• November 25, 2024

Perjuangan Salim Kancil melawan penambang liar

LUMAJANG, Indonesia— Sebelum Salim Kancil dibungkam atas pembunuhannya, ia dikenal sebagai sosok yang tangguh dan bengis. Perjuangannya baru terhenti saat dibunuh sekelompok orang di Balai Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur pada Sabtu, 26 September.

Tija, 45 tahun, istri mendiang Salim mengaku meminta suaminya berhenti bertengkar. Meski demikian, semangat Salim tak surut. “Nyonya, saya berjuang seperti yang dikatakan Bung Karno (Sukarno) dalam Pancasila dan Konstitusi,” kata Tija menirukan ucapan suaminya.

TIja mengatakan, suaminya adalah seorang petani dan pemilik lahan di sekitar lokasi pertambangan di pesisir selatan Watu Pecak.

Hingga suatu saat Salim menemukan 8 bidang tanah hancur akibat penambangan pasir ilegal. Tambang tersebut kemudian diduga dijalankan oleh Tim 12 yang merupakan mantan tim sukses kepala desanya, Haryono.

“Saat itu ayah saya marah karena lahan pertaniannya dirusak oleh penambangan liar mendukung Pak Kepala Desa Haryono, kata Tija saat ditemui Rappler di rumahnya, Rabu malam, 30 September.

Suaminya semakin marah ketika mengetahui lahan pertanian yang dimilikinya selama puluhan tahun tidak bisa lagi ditanami padi. Salim beberapa kali bercerita kepada tetangganya tentang lahan yang sudah tidak bisa ditanami karena sering terkena air laut.

“Saya bilang ke ayah saya, sabar, jangan melawan kepala desa, dia dekat dengan aparat dan aparat, dia akan menjadi korban dan dihukum,” kata ibu dua anak ini.

Salim yang menjadi tulang punggung keluarga kebingungan karena tak bisa lagi diharapkan lahan pertanian sebagai sarana penghidupan akan mengeluarkan asap dari dapur rumahnya. Penghasilannya pun turun drastis.

“Sejak lahan pertanian bapak saya dirusak, jujur ​​saja perekonomian keluarga terpukul karena harus menyekolahkan Dio (anak bungsu) setiap hari dan makan,” kata Tija.

Salim lalu memutar otak, ia memutuskan untuk berpindah haluan menjadi nelayan. Ia mencari ikan dan kepiting untuk menghidupi keluarganya.

Salim adalah gerilyawan

Sadar tak bisa bertahan hidup hanya dengan menjadi nelayan dadakan, Salim pun mulai mengunjungi rumah teman-temannya pada malam hari.

“Pada dasarnya bapak mengunjungi dan bertemu dengan petani yang terkena dampak penambangan pasir. “Mungkin saat itu kami ingin melawan Kepala Desa dan para penambang liar,” ujarnya.

Salim Kancil akhirnya berhasil merekrut 5 warga. Mereka memulai perlawanan secara rahasia. Mereka cukup berhati-hati karena khawatir aktivitas mereka akan diketahui oleh Tim 12.

“Tim 12 berasal dari Kepala Desa yang sebelumnya merupakan tim sukses pada pemilihan Kepala Desa dan menjadi tim pengamanan,” ujarnya.

Salim menjadi aktif, rajin menulis surat kepada aparat keamanan, pemerintah kabupaten dan provinsi hingga ke Jakarta. Intinya pak, bersama Pak Hamid, kawan-kawan sering keluar kota ke Malang, Surabaya, dan Jakarta untuk mengadu, kata Tija.

Salim pun bercerita tentang aktivitasnya bersama istrinya. Sebelum tidur, Salim kerap bercerita tentang penolakan terhadap pertambangan.

Suaminya kerap menegaskan bahwa dirinya memperjuangkan hak hidup sebagai warga negara Indonesia, apalagi yang menimpanya sama dengan perampasan lahan di lokasi penambangan liar.

Perlawanan Salim yang semakin nyata mulai membuat marah para penambang liar yang ‘diamankan’ oleh Tim 12. Ancaman dan intimidasi terhadap Salim mulai berdatangan.

Bahkan di tengah Ramadhan tahun ini, salah satu pimpinan mantan Tim 12 yang juga Ketua Organisasi Masyarakat Desa Hutan, Desir, datang ke rumah Salim.

“Saat itu kepala bapak saya hendak dipukul, namun ditangkis dengan tangan,” kata Tija. Tim 12 mulai bermain kasar.

Prihatin dengan keselamatan suaminya, Tija kemudian meminta Salim berhenti memperjuangkan lahan pertanian yang hancur akibat pertambangan.

Namun, semangat untuk memperjuangkan hak hidup dan menolak pertambangan semakin tumbuh. “Nyonya, saya berjuang seperti yang dikatakan Bung Karno (Sukarno) dalam Pancasila dan Konstitusi,” kata Tija menirukan ucapan suaminya.

Salim Kancil kemudian melaporkan adanya intimidasi dan pengancaman kepada para petani yang menolak menambang ke Polsek Pasirian, yang kemudian diteruskan ke Polres Lumajang, namun tidak ada tindakan.

“Ayah saya dan temannya Pak Hamid sering menyurati sejumlah pejabat pemerintah, tapi tidak ada tanggapan atau tindakan,” ujarnya.

Pembentukan Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Desa

Karena tidak ada respon dari aparat, Salim mendirikan Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Desa Selok Awar-Awar atau FORUM.

Warga yang berhasil direkrutnya untuk kelompok pertama berjumlah 11 orang, yakni Tosan, Iksan Sumar, Ansori, Sapari, Abdul Hamid, Turiman, Muhammad Hariyadi, Rosyid, Mohammad Imam dan Ridwan.

“Jadi saat itu kami mulai berkelahi dengan Pak Salim dan Pak Tosan,” kata Muhammad Hariyadi, warga Selok Awar-Awar yang juga Ketua Cabang Gerakan Mahasiswa Islam Indonesia di Lumajang.

Mereka melakukan Gerakan Advokasi Protes terkait penambangan pasir yang mengakibatkan kerusakan lingkungan di desanya dengan menulis surat kepada Pemerintah Desa Selok Awar-Awar, Pemerintah Kabupaten Pasirian bahkan kepada Pemerintah Kabupaten Lumajang.

Pada bulan Juni, FORUM menulis surat kepada Bupati Lumajang As’at Malik meminta audiensi mengenai penolakan tambang Pasir. Tapi tidak ada tanggapan.

Pada tanggal 9 September, FORUM melakukan aksi damai untuk menghentikan aktivitas penambangan pasir dan menghentikan truk bermuatan pasir di Balai Desa Selok Awar-Awar, yang menghasilkan surat pernyataan dari Kepala Desa Selok Awar-Awar untuk menghentikan penambangan pasir.

Di hari yang sama, Salim dan warga penentang tambang pasir mengaku mendapat ancaman pembunuhan. Menurut mereka, pengirimnya adalah Tim 12 yang dipimpin oleh Desir.

Warga melaporkan hal ini ke pihak berwajib, namun lagi-lagi tidak ada tanggapan.

Sehari sebelum Salim terbunuh, 25 September, FORUM merencanakan aksi penolakan penambangan pasir pada Sabtu, 26 September pukul 07.30 WIB.

Rekan Salim, Tosan, mengawali aksi pada pukul 07.00 dengan membagikan selebaran aksi damai penolakan penambangan di depan rumahnya bersama Imam. Kemudian seseorang lewat dan membaca pamflet sambil memaki Tosan dan Imam.

Enam puluh menit kemudian, Salim didatangi puluhan orang di rumahnya. Dia diseret ke Balai Kota dan disiksa sampai mati.
—Rappler.com

BACA JUGA

Togel Singapore Hari Ini