Lima kasus besar pelanggaran HAM di Indonesia
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia – Pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia terjadi setiap dekade. Namun, hampir tidak ada kasus HAM yang benar-benar terselesaikan. Alih-alih menemukan aktor utamanya, banyak kasus justru terbengkalai.
Untuk memperingati Hari Hak Asasi Manusia dan melawan lupa, Rappler Indonesia membuat daftar lima kasus HAM terbesar di Indonesia yang belum pernah terselesaikan sepenuhnya. Pelaku utamanya juga belum pernah diadili. Berikut daftarnya:
1. Kasus Tragedi 1965-1966
Sejumlah jenderal tewas dalam peristiwa 30 September 1965. Pemerintah Orde Baru kemudian menuding Partai Komunis Indonesia sebagai biang keladinya. Kemudian pemerintah saat itu membubarkan organisasi tersebut dan menggerebek simpatisannya.
Penggerebekan itu dikenal dengan nama operasi pembersihan PKI. Komnas HAM memperkirakan 500.000 hingga 3 juta orang terbunuh saat itu. Ribuan lainnya diasingkan, dan jutaan lainnya harus hidup di bawah bayang-bayang ‘cap PKI’ selama bertahun-tahun.
Dalam kejadian tersebut, Komnas HAM kembali menuding Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan seluruh komandan militer setempat yang menjabat saat itu sebagai pihak yang paling bertanggung jawab.
Saat ini kasus tersebut masih ditangani Kejaksaan Agung. Namun penanganannya lambat. Pada tahun 2013, kejaksaan mengembalikan berkas tersebut ke Komnas HAM, dengan alasan data tidak lengkap.
2. Kasus penembakan misterius (Petrus) tahun 1982-1985
Penembakan misterius atau sering disingkat Petrus atau operasi sabit, merupakan operasi rahasia yang dilakukan mantan Presiden Soeharto dengan dalih untuk mengatasi tingginya angka kejahatan.
Operasi ini secara umum mencakup operasi penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap mengganggu keselamatan dan ketentraman masyarakat, khususnya di Jakarta dan Jawa Tengah. Pelakunya tidak diketahui, tidak pernah ditangkap dan tidak pernah diadili.
Akibat operasi sabit ini, 532 orang tewas pada tahun 1983. Dari jumlah itu, 367 orang di antaranya meninggal akibat luka tembak. Kemudian pada tahun 1984, tercatat 107 orang tewas, 15 orang di antaranya tewas ditembak. Setahun kemudian, pada tahun 1985, tercatat 74 orang tewas, 28 di antaranya tertembak.
‘Para korban ‘penembakan misterius’ ini selalu ditemukan dengan tangan dan leher terikat. Sebagian besar korban juga dimasukkan ke dalam tas yang ditinggalkan di pinggir jalan, di depan rumah, atau dibuang ke sungai, laut, hutan, dan kebun.’
3. Tragedi Semanggi dan Kerusuhan Mei 1998
Pada tanggal 13-15 Mei 1998 terjadi kerusuhan besar sekali yang terdapat hampir di seluruh pelosok tanah air. Puncaknya ada di ibu kota Jakarta. Kerusuhan ini diawali oleh memburuknya kondisi krisis keuangan Asia. Dan penyebabnya adalah tewasnya empat mahasiswa Universitas Trisakti yang tertembak saat aksi protes pada 12 Mei 1998.
Dalam proses hukumnya, Kejaksaan Agung menyebut kasus ini bisa ditindaklanjuti jika ada rekomendasi DPR kepada presiden. Karena tak ada rekomendasi, Kejaksaan Agung mengembalikan berkas penyidikan ke Komnas HAM.
Namun, Kejaksaan Agung belakangan beralasan kasus ini tidak bisa dilanjutkan karena DPR memutuskan tidak ditemukan pelanggaran HAM berat.
Dalih lainnya, Kejaksaan Agung meyakini kasus penembakan Trisakti telah diputus Pengadilan Militer pada 1999 sehingga tidak bisa disidangkan untuk kedua kalinya.
4. Kasus pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib
Munir ditemukan tewas pada 7 September 2004 di dalam pesawat tujuan Jakarta-Amsterdam. . Saat itu usianya 38 tahun. Munir adalah salah satu aktivis hak asasi manusia paling vokal di Indonesia. Jabatan terakhirnya adalah Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia yang Imparsial.
Semasa bertugas di pengurus Contras (Komite Orang Hilang dan Korban Kekerasan), namanya melejit sebagai pejuang orang hilang yang diculik saat itu. Saat itu, ia membela aktivis korban penculikan Tim Mawar Komando Pasukan Khusus TNI. Pasca Soeharto lengser, penculikan menjadi alasan pencopotan Danjen Kopassus Prabowo Subianto dan persidangan anggota tim Mawar.
Namun kasus tersebut sejauh ini baru bisa menuntut pilot maskapai Garuda, Pollycarpus Budihari Priyanto. Polly divonis 14 tahun penjara karena terbukti berperan meracuni Munir dalam penerbangan menuju Amsterdam. Namun banyak pihak yang menilai Polly bukanlah dalang pembunuhan tersebut.
Sebelum pengungkapan kasusnya rampung, Polly sudah dibebaskan bersyarat pada Jumat (28/11) lalu.
‘Pada bulan Juli 2004, Komnas HAM mengeluarkan laporan investigasi Projusticia atas dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan di Wamena. Kasus tersebut dilaporkan setelah 9 orang tewas.’
5. Tragedi Wamena Berdarah 4 April 2003
Tragedi tersebut terjadi pada tanggal 4 April 2003 pukul 01.00 waktu Papua. Sekelompok massa tak dikenal masuk ke gudang senjata markas Kodim 1702/Wamena. Penyerangan ini menewaskan dua anggota Kodim yakni Lettu TNI AD Napitupulu dan Prajurit Ruben Kana (penjaga gudang senjata). Kelompok penyerang diduga merampas sejumlah senjata dan amunisi.
Dalam mengejar pelaku, aparat TNI-Polri disebut melakukan penggeledahan, penangkapan, penyiksaan hingga penyitaan paksa sehingga menimbulkan korban jiwa dan pengungsian paksa masyarakat.
Dalam pengungsian paksa ini, 42 orang meninggal karena kelaparan, dan 15 orang menjadi korban penjarahan. Komnas juga menemukan adanya penandatanganan surat pernyataan secara paksa, serta adanya kerusakan fasilitas umum.
Proses hukum dalam kasus ini kini tersendat. Terjadi tarik menarik antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung.
Sementara para tersangka tetap menikmati hidup, dihormati sebagai pahlawan, mendapat kenaikan pangkat dan kenaikan pangkat tanpa tersentuh hukum. – Rappler.com