Dari Sondang hingga Emma Sulkowicz
- keren989
- 0
Saya membayangkan rekan-rekan Persatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) yang seumuran dengan saya adalah sosok-sosok heroik yang tidak kita pahami. Merekalah para pemuda dan pemudi garda terdepan Indonesia dalam menjaga kedaulatan. Bagi saya, slogan selamatkan pribumi dari bule dan bule adalah diktum bahwa kejayaan nusantara masih ada. Indonesia masih berada pada masa Majapahit dan belum memasuki peradaban modern kosmopolitan lintas benua.
Untuk itu saya ucapkan terima kasih kepada sahabat KAMMI melalui #LindungiPribumi dan #UltimatumJokowi, saya bisa mengapresiasi sejarah kembali. Seperti yang dibuktikan oleh orang-orang yang mengagumi kesuksesan masa lalu dengan tetap mencintai mantan, saya sangat ingin kita bisa mandiri kembali. Berdaulat di kaki sendiri dan tidak dikuasai asing. Alhamdulillahsebagai penggemar berat gerakan Ikhwanul Muslimin Indonesia, saya merasa inilah saat yang tepat untuk merenungkan kembali makna gerakan mahasiswa.
Kita adalah generasi gagap yang lahir dari generasi kasar, ujar WS Rendra dalam puisinya yang bertajuk Sajak anak muda. Vitalitas telah digantikan oleh nafsu, sedangkan pencerahan telah digantikan oleh keterbatasan. Tapi apakah itu penting? Artinya, perlukah setiap orang tercerahkan dan menjadi kekuatan kritis? Setiap zaman mempunyai wakilnya masing-masing, tidak perlu juru bicara, karena setiap orang harus berbicara untuk kehidupannya masing-masing.
Itu yang ideal. Namun kita tidak hidup dalam masyarakat yang ideal. Terlalu banyak kesenjangan sosial yang membuat hidup tidak layak untuk dijalani. Kemiskinan, diskriminasi, pelanggaran hak asasi manusia, perang dan penindasan struktural hanyalah beberapa alasan yang masuk akal mengapa hidup ini tidak layak untuk dijalani. Namun, mengutip Soe Hok Gie, hidup adalah menghadapi tanda tanya. Anda tidak akan mengetahui apa yang ada di depan Anda sampai Anda berjalan melewatinya dengan kepala tegak.
Saya pernah percaya bahwa mahasiswa adalah juru bicara zaman, mereka seperti agen perubahan. Tentu saja, ada beberapa di antara Anda para pelajar yang bersemangat turun ke jalan untuk melakukan protes, atau fokus pada pemberdayaan masyarakat untuk menghayati julukan tersebut. Tentu saja ada juga pelajar salon yang merasa bisa mengubah dunia forum pemuda. Bertemu dan bertukar pikiran di hotel mewah dengan mahasiswa dari seluruh dunia, selagi mereka sibuk Nikmati makanannyamembicarakan ide-ide besar untuk perubahan di tempat yang nyaman.
Agenda KAMMI hanya satu: Memperjuangkan hak dan kepentingan masyarakat adat. @jokowi_do2 harus #Lindungi Masyarakat Adat pic.twitter.com/zobe25SoEY
— Patriotisme KAMMI (@KAMMIPusat) 20 Mei 2015
Masing-masing dari Anda percaya bahwa apa yang Anda pilih pasti akan membuat dan akan membawa perubahan besar dalam masyarakat. Sayangnya tidak semua mahasiswa mempunyai kemewahan tersebut, kemewahan dimana mereka tetap bisa menjaga idealisme dan memikirkan orang lain. Pergerakan zaman yang cepat dan kekosongan hati yang terlalu akut seringkali membuat pelajar hanya memikirkan masa depan dan perasaannya sendiri. Mereka lebih mementingkan memikirkan pekerjaan apa yang akan mereka jalani di masa depan, dengan siapa mereka berpacaran sekarang dibandingkan memikirkan hal-hal besar di luar diri mereka.
Tan Malaka dengan jelas menyatakan bahwa idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki oleh laki-laki (dan perempuan) muda. Namun upaya pembebasan tidak harus lahir dari idealisme radikal atau pemikiran sosialis sayap kiri. Banyak mahasiswa masa kini yang terjebak dalam dilema dan wacana kiri yang seksi, bahwa untuk peduli terhadap masyarakat miskin, kelompok minoritas atau memperjuangkan hak asasi manusia harus didasari oleh pengetahuan yang mendalam tentang gerakan Marx. Saya harap saya salah dan ini lebih dari sekadar romansa.
Berbicara tentang mahasiswa, saya tidak mungkin melupakan tokoh-tokoh seperti Ahmad Wahid, Soe Hok Gie, Sondang Hutagalung dan Rara Sekar. Siapakah Rara Sekar? Dialah alasan terciptanya alam semesta, alasan Dajjal tidak muncul di Segitiga Bermuda dan alasan Amerika Serikat tidak melancarkan perang melawan terorisme di Indonesia. Anda mungkin tidak sependapat dengan saya, dan ya, memang benar pembahasan dalam tulisan saya jadi berantakan.
Sondang Hutagalung adalah potret suram seorang pelajar Indonesia yang kematiannya mudah dilupakan. Sondang juga sama dengan pelajar lainnya di republik ini. Belajar, membaca buku, mengerjakan tugas, merayakan seni dengan teater dan puisi. Terkadang membolos untuk mengoordinasikan tindakan, minum kopi hingga tengah malam untuk membicarakan hal-hal sepele. Dia melakukannya dengan gembira.
Sondang menyadari bahwa dalam sebuah perjuangan akan selalu ada pengorbanan. Ia pun menyadari bahwa tidak ada perbedaan antara bersikap idealis dan melakukan kebodohan. Bahwa soal pengorbanan adalah soal cara pandang. Tidak ada satupun manusia di bawah kolong langit yang mempunyai hak untuk memberikan nilai atau wewenang yang sah dalam sebuah peperangan. Perjuangan adalah masalah kepercayaan diri. Ia memilih membakar diri untuk membuktikan keyakinannya, ia akhirnya dikorbankan dan dilupakan.
#Lindungi Masyarakat Adat Tekad kami adalah menyelamatkan Indonesia dari kolonialisme model baru yang bekerjasama dengan pemerintah pic.twitter.com/3q1MalgwLz
— Milad17TahunKAMMIKB (@kammiKB) 21 Mei 2015
Ketika saya diminta menulis tentang murid ideal saya, topik ini langsung menjadi membosankan. Saya termasuk orang-orang zaman dahulu yang berpendapat bahwa orang yang cerdas, kritis, peduli, dan mempunyai stamina untuk berubah ke arah yang lebih baik hanya mutlak dimiliki oleh mahasiswa. Namun sangat sedikit pelajar zaman sekarang yang benar-benar peduli dan benar-benar cerdas untuk dikenang, dikenal dan diperhatikan oleh masyarakat.
Di belahan dunia lain ada Emma Sulkowicz, seorang mahasiswa Universitas Columbia yang memperjuangkan keadilan. Dia adalah korban pemerkosaan yang memicu aksi sosial di Amerika Serikat dan membuka tabir impunitas. Kekerasan seksual seringkali menjadikan perempuan sebagai objek marginal yang hak-haknya tertindas. Sulkowicz membantah bahwa dengan membawa kasur kemana pun dia pergi, sebenarnya dia sedang memperjuangkan kemanusiaan.
Dia jelas memperjuangkan keadilan bagi dirinya sendiri, namun fakta bahwa apa yang dia lakukan menginspirasi sekelompok remaja putri untuk meniru apa yang dia lakukan adalah hal lain. Sulkowicz memperjuangkan keadilan bagi perempuan yang juga menjadi korban kekerasan seksual. Dia mengobarkan sebuah gerakan, dia menciptakan kesadaran bahwa ada sesuatu yang salah dalam sistem pendidikan Amerika modern, dan impunitas bagi pelaku kejahatan seks masih ada.
Semasa hidup Sondang merupakan aktivis Sahabat Munir, ia sering ikut serta dalam aksi-aksi yang berkaitan dengan isu HAM. Sementara Sulkowicz memperjuangkan isu kekerasan seksual dan pemerkosaan. Memahami bahwa konteks gerakan mahasiswa saat ini bersifat polarisasi adalah suatu hal yang menarik. Bahwa kita tidak lagi bicara soal kenaikan harga BBM, korupsi, tapi juga soal HAM dan khilafah global.
Idealisme harus lahir dari kepedulian, kepedulian lahir dari empati, dan empati itu bisa diasah dengan menjalani hidup bersama mereka yang tertindas. Namun tentu saja saya tidak mengharapkan semua pelajar Indonesia mempunyai rasa empati, rasa kemanusiaan dan kepedulian terhadap sesama manusia. Bukankah takdir adalah kesendirian setiap orang? Begitu juga dengan idealisme dan tujuan hidup mahasiswa masa kini.
Aksi KAMMI di Madiun. pertanyaan @jokowi_do2 untuk #Lindungi Masyarakat Adat atau Revolusi. pic.twitter.com/CTooj0Itjz
— Patriotisme KAMMI (@KAMMIPusat) 22 Mei 2015
Saya selalu terhibur ketika sekelompok mahasiswa daerah datang ke Jakarta dan melakukan protes di depan gedung DPR untuk menuntut berdirinya khilafah. Ini merupakan sesuatu yang baru, barangkali seluruh gerakan mahasiswa saat ini sudah sepakat bahwa persoalan ideologi negara merupakan hal yang perlu segera ditegakkan. Lihat saja baliho-baliho di kampus-kampus ternama di Indonesia yang lebih sering mengadakan seminar khilafah dibandingkan seminar filsafat atau teknologi aplikatif.
Ini sebuah tanda yang progresif, mengingat ketika saya masih mahasiswa, gerakan mahasiswa hampir hanya berupa diskusi, advokasi masyarakat, dan juga sesekali seminar yang mengundang tokoh-tokoh nasional untuk mengkritik pemerintah. Tentu saja kampus-kampus saat ini semakin progresif karena tidak lagi peduli pada pemerintah tetapi lebih mementingkan moral. Lihat saja betapa sibuknya masjid kampus dengan acara-acara, sementara unit kegiatan mahasiswa lainnya semakin jarang mengadakan diskusi kritis.
Akhir kata, saya ingin berbagi kabar, bahwa AFTA akan mengancam. Kalian para pelajar yang saat ini sibuk mengislamkan Syi’ah, menyelamatkan pribumi, menjual topeng Guy Fawkes, menipu Ahmadiyah, mengkhawatirkan kristenisasi dan berjuang mempertahankan khilafah, pasti paham.
Kalian akan berkompetisi dan memperebutkan ruang kerja bersama seluruh lulusan universitas terbaik se-ASEAN. Jadi jika Anda masih ingin bertahan, saya sarankan Anda mulai berpikir panjang dan keras. Ini bukan ancaman, ini peringatan. —Rappler.com
Arman Dhani adalah seorang penulis lepas. Penulisannya bergaya satir penuh sarkasme. Saat ini ia aktif menulis di blognya www.kandhani.net. Ikuti Twitter-nya, @Arman_Dhani.
Sebagian isi artikel ini dimuat di majalah mahasiswa Unpad Djatinangor.