• November 24, 2024

Partisipasi swasta Indonesia dalam konservasi alam

Maria Edna menjelaskan satu per satu menggeser presentasi tentang upaya penyelamatan harimau sumatera. Puluhan peserta yang hadir di Paviliun Indonesia, arena COP 20, di Pentagonito, Lima, Peru menyimak dengan penuh perhatian. Saya melihat sebagian besar berasal dari negara-negara di kawasan Afrika yang memiliki alam dan fauna mirip Indonesia. Conference of Parties ke-20 (COP 20) merupakan pertemuan tahunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang membahas tentang perubahan iklim.

Senin (8/12) sore, Maria Edna mewakili Tambling Wildlife Nature Conservation (TWNC) menceritakan apa yang sudah menjadi kesehariannya sejak ia lulus dari Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB). Saat memperlihatkan gambar harimau yang hanya tersisa kepala, kerangka, atau kulitnya, Maria Edna terdiam sejenak. “Bisa dibayangkan bagaimana perasaan saya dan teman-teman hadir di sini ketika kami melihat foto ini diambil pada tahun 2002. Itulah situasi saat itu. “Kami di TWNC tidak ingin perburuan harimau sumatera terjadi lagi,” kata Maria.

Ketika lulus dari universitas, impian Maria adalah bekerja di bidang konservasi. TWNC sepertinya menjadi rumahnya sekarang. Setiap pagi hingga sore ia berkeliling melihat fauna dan pepohonan di kawasan seluas 50.000 hektar itu. Ada 100 staf yang bekerja di sana. Sejak tahun 1996, TWNC menjadi bagian dari kegiatan Artha Graha Peduli. Merupakan kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan yang dilakukan oleh kelompok usaha yang didirikan oleh pengusaha Tomy Winata.

Sosok Tomy kerap dianggap penuh kontroversi. Di TWNC, Tomy menemukan kecintaannya terhadap alam dan fauna. Hampir setiap bulan ia mengunjungi TWNC yang terletak di kawasan Taman Nasional Bukit Barisan, pesisir pantai Lampung Barat.

“Saya punya banyak bisnis yang jarang saya lihat. Bahkan ada satu yang belum pernah saya kunjungi. Namun di sini, di TWNC saya merasa terpanggil. Saya berharap semua orang di sini juga turut menjaga penyelamatan harimau sumatera dan melestarikan fauna dan alam di sini dengan hati. “Jangan sampai anak cucu kita tidak lagi melihat harimau sumatera,” kata Tomy saat saya berkunjung ke TWNC dua pekan lalu.

Kunjungan ke TWNC ini atas inisiatif saya, setelah saya mendapat informasi bahwa Pusat Penyelamatan Harimau Sumatera (Panthera Tigris) diundang oleh Dewan Perubahan Iklim dan Kementerian Kehutanan untuk presentasi di COP 20. Saya memiliki sejumlah media asing laporan dipelajari. dokumentasi di TWNC. Ini termasuk laporan dari surat kabar The New York Times, serta film dokumenter Pulau Harimau dibuat oleh Panthera Foundation, yang berbasis di Inggris.

Dokter Alan Rabinowitz, pakar harimau yang mengepalai Panthera, menghabiskan dua minggu di TWNC mengamati aktivitas penyelamatan harimau di sana. Hasil liputan dan penelitiannya ditampilkan dalam film dokumenter berdurasi satu jam di BBC. Liputan New York Times tahun 2010 bisa baca di tautan ini. Konsekuensi dari Alan Rabinowitz dan Panthera bisa baca di sini.

Konflik harimau dan masyarakat

Yang menjadi kontroversi adalah potensi konflik antara harimau dan masyarakat lokal. Media tersebut menuliskan, masyarakat yang tinggal di kawasan taman nasional merasa prihatin dengan adanya aktivitas pelepasliaran harimau ke habitat aslinya, hutan di kawasan Taman Nasional Bukit Barisan, dan kawasan TWNC, setelah direhabilitasi. Warga khawatir harimau akan memangsa hewan ternak dan manusia, seperti yang terjadi di provinsi lain.

Dalam temuan Alan Rabiniowitz, harimau di TWNC hidup nyaman, bahkan setelah dilepasliarkan ke habitat aslinya. Alan (dan saya juga) melihat ratusan kerbau dan rusa liar berkeliaran bebas. Begitu pula fauna lainnya, termasuk babi hutan. Babi hutan merupakan makanan harimau dan tersedia dalam jumlah cukup. Sejauh ini belum ada informasi bahwa pelepasan harimau akan merugikan manusia.

Pemaparan konservasi alam yang dilakukan TWNC merupakan bagian dari upaya Paviliun Indonesia yang dikelola oleh Dewan Perubahan Iklim yang dipimpin oleh Rachmat Witoelar, mantan Menteri Lingkungan Hidup, untuk menunjukkan partisipasi swasta di Indonesia dalam konservasi alam dan emisi gas rumah kaca (GRK). mengurangi. Rachmat pernah mengunjungi TWNC bersama Ibu Erna Witoelar. Kami juga bertemu di COP 20.

“Saya senang karena TWNC semakin fokus pada kegiatan pengembangan masyarakat. Memperhatikan fauna itu penting, manusia juga penting,” kata Erna saat menyaksikan pemaparan TWNC.

Di kawasan TWNC terdapat fasilitas pendidikan dan kesehatan bagi warga sekitar. Mereka bisa mendapatkan fasilitas secara gratis.

Saat ini, TWNC sedang merehabilitasi sembilan ekor harimau. Mereka berasal dari sejumlah tempat di kepulauan Sumatera, antara lain Jambi, Bengkulu, dan Aceh. Diperkirakan terdapat 300-400 ekor harimau di Pulau Sumatera. Di kawasan TWNC, tercatat 24 ekor Harimau Sumatera yang teridentifikasi pada tahun 2012-2013. “Pusat Rehabilitasi Harimau Sumatera di TWNC bertujuan untuk mempersiapkan harimau untuk dilepasliarkan kembali ke habitatnya,” kata Maria Edna.

Peran sektor swasta

Sehari sebelumnya, peran swasta dalam pelestarian alam juga dijelaskan oleh PT Kanematsu Trading. Perusahaan dagang asal Jepang ini bekerja sama dengan perusahaan milik keluarga Gobel mengelola program Proyek REDD+ Gorontalo di Kabupaten Boalemo, Gorontalo. Shinzuke Yazaki, dari Kanematsu, menceritakan bagaimana perusahaannya awalnya menjalankan program konservasi di provinsi yang dulu dikenal sebagai “Provinsi Jagung”.

Deforestasi di Gorontalo, kata Yazaki, didorong oleh upaya masifnya pembukaan lahan untuk pertanian jagung. “Memotong dan membakar jagung”, jelas Yazaki.

Saat itu, pemerintah daerah memberikan insentif untuk menanam jagung. Saat hampir semua petani menanam, panennya bagus, harga turun. Petani kalah. “Kami memulai program penanaman kakao,” kata Yazaki.

Potensinya sangat besar. Pulau Sulawesi cocok untuk ditanami kakao. Indonesia memasok 30 persen produk kakao ke dunia, Sulawesi menyumbang 80 persen pasar Indonesia.

“Kami melatih petani untuk menanam kakao, membeli produknya, memfasilitasi kredit mikro. “Dalam lima tahun, pendapatan petani dari kakao bisa melebihi pendapatan dari menanam jagung,” kata Yazaki. Perkebunan kakao juga berkontribusi terhadap pengurangan emisi karbon.

Perubahan fokus tanaman ini memerlukan kolaborasi dengan petani dan tentunya pemerintah daerah yang masih dominan dalam menentukan tanaman apa yang akan ditanam. Apa yang dilakukan Kanematsu dan Gobel Group merupakan bentuk kolaborasi kemitraan publik dan swasta. “Kami memantau secara ketat penurunan emisi akibat upaya yang kami lakukan di Boalemo,” kata Yazaki.

Kontroversi minyak sawit Indonesia

Paviliun Indonesia pada COP 20 juga mengundang PT Pasifik Agro Sentosa, sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat. Minyak sawit Indonesia berada pada posisi kontroversial di mata masyarakat Amerika dan Eropa, pemerintah, dunia usaha dan aktivis lingkungan hidup.

Minggu ini, misalnya, terjadi perdebatan di Perancis mengenai rencana untuk mengesahkan resolusi “Pajak Nuttela Jar”, sebuah rencana untuk menerapkan pajak impor sebesar 300 persen terhadap impor minyak sawit. Artinya, biayanya sangat mahal dan hanya merupakan cara untuk mencegah impor. Saya akan membahas masalah ini secara terpisah.

Menurut saya, persoalan posisi industri kelapa sawit perlu mendapat perhatian penting dari pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo. Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia. Banyak kehidupan bergantung pada industri. Saya setuju dengan sikap Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar.

“Kita harus mengambil tindakan hukum yang tegas terhadap perusahaan sawit yang melanggar hukum dengan membakar hutan. “Tetapi kita harus memikirkan keberlangsungan perusahaan yang mengelola usahanya secara berkelanjutan,” kata Siti.

Sebelum berangkat ke COP 20, saya berkesempatan berbincang dengan Siti dan Rachmat Witoelar mengenai isu sawit yang akan menjadi perbincangan hangat di COP Lima. (BACA: Jokowi Perintahkan Pembangunan Kebun Raya di Setiap Provinsi)

“Banyak yang bilang, apa yang kami lakukan adalah sebuah pengorbanan. Bagi kami, hal ini menunjukkan komitmen terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan pembangunan berkelanjutan.” Demikian disampaikan Kent Dixon, perwakilan PT Pasifik Agro Sentosa, saat mengawali pemaparannya di hadapan sejumlah delegasi COP 20. Kent memaparkan laporan perkembangan PAS.

Ini merupakan kali kedua PT PAS berkesempatan melaporkan model bisnis yang diterapkan dalam pengelolaan industri kelapa sawit. Tahun lalu, PT PAS juga mendapat kesempatan dari Dewan Perubahan Iklim Indonesia untuk menghadirkan terobosan dalam menggabungkan kegiatan bisnis dengan konservasi alam pada COP 19 di Warsawa, Polandia.

Hal ini disebut terobosan karena, kata Kent, PAS masih berupaya memastikan pengelolaan sawitnya sesuai prinsip. akan berkelanjutan selamanya. “Selama ini kepentingan dunia usaha dan konservasi bisa berjalan beriringan. Namun kami sadar bahwa apa yang kami lakukan belumlah sempurna. “Kami mengharapkan masukan dari forum COP yang diisi para pakar pembangunan berkelanjutan,” kata Kent.

PT Pasifik Agro Sentosa telah mendapat izin mengelola perkebunan kelapa sawit seluas 40 ribu hektar. Perusahaan memutuskan mengalokasikan 10 ribu hektare untuk kegiatan konservasi hutan. PT PAS telah memperoleh sejumlah sertifikasi internasional, antara lain RSPO (Roundtable Sustainable Palm Oil), ISCC (International Sustainable Carbon Certification), dan ISO.

Pada akhirnya siapa pun yang melakukan konservasi alam, termasuk konservasi hutan, baik pemerintah maupun swasta, berharap apa yang dilakukannya mendapat insentif. Inilah yang disebut sebagai insentif kredit karbon dalam beberapa tahun terakhir.

Yang belum jelas mengenai mekanismenya adalah siapa yang mendapat manfaat dari insentif karbon? Perusahaan? Masyarakat sekitar? Hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah. —Rappler.com

Uni Lubis, mantan Pemimpin Redaksi ANTV, menulis blog tentang 100 hari pemerintahan Jokowi. Ikuti Twitter-nya @unilubis dan membaca blog pribadinya unilubis.com.