Menginterogasi Islam Moderat di Indonesia
- keren989
- 0
Pemerintahan baru di bawah Presiden Jokowi harus mampu menjaga kerukunan dan kerukunan antar umat beragama, hal yang tidak dilakukan oleh mantan Presiden SBY.
Reza Aslan, seorang intelektual bidang agama dan khususnya Islam asal Amerika Serikat berkewarganegaraan Iran, kerap menjadikan Indonesia sebagai contoh dalam berbagai wawancara. Ketika nilai-nilai dalam Islam kembali mendapat serangan di tengah meningkatnya kekhawatiran dunia Barat terhadap ancaman aksi teroris yang dilakukan oleh kelompok yang menamakan dirinya Negara Islam Irak dan Syam (ISIS), tokoh seperti Aslan kerap mencontohkan Indonesia. untuk mengingatkan dunia Barat bahwa Islam tidak selalu diwakili oleh negara-negara di Timur Tengah. Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, sebuah fakta yang sangat sedikit diketahui masyarakat Barat, dianggap sebagai wajah Islam moderat.
“(Di) perempuan sepenuhnya, 100 persen, setara dengan laki-laki,” kata Reza dalam keterangannya pemeliharaan di CNNbaru-baru ini.
Ketika masyarakat Barat berbicara tentang Islam dan mempertanyakan apakah benar bahwa sebagai sebuah agama, Islam menganjurkan kekerasan, seperti yang ditunjukkan oleh berbagai kelompok teroris berbasis Islam seperti ISIS dan Al-Qaeda, mereka akan langsung menyajikan fakta-fakta mengerikan seperti larangan mengemudi. perempuan di Arab Saudi atau berbagai tindakan represi terhadap kelompok minoritas di Pakistan.
Namun, dengan beberapa perkembangan terkini di negara ini, apakah Indonesia masih layak menyebut dirinya Islam moderat?
Jika kita menilik sejarah, pertumbuhan Islam di Indonesia justru berbanding terbalik dengan kondisi yang dialami negara-negara Islam di Timur Tengah, Persia, dan Asia Selatan. Selama puluhan tahun, wajah Islam yang damai dan bersahabat telah tumbuh subur di Indonesia, di bawah naungan dua organisasi Islam paling berpengaruh di negeri ini, yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
Kebangkitan Islam garis keras di Indonesia ditandai dengan peristiwa bom Bali tahun 2002 yang memakan korban jiwa sebanyak 202 orang. Para pelaku diyakini merupakan bagian dari Jemaah Islamiyah, sebuah organisasi garis keras yang bertujuan untuk mendirikan negara Islam di kawasan Asia Tenggara. Jaringan yang sama dituduh mendalangi pengeboman tahun 2005, juga di Bali.
Meski pertumbuhan gerakan Islam garis keras di Indonesia mengalami pasang surut dalam beberapa tahun terakhir, namun eksistensinya nampaknya semakin menguat secara kualitas, sebagaimana diungkapkan beberapa pakar.
Anggota Front Pembela Islam (FPI), misalnya, organisasi Islam garis keras paling terkenal di negeri ini, semakin berani melakukan berbagai aksinya atas nama agama dan kepentingan umat. Baru-baru ini, FPI terlibat aksi unjuk rasa yang berujung ricuh menentang penunjukan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok sebagai gubernur Jakarta. (MEMBACA: Aksi FPI terhadap Ahok berakhir ricuh, puluhan polisi terluka)
Ada dua hal yang perlu diperhatikan ketika membahas masalah ini. Pertama, ketidakberdayaan pemerintahan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam membatasi pergerakan berbagai ormas Islam garis keras di Indonesia. Dalam beberapa kejadian, Pemerintah nampaknya sedang mengembangkan tren ini, menjadikan masyarakat dari kelompok ekonomi rendah yang kurang berpendidikan menjadi sasaran empuk anggota baru. Sementara itu, aparat keamanan kerap tampil ompong saat berhadapan dengan berbagai organisasi garis keras tersebut sehingga menimbulkan keresahan di masyarakat luas.
Hal lain yang patut diwaspadai, yang justru ironis, semakin maraknya eksistensi Islam garis keras di Tanah Air pada dasarnya adalah buah dari demokrasi, sesuatu yang telah diperjuangkan umat Islam moderat di negeri ini sebelumnya. Ibarat senjata makan malam, hak atas kebebasan berekspresi digunakan sebagai senjata ampuh bagi organisasi-organisasi keras untuk hadir di masyarakat. Seperti yang telah kita lihat dalam beberapa kesempatan, para pemimpin organisasi-organisasi yang keras dengan yakin menyatakan bahwa keberadaan mereka diakui oleh hukum.
Ada banyak hal yang bisa dipelajari oleh pemerintahan baru yang dipimpin Presiden Joko “Jokowi” Widodo untuk menyikapi masalah ini. Memulihkan dan mempertahankan citra Islam yang moderat dan ramah di Indonesia bukanlah tugas yang mudah, namun bukan berarti tidak mungkin.
Pemerintah harus tegas dan tidak boleh sembarangan dalam penerapan undang-undang agar persepsi masyarakat bahwa aparat keamanan sebenarnya berada di balik keberadaan banyak organisasi yang keras dapat dilawan. Misalnya, keberadaan Undang-Undang Ormas dapat dijadikan alat untuk memberikan hukuman kepada organisasi yang tidak mematuhi peraturan. Namun tentunya penggunaannya tidak bisa sembarangan, ada beberapa tahapan yang harus dilakukan sebelum suatu organisasi dinyatakan melakukan pelanggaran.
Pemerintahan Jokowi juga harus aktif merangkul berbagai kalangan, terutama organisasi Islam besar di tanah air, untuk bersama-sama ikut membangun dan memajukan Islam yang Rahmatan Lil Alamin, atau agama yang membawa rahmat dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. Pemahaman ini hendaknya menjadi landasan bagi pendidikan Islam yang terstruktur dan sistematis, dimana generasi muda Islam menjadi sasarannya.
Di sisi lain, sudah saatnya umat Islam moderat di negeri ini berhenti bersikap seperti itu mayoritas yang diam. Selama ini kalangan moderat terkesan bungkam, tidak berani mengemukakan pikiran dan pendapatnya karena takut akan tekanan yang dilancarkan berbagai kelompok garis keras. Misalnya, anak muda moderat hanya berani bersuara di media sosial, namun enggan turun ke jalan dan unjuk taring.
Dengan semakin meningkatnya aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama, nampaknya sudah saatnya kita bergerak dan menunjukkan eksistensi kita. —Rappler.com
Tasa Nugraza Barley adalah konsultan komunikasi yang pernah menjadi jurnalis di sebuah surat kabar berbahasa Inggris di Jakarta selama dua tahun. Dia suka membaca buku dan bertualang, dan dia sangat menikmati rasa kopi yang diseduh. Ikuti Twitter-nya @garsbanget