Hari Kesaktian Pancasila, Masih Relevan?
- keren989
- 0
Apa jadinya jika Mayjen Pranoto menolak perintah Mayjen Soeharto dan terus menghadap Bung Karno di Halim pada tanggal 1 Oktober 1965, kemudian Bung Karno memerintahkan agar Pangkostrad yang tidak kompeten itu dinonaktifkan?
Namun sejarah tidak mengenal kata “sebagai”. Bung Karno kehilangan momentum dan hal ini pada akhirnya berujung pada runtuhnya kekuasaannya. Kenangan akan momentum itulah yang membuat penguasa Orde Baru menjadikan tanggal 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila – sebuah legitimasi ketika Pancasila berjaya melawan komunis.
Apalagi para penguasa Tanah Air – tak hanya Soeharto, tapi penerusnya – selalu memperingati 1 Oktober di Monumen Lubang Buaya, Jakarta Timur. Diorama sejarah tersaji lengkap dengan sumur yang menjadi pengingat betapa brutalnya komunis.
Sejak itu, Pancasila dijadikan propaganda dan pembenaran atas “kebenaran” rezim yang berkuasa.
Bagi rezim Orde Baru, Pancasila diposisikan sebagai alat penekan. Atas nama Pancasila, demokrasi bisa dirantai. Atas nama Pancasila, aparat boleh membunuh warga negara. Tak heran, dalam film horor tahun 80-an, terdapat adegan Kuntilanak berceramah tentang Pancasila di hadapan warga desa yang anehnya tidak takut melihatnya.
Betapa seriusnya menegakkan kesucian Pancasila terlihat dari serangkaian pertahanan terhadap penindasan pemberontakan komunis. Untuk mencocokkan “Cornell Paper” yang terungkap dalam Washington Post edisi 5 Maret 1966, sejarawan Nugroho Notosusanto dan Lt.Col. Ismail Saleh, jaksa di Pengadilan Militer Luar Biasa (Mahmilub), dikirim ke Amerika untuk menulis surat.
Dengan bantuan Guy Pauker dari Rand Corporation yang dianggap dekat dengan CIA, keduanya berhasil menulis buku. Upaya kudeta ‘Gerakan 30 September’ di Indonesia yang dibagikan dimana-mana. Prestasi ini membuat keduanya mendapat tempat di pemerintahan Soeharto.
Bagi rezim Orde Baru, Pancasila diposisikan sebagai alat penekan. Atas nama Pancasila, demokrasi bisa dirantai. Atas nama Pancasila, aparat boleh membunuh warga negara.
Sebagai mantan Kepala Dinas Sejarah ABRI, kemudian diangkat menjadi Rektor Universitas Indonesia sekaligus Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nugroho diduga berperan besar dalam penulisan buku sejarah di sekolah. Sekretariat Negara juga telah menerbitkan buku putih bertajuk Gerakan 30 September, Pemberontakan Partai Komunis Indonesia: Latar Belakang, Aksi dan Represi. Buku ini hanyalah penyederhanaan karya Nugroho yang dipaparkan ke masyarakat umum.
Zaman telah berubah, rezim telah berubah. Era keterbukaan merupakan hak dasar semua orang. Kita akhirnya tahu bahwa semua yang diajarkan sejak kecil kepada kita tidaklah benar, seperti cerita para jenderal yang dicukur alat kelaminnya atau dicungkil matanya karena nyanyian komunis. Genjer- Genjer. Itulah adegan Bung Karno menepuk pundak Brigjen Soeparjo di film tersebut Pengkhianatan G30S/PKI — dimainkan setiap malam pada tanggal 30 September selama hampir 15 tahun — juga tidak benar.
Kami juga akhirnya mengetahui bahwa pihak militer memberikan nama-nama anggota PKI yang akan dibunuh serta melatih organisasi pemuda sipil yang pada akhirnya berujung pada pembantaian yang mengerikan.
Kini “kesucian” Pancasila dipertanyakan karena terkait dengan pembantaian tersebut. Diam-diam, Pancasila menjadi monster yang menakutkan dan penuh darah. Laporan The Economist menyebutkan 100.000 orang meninggal pada bulan Desember 1965 hingga Februari 1966 saja. Menurut Komisi Pencari Fakta yang dibentuk pasca peristiwa berdarah itu, jumlah korban hanya 78.000 orang.
Namun Oei Tjoe Tat – Menteri Negara era Bung Karno – yang menjadi ketua tim justru meragukan penemuan tersebut. Dalam perjalanannya melakukan penyelidikan, ia justru disudutkan oleh aparat militer setempat. Dia mengatakan angka tersebut terlalu diremehkan. Dengan sinis katanya bukan 78.000 tapi 780.000.
Aneh Perintah untuk memulihkan keamanan dan ketertiban (Komkaptib), sebuah lembaga bentukan Orde Baru, menjadi sangat berkuasa dan bisa menentukan hidup atau mati seseorang. Dalam laporannya, Komkaptib menyebutkan angkanya hampir 1 juta orang dengan rincian 800.000 korban di Pulau Jawa dan 100.000 korban di Bali dan Sumatera.
Jumlah yang besar ini juga menunjukkan adanya praktik genosida, yakni pemusnahan kelompok tertentu. Sebagai pemimpin Khmer Merah Dan Perdana Menteri KambojaPol Pot melakukan pembantaian dalam beberapa tahun untuk melenyapkan kelas borjuis dan intelektual, di Indonesia mereka melakukan pembantaian dalam hitungan bulan.
Hari Kesaktian Pancasila sudah tidak relevan lagi jika hanya dilihat sebagai cara mengenang para jenderal yang gugur. Namun ini harus menjadi hari rekonsiliasi atas beban dendam sejarah di masa lalu. Sejak lama kita beralasan bahwa pembantaian tersebut merupakan aksi balas dendam yang dilakukan masyarakat, sebagai respon atas tindakan kekerasan yang sebelumnya dilakukan oleh anggota PKI.
Kita sebenarnya lupa bahwa pembantaian orang-orang yang dianggap komunis kebanyakan menyasar orang-orang yang tidak bersalah. Bukan hanya keluarga korban, tapi juga para guru yang tidak paham politik dan hanya berteriak: “Guru lapar. Mereka tidak bisa mengajar.”
Hari Kesaktian Pancasila sudah tidak relevan lagi jika hanya dilihat sebagai cara mengenang para jenderal yang gugur. Namun ini harus menjadi hari rekonsiliasi atas beban dendam sejarah di masa lalu.
Bagaimana kita menjelaskan ribuan guru yang hilang dari sekolah pada periode tersebut? Juga seniman yang mempunyai minat khusus terhadap wayang atau reog sehingga diasosiasikan dengan Lekra?
Bukan hanya pembunuhan, tapi juga penindasan. Istri penerbang yang diludahi di pasar setelah G30S. Korban anak-anak yang tidak bisa mendapatkan pekerjaan karena “lingkungan yang tidak bersih”. Belum lagi mereka yang terusir dari rumahnya karena rumahnya dirampas paksa.
Lubang Buaya bukan sekedar sumur di Pondok Gede. Masih ada jurang atau lubang besar yang menampung ribuan jenazah orang-orang yang dianggap PKI. Setelah disembelih, mereka dibuang ke Watu Ongko Tuban, jurang di Curahtangis, di sela-sela jalan Banyuwangi, dan banyak terdapat lubang dan jurang di seantero Tanah Air.
Beranikah kita meminta maaf kepada keluarga Suranto, seorang kepala sekolah SMA di Pare, Kediri? Istrinya yang sedang hamil 9 bulan ditangkap oleh pemuda dari organisasi masyarakat sipil. Mereka dibunuh, perut istrinya dibelah, dan janinnya dipotong-potong.
Selama seminggu setelah kejadian tersebut, kelima anak Suranto yang masih kecil tidak mempunyai siapa pun yang bisa membantu mereka, karena para pemuda tersebut memperingatkan tetangga mereka bahwa siapa pun yang membantu anak-anak tersebut tidak akan terjamin keselamatannya.
Tak ada salahnya bangsa ini meminta maaf atas kesalahan masa lalu. Tak perlu takut permintaan maaf akan membuka luka lama, sebab sejarah tak perlu ditutup-tutupi.
Jika rekonsiliasi ini tercapai di masa depan, maka Pancasila tidak perlu lagi diperingati kesaktiannya. Dia sangat dihargai karena kebajikannya. —Rappler.com
Iman Brotoseno adalah seorang blogger dan sutradara film dan komersial. Sampaikan salam padanya di Twitter, @ImanBRdan mengunjungi pikirannya blog.imanbrotoseno.com.
BACA JUGA: