• October 18, 2024

Kalau tidak mau minta maaf, tidak apa-apa Pak Jokowi

Aku berkedip, dan ini bulan Oktober.”

Melalui tweet dari CEO Rappler Maria Ressa, saya membuka mata dan menyadari bahwa hari ini adalah tanggal 1 Oktober, dimana setiap orang merayakan Hari Kesaktian Pancasila.

Saya bahkan mendengar bahwa Bapak Presiden kita yang terhormat sedang dalam perjalanan menuju sumur di Lubang Buaya untuk memimpin upacara penghormatan terhadap para jenderal yang diduga dibunuh entah oleh siapa. Tidak yakin.

Dan saya juga mendengar bahwa Jokowi menekankan bahwa pemerintah tidak berniat meminta maaf kepada anggota keluarga Partai Komunis Indonesia atas pembantaian ayah, anak, kakek, ibu, saudara perempuan, dan teman-temannya.

Tidak ada niat untuk meminta maaf. Bahkan tidak ada niat untuk memikirkannya. kata Jokowi.

Pikiranku langsung melayang ke sore hari tanggal 30 September 1965. Hari itu, seorang pria paruh baya menggandeng tangan putrinya yang masih kecil dan pergi ke rak buku di ruang tamu rumah mereka.

Tanpa banyak bicara, ia meminta putranya untuk membawa semua buku tema yang tersisa di lemari menuju halaman belakang. Pria tersebut kemudian menggali lubang, memasang tiang di dalamnya dan mengambil korek api.

“Masukkan semua buku ke dalam lubang, Nak,” katanya.

Buku itu dibakar. Sampai selesai.

Keesokan paginya, pemuda Ansar dan pria berseragam militer menjemputnya. Dia memandang istri dan kelima anaknya untuk terakhir kalinya.

Tidak ada kabar. Putrinya tidak tahu apakah ayahnya sudah meninggal. Atau hidup.

Putrinya sekarang sudah cukup umur. Dia juga melahirkan seorang putri. Dan anak itu adalah aku.

Jadi saya berkedip, dan ini bulan Oktober. Ini adalah bulan Oktober yang kelam bagi saya dan ibu saya.

Mengatasi stigma

Dan kebetulan sekali, saya baru saja menonton film bersama tadi malam Pengkhianatan G30S/PKI dengan Front Pembela Islam di Cawang, Jakarta Timur. Dengan sosoknya yang fenomenal, Rizieq Shihab.

Saya mendengarkan ceramahnya, dari AZ. Termasuk teriakannya. “Bajingan, bajingan, bajingan!”

Di akhir pidatonya, dia menyebut keluarga PKI. Ia mengatakan FPI menghormati hak asasi manusia, namun mengingatkan keluarga PKI untuk tidak bangga dengan komunisme.

Tunggu sebentar.

Ingin sekali saya menyela Rizieq di tengah kerumunan pria berjubah putih yang bangga membela Islam, agama saya.

Tapi saya tidak bisa berbicara. Kata. Karena saya seorang reporter berita.

Maka perasaan sedih itu aku pendam, hingga hari ini aku bisa menulis tentangnya blog Saya.

Pak Rizieq, perlu anda ketahui bahwa tidak semua keluarga PKI adalah komunis. Ketika Anda mengatakan PKI dan kaum liberal adalah saudara dekat, saya kira ada yang salah, Pak.

Apalagi dengan melabeli keluarga PKI sebagai PKI, kalau tidak dikuasai semuanya maka PKI akan bangkit.

Situasinya tidak begitu mutlak, Pak. Kakek saya memang anggota partai terlarang. Tapi nenek saya adalah putri seorang kyai yang disegani di Jawa Timur.

Anak kakek saya, paman saya, saat itu adalah seorang pemuda Anshor. Betapa terpukulnya dia melihat ayahnya sendiri dibawa pergi oleh anggota kelompok belajarnya.

Setiap kali Anda menyebut anggota keluarga PKI sebagai komunis, Anda telah merampas hak mereka untuk hidup seperti rakyat biasa. kamu punya pelanggar.

Kuharap aku bisa memberitahumu hal itu. Sekali lagi, tapi siapa aku?

Meminta maaf saja tidak cukup

Lalu persoalan minta maaf, tentunya bagi keluarga, meminta maaf saja tidak cukup. Saya tidak mengatakan negara harus meminta maaf kepada keluarga PKI. Saya meminta negara meminta maaf kepada semua pihak yang dirugikan saat itu.

Terutama dampak yang ditinggalkan setelah pembantaian tersebut. Mengapa pemerintah harus meminta maaf?

Pertama, setelah membunuh anggota PKI. Pemerintah terus melakukan diskriminasi terhadap keluarga PKI. Mereka melakukan penelitian khusus alias penelitian khusus terhadap anggota keluarga PKI.

Padahal sebelumnya mereka sama sekali tidak terlibat dalam kegiatan PKI. Diskriminasi ini sudah berlangsung selama dua generasi, mungkin sampai sekarang.

Kedua, pemerintah harus meminta maaf karena memaksa saya menonton film makar G30S/PKI dari SD hingga SMA. Meski kebenarannya masih jauh dari jelas.

Ketiga, sebenarnya maaf saja tidak cukup. Karena yang jelas 3 juta nyawa hilang. Tidak semuanya benar-benar anggota PKI. Anda ingin membayar dengan apa? Bahkan uang pun tidak bisa membayarnya.

Namun jika Pak Jokowi tidak mau meminta maaf, maka tidak usah dipedulikan Pak Jokowi. Kita akan selalu ingat bahwa negara ini pernah gagal dalam melindungi warganya untuk memenuhi keinginan beberapa kelompok.

Bahwa negara ini sebenarnya telah gagal. Dan kesaktian Pancasila pada akhirnya hanya sekedar angan-angan saja. —Rappler.com

BACA JUGA:

Febriana Firdaus adalah jurnalis Rappler Indonesia. Ia fokus membahas isu korupsi, HAM, LGBT, dan pekerja migran. Febro, sapaan akrabnya, bisa disebutkan @FebroFirdaus.


game slot online