Umat Islam Syiah di Sampang berharap Jokowi membantu mereka pulang
- keren989
- 0
Jakarta, Indonesia – Sudah hampir empat tahun komunitas Muslim Syiah Sampang terusir dari tempat penampungannya di Kabupaten Sampang, Madura, Jawa Timur.
Dari apartemen di Sidoarjo yang mereka tinggali saat ini, komunitas Muslim Syiah Sampang berharap Presiden Joko “Jokowi” Widodo segera bisa kembali ke kampung halamannya.
“Sekarang kita tinggal menunggu realisasi janji Jokowi mewujudkan Islam Rahmatan lil’alamin,” kata Koordinator Yayasan Bantuan Hukum Universalia (YLBHU) Hertasning Ichlas, Sabtu, 20 Juni yang mendampingi masyarakat Muslim Syiah Sampang selama masa evakuasi.
Islam Rahmatan lil’alamin sendiri mengandung makna Islam, rahmat bagi seluruh alam.
Mendukung harapan komunitas Muslim Syiah Sampang, koalisi organisasi gerakan masyarakat sipil yang terdiri dari Amnesty International, Komisi Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) Surabaya, Pusat Kajian Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina, dan Asian Muslim Action Network (AMAN), melalui siaran persnya, mendesak pemerintah segera memfasilitasi kepulangan komunitas Muslim Syiah Sampang.
Intimidasi terhadap masyarakat Muslim Syiah Sampang karena keyakinannya dimulai pada tahun 2011. Puncaknya pada 26 Agustus 2012, ketika mereka harus mengungsi dari rumahnya ke gedung olahraga di Sampang.
Dua tahun lalu, pemerintah memutuskan untuk memindahkan mereka keluar dari Madura.
Menurut Hertasning, solusi yang diminta pemerintah saat itu adalah solusi sementara. Namun hingga kini, masih belum jelas kapan masyarakat Muslim Syiah Sampang bisa kembali hidup normal dan berhenti menjadi pengungsi.
Proses pemukiman kembali sendiri juga dinilai belum menjadi solusi. “Mengingat kondisi Indonesia, pemerintah harus memahami bahwa solusi konflik semacam ini adalah rekonsiliasi, bukan pemukiman kembali,” kata Hertasning.
Tekanan elit menjadi kendala
Bukan tanpa alasan komunitas Muslim Syiah di Sampang saat ini menaruh harapannya pada pemerintah.
Menurut Hertasning, konflik sebenarnya sudah diselesaikan di tingkat akar rumput. Tekanan dari kalangan elitelah yang menghalangi komunitas Muslim Syiah untuk kembali ke Sampang.
“Saya melihat langsung bagaimana pelaku penyerangan dan para pengungsi saling memaafkan dan sepakat untuk berdamai,” ujarnya.
Setelah akad islah yang dikenal dengan ‘islah Sampang’ terjadi, ia pun berusaha memulangkan satu atau dua pengungsi ke Sampang.
“Saat mereka datang, warga menyambut mereka dengan hangat, berpelukan dan menangis seperti saudara bertemu saudara. Namun dalam waktu kurang dari satu hari, para pengungsi yang kembali selalu ditangkap oleh polisi setempat dan dikembalikan ke kamp pengungsian, ujarnya.
Menurut Hertasning, tindakan polisi juga dipengaruhi oleh sikap pemerintah daerah, mulai dari tingkat provinsi hingga kabupaten.
Apa latar belakangnya? Retouching mencatat dua faktor.
Pertama, sejumlah tokoh agama Islam di Sampang dipengaruhi oleh arus geopolitik internasional pasca pecahnya perang di Suriah pada tahun 2011 yang memperkuat sentimen anti-Syiah di berbagai belahan dunia.
“Ulama kita yang relatif kurang moderat terkena dampak arus ini, juga di Sampang,” kata Hertasning.
Selain itu, kesepakatan politik antara pimpinan politik saat ini dengan tokoh agama Islam anti-Syiah di Sampang dalam proses pemenangan membuat mereka tidak bisa berbuat banyak untuk mendukung kembalinya komunitas Muslim Syiah.
Dalam situasi ini, dorongan kepemimpinan politik di tingkat nasional diharapkan dapat menjadi solusi.
Bukan cerita baru
Adanya kelompok masyarakat yang terintimidasi karena perbedaan keyakinan bukanlah cerita baru di Indonesia.
Dari Lombok, komunitas Ahmadiyah saat ini harus menetap di sana Permukiman Wisma Transito di Kelurahan Majeluk, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Berbeda dengan umat Syiah di Madura, komunitas Ahmadiyah terusir dari kampung halamannya karena adanya tekanan dari masyarakat setempat yang tidak bisa menerima keyakinan yang dianutnya.
(BACA: Diusir, Jemaat Ahmadiyah Lombok Tinggal di Kamp Pengungsi)
Di Ibu Kota beberapa waktu lalu, jemaah Ahmadiyah di Tebet terpaksa menunaikan salat Jumat di tengah jalan setelah tidak diperkenankan masuk ke tempat ibadahnya. Front Pembela Islam (FPI).
(BACA: FPI dan Warga Gelar Aksi Demo Terhadap Warga Ahmadiyah Tebet)
Menteri Agama Lukman Saifuddin beberapa waktu lalu mengungkapkan dalam wawancara khusus dengan Rappler, solusi permasalahan seperti ini bisa diakomodasi dalam Rancangan Undang-Undang (RUU). yang mengatur kebebasan beragama di Indonesia.
(BACA: Lukman Saifuddin: Jadi Menteri Agama, Bukan Menteri Agama Islam)
Perkembangan terakhir, RUU yang akhirnya diusulkan, bertajuk RUU Perlindungan Umat Beragama, masuk dalam daftar. Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019. — Rappler.com