• September 25, 2024

Jokowi, Prabowo dan Koalisi Baru?

Bagaimana rasanya jika seorang presiden membentuk koalisi baru dengan mantan pesaingnya dalam satu pertarungan pemilihan presiden?

Mungkin Presiden Joko “Jokowi” Widodo punya jawabannya.

Sebab siapa sangka lusa setelah 100 hari masa pemerintahannya, Jokowi justru bertemu dengan Prabowo Subianto di Istana Bogor, Kamis (29/1).

Pertemuan tersebut diduga karena terjadi di tengah konflik sengit antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri, yang rupanya dipicu oleh pencalonan tunggal Komjen Pol Budi Gunawan sebagai Kapolri.

Seperti kita ketahui, pencalonan tersebut mendapat kecaman keras dari berbagai kalangan, terutama pendukung Jokowi, karena Budi merupakan orang dekat Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDI Perjuangan. Sebuah pernyataan baru-baru ini mengakui hal ini nominasinya tidak berasal Jokowi secara pribadi juga memperkuat anggapan bahwa ada intervensi yang coba dikendalikan oleh Jokowi.

(BACA: Ada Pihak yang Tekan Jokowi)

Budi sendiri masih dalam proses hukum dengan statusnya sebagai tersangka di lembaga antirasuah KPK.

Keputusan ini jelas tidak baik. Jokowi melihatnya. Keputusan yang didasarkan pada kepentingan politik partai tertentu tidak akan memperbaiki keadaan Kredibilitas polisi sudah buruk di mata masyarakat. Hal ini seharusnya cukup menjadi peringatan bagi Jokowi untuk segera melepaskan diri dari pengaruh individu atau partai mana pun.

Jokowi mengungkapkan dalam wawancara dengan Harian Kompas (30/1) bahwa sebagai kepala negara ia tidak bisa dipengaruhi siapa pun. Sikapnya yang mendengarkan berbagai pendapat dari berbagai kalangan tidak bisa diartikan “mengikuti” karena keputusan akhir tetap ada di tangannya.

“Jika saya menanyakan pendapat seseorang, bukan berarti orang tersebut mempengaruhi saya. “Karena saya biasanya mendengarkan banyak orang (…). Tapi keputusan akhir ya, tetap ada di tangan saya, mana yang masuk akal, mana yang masuk akal dalam perhitungan, dan mana yang tidak,” kata Jokowi.

Senada dengan itu, para pakar politik menilai sikap Jokowi yang membentuk tim konsultasi independen penyelesaian persoalan KPK vs Polri (Tim 9) merupakan tanda bahwa ia mulai berusaha melepaskan diri dari pengaruh Megawati.

Tapi apakah pertemuannya dengan Prabowo bisa dibaca sebagai sinyal lain bagi Megawati bahwa Jokowi tidak bisa dikendalikan oleh siapa pun kecuali dirinya sendiri?

Jika demikian, saya setuju. Karena memang benar, Jokowi adalah pemimpin sah negara ini. Dia dipilih oleh rakyat. Rakyat memilihnya. Bukan memilih PDI-P, apalagi ketuanya.

Namun saya tidak setuju jika langkah Jokowi menemui Prabowo merupakan langkah politik untuk menjajaki kemungkinan koalisi baru. Saya tidak setuju jika Jokowi menjalin ‘persahabatan’ politik dengan partai baru.

Pengamat politik dari Universitas Indonesia, Arbi Sanit, mengatakan kepada saya: “Jika Anda bertemu ular dan politisi di hutan, politisi itulah yang harus Anda bunuh.”

Saya bertanya mengapa. Dia menjawab: “Karena politisi lebih berbahaya daripada ular berbisa mana pun di dunia.”

Lanjutnya, “Ini bahayanya bagi para politisi, bagi presiden kita yang non-politisi. Semua orang akan menggigitnya karena sepertinya Jokowi mulai menunjukkan perilaku yang bertentangan dengan kepentingannya.”

Aku setuju dengannya.

Dalam politik tidak pernah ada teman. Yang ada hanyalah kepentingan. Politisi PDI Perjuangan Effendi Simbolon bisa menjadi contoh.

Seperti yang baru-baru ini diberitakan banyak media Effendi makin banyak berkicau untuk menyudutkan Jokowi dengan kritik keras terhadap setiap kebijakan yang diambil presiden.

Effendi bahkan berani menyinggung soal pemakzulan dengan mengatakan: “Bagi siapa pun yang ingin menggulingkan Jokowi, sekaranglah saatnya karena banyak celah.”

“Haruskah Jokowi keluar dari PDI-P dan berkoalisi baru dengan partai lawan? Atau haruskah dia menjadi presiden independen dan mengikuti jejak Ahok?”

Sikap berani politisi ini patut dipertanyakan. Megawati adalah sosok yang disegani di PDI-P. Mustahil jika pernyataan-pernyataan tersebut keluar begitu saja tanpa disaring olehnya terlebih dahulu.

Lalu pertanyaan berikutnya, haruskah Jokowi keluar dari PDI-P dan berkoalisi baru dengan partai lawan? Atau haruskah ia menjadi presiden independen dan mengikuti jejak mantan wakilnya saat memimpin Jakarta, Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama?

Kedua pilihan tersebut sangat dilematis dan hampir mustahil. Harus diakui, Jokowi membutuhkan kendaraan politik, meski tekanan dari koalisinya semakin kuat. Namun, ia berada dalam realitas politik yang penuh intrik.

Pilihan terjun ke KMP bukanlah pilihan yang bijak. Pilihan ini ibarat keluar dari kandang harimau, masuk ke dalam mulut buaya.

Yang harus dilakukan Joko adalah bertahan sambil menyusun strategi baru. Dia membutuhkan kekuatan baru untuk mendukungnya. Dan dia juga harus menunjukkan siapa pemimpinnya. Dia harus berani dan tegas.

Ya. Presiden Indonesia adalah Anda, Pak Jokowi. Pimpin kami dan kami akan mendukung Anda. Pimpin kami dan kepercayaan kami akan kembali kepada Anda. —Rappler.com

Karolyn Sohaga adalah seorang aktivis sosial yang memiliki ketertarikan pada sastra, isu perempuan dan hak asasi manusia.

Pengeluaran Sidney