• November 25, 2024

Jokowi, berkaca pada mantan Presiden Uruguay

Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.

Ini saat yang tepat untuk berpikir dan merenung. Mengapa saya memilih Joko Widodo? Mengapa saya mendukungnya?

Jose Mujica akhirnya mundur dari jabatannya sebagai presiden Uruguay setelah melakukan reformasi dan terobosan besar dalam pemerintahannya. Presiden termiskin di dunia ini mungkin adalah penggemar berat penyanyi dangdut Hamdan ATT yang terkenal dengan lagu-lagunya. Gubuk yang Menderita. Bahkan bentuk kumis Jose Mujica sangat mirip dengan kumis Caca Handika. Namun tentu saja, meski menyandang predikat presiden termiskin di dunia, Jose Mujica jauh dari kata miskin hati, apalagi mental.

Warga negara Uruguay tidak menyebut presidennya sebagai Yang Mulia, atau Tuan Presiden, atau orang terhormat. Mereka biasa memanggil presiden Pepe. Ia begitu sederhana karena merasa menjadi presiden bukanlah masalah besar. “Saya menjadi presiden dengan begitu banyak idealisme, namun kemudian kenyataan menghantam saya,” kata Mujica.

Ia kerap melontarkan pernyataan kontroversial tanpa sensor. Gunakan bahasa preman populis yang dipahami masyarakat menengah ke bawah. Namun tentu saja hal tersebut bukanlah alasan utama mengapa ia dicintai rakyatnya dan dikenal hingga ke seluruh dunia. Namun, ia berani menantang status quo dan berpihak sepenuhnya pada kepentingan rakyat. Seperti keputusannya yang melegalkan ganja sebagai industri. Bagaimanapun, hasil industri ini digunakan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat Uruguay.

Gaya kepemimpinan Mujica yang santai namun bertanggung jawab dianggap menjadi alasan mengapa ia begitu terkenal di seluruh dunia. Tidak sekali pun dalam wawancaranya dia mengatakan “itu bukan urusan saya” tentang hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum. Saat Mujica memutuskan untuk melegalkan ganja, ada dua hal yang menjadi pertimbangannya. Biaya yang dapat dihemat dari perang melawan narkoba dan keselamatan masyarakatnya. Sesuatu yang hanya bisa dipikirkan oleh seorang pemimpin dengan pemikiran matang.

Jose Mujica bukannya tanpa kritik. Misalnya saja Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Badan Pengawasan Narkotika Internasional (INCB) yang mengecam tindakan Mujica yang melegalkan ganja. Selain itu, selama lima tahun kepemimpinannya pada Maret 2010 hingga Maret 2015, ia dianggap gagal dalam pembangunan pendidikan. Kualitas pendidikan menurun, sementara angka kemiskinan juga menurun. Ia juga kerap dianggap terlalu santai dan mengabaikan keselamatan dirinya sendiri.

Sebagai presiden, Mujica tinggal di sebuah rumah perkebunan sederhana di pinggiran ibu kota Uruguay. Ia hanya dijaga oleh dua orang penjaga dan setiap hari ia menggunakan VW Beetle rongsokan miliknya untuk kemana-mana. Model blusukan yang dilakukan Mujica dinilai tidak efektif dalam meningkatkan kualitas pemerintahan dan dipandang hanya sekedar pencitraan tanpa esensi. Tapi hei, tidak semua presiden punya hak blusukan dan pencitraan, bukan?

Tidak adil membandingkan Jokowi dan Mujica

Di Indonesia misalnya, presiden kita yang kita hormati, Joko “Jokowi” Widodo, lebih memilih blusukan dan bekerja, bekerja, bekerja daripada mengomel tentang masalah sepele seperti konflik KPK dan Polri. Mungkin bagi Pak Jokowi, dia sependapat dengan Taufiqurrahman Ruki bahwa konflik antara KPK dan Polri sudah selesai. KPK ya, sudah selesai. Lembaga ini bahkan tidak dibela oleh seorang presiden yang disebut-sebut berkomitmen memberantas korupsi.

Ya, sudah selesai. Bagaimana tidak? Pertama, KPK kalah dalam sidang gugatan praperadilan Budi Gunawan terkait penetapan status tersangka oleh KPK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Kedua, permohonan banding yang diajukan biro hukum KPK terhadap putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ditolak. Ketiga Pimpinan KPK yakni Abraham Samad dan Bambang Widjojanto dinonaktifkan karena menjadi tersangka Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri. Akhirnya kasus Budi Gunawan dilimpahkan dari KPK ke Kejaksaan Agung.

Tentu tidak adil jika membandingkan Joko Widodo dan Jose Mujica.

Joko Widodo, katanya, baru saja menjadi presiden. Sedangkan Jose Mujica, mantan gerilyawan dan penyayang binatang, sudah lima tahun menjabat presiden dan sudah membuktikan kepemimpinannya. Namun bukan berarti kualitas spiritual keduanya tidak bisa dibandingkan.

“Jika SBY sangat enggan memberikan hukuman mati, maka kali ini pemerintah akan memperlakukan terpidana mati hanya sebagai ternak.”

Mujica jelas memiliki sikap yang jelas terhadap kemanusiaan. Terlepas dari kontroversi bahwa ia melegalkan pernikahan sesama jenis, melegalkan aborsi, dan mengizinkan ganja sebagai tanaman medis. Mujica memiliki komitmen yang jelas terhadap kebijakan publik dan selalu berusaha berpihak pada rakyat. Ia membuktikannya dengan hidup sederhana, hidup bersama komunitasnya, dan sebagian besar pendapatan Jose Mujica digunakan untuk kegiatan amal dan modal usaha kecil-kecilan.

Mungkin ini saat yang tepat bagi kita untuk berpikir ulang dan merenung. Mengapa saya memilih Joko Widodo? Mengapa saya mendukungnya?

Anies Baswedan, Menteri Pendidikan Republik Indonesia, mengatakan kepada Rappler Indonesia bahwa pilihan terhadap Jokowi tidak bisa dihindari. “Kita butuh sosok baru untuk mendukung perubahan proyek pemerintah,” jelas Anies.

Jika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di 10 tahun pemerintahannya sangat enggan memberikan hukuman mati, maka kali ini pemerintah memperlakukan terpidana mati tak lebih dari sekedar ternak dengan menyebut mereka ternak.

Jika mantan Presiden SBY langsung bertindak saat konflik KPK vs Polri atau Cicak vs Buaya, maka dibutuhkan waktu yang sangat lama bagi Jokowi untuk mengambil keputusan. Sudah terlambat, dan keputusan yang diambil terlalu normatif.

Ujung-ujungnya kita bisa bertanya, haruskah kita panggil Jose Mujica untuk mengajari Jokowi punya nyali? —Rappler.com

Arman Dhani adalah seorang penulis lepas. Penulisannya bergaya satir penuh sarkasme. Saat ini ia aktif menulis di blognya www.kandhani.net. Ikuti Twitter-nya, @Arman_Dhani.


sbobet88