagian selatan Pulau Batam. Selama jangka waktu 7 tahun mereka tinggal di pulau itu, hanya untuk kembali ke rumah setelah perang saudara berakhir.
Mengingat sejarah tersebut, ini bukan kali pertama pemerintah Indonesia menerima pengungsi. Oleh karena itu merupakan sikap arogan dan cuek, mengusir pengungsi hanya atas dasar masalah teritorial dan kedaulatan negara.
Jadi ketika masyarakat Aceh membantu pengungsi Rohingya, pemerintah patut malu. Peran negara diambil alih oleh masyarakat, sedangkan aparatur yang ada hanya bisa bersembunyi di balik aturan-aturan kolot.
Syariat Islam bukan sekedar label, namun merupakan way of life masyarakat Aceh. Mereka membuktikannya bukan hanya sekedar menegakkan qanun tapi dengan membantu masyarakat miskin Rohingya.
Ketika negara sibuk memikirkan hukum-hukum positif mengenai kedaulatan negara, agenda politik, dan hal-hal genit lainnya. Masyarakat Aceh paham hanya satu hal, sesama muslim wajib saling membantu, dan menurut saya itu lebih mulia dari sekedar Nawa Cita.
Tapi, apa lagi? Apa yang bisa diharapkan dari pemerintah yang bungkam terhadap pembunuhan anak di Paniai Papua?
Barangkali nanti kalau sudah terlambat, Pemimpin Besar kita akan mengunjungi Nawa Cita Aceh. —Rappler.com
Arman Dhani adalah seorang penulis lepas. Penulisannya bergaya satir penuh sarkasme. Saat ini ia aktif menulis di blognya www.kandhani.net. Ikuti Twitter-nya, @Arman_Dhani.