• November 24, 2024

Kontroversi gagasan Ahok soal izin tempat ibadah

Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama mengemukakan ide yang patut disimak. Ia mengusulkan agar Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 Tahun 2006 dan No. 8 Tahun 2006. Secara umum dalam SKB disebutkan bahwa pembangunan tempat ibadah harus mendapat persetujuan warga setempat.

Ahok mengungkapkan, hal itu terkait dengan ancaman penutupan Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI) di Jatinegara, Jakarta Timur.

Gereja ini telah berdiri selama 30 tahun tanpa izin. Pemprov DKI Jakarta menetapkan batas waktu hingga 25 Juli 2015 bagi gereja untuk mengurus izin. Jika tidak, gereja akan ditutup mulai hari ini, Sabtu, 25 Juli 2015.

Menurut Ahok, GKPI bukan satu-satunya tempat ibadah yang tidak memiliki izin, termasuk izin mendirikan bangunan (IMB).

“Sekarang masalahnya di Jatinegara. Gereja belum memiliki izin selama 30 tahun. Iya sama saja, banyak masjid yang tidak memiliki izin. Banyak biara dan kuil juga tidak memiliki izin. “Ada ratusan masjid yang tidak punya IMB,” kata Ahok, Jumat, 24 Juli. Pernyataan Ahok saya baca di laman Kompas.

Peraturan tentang tempat ibadah

Aturan yang dimaksud Ahok sebenarnya merupakan Peraturan Bersama (Joint Regulation) yang ditandatangani pada 21 Maret 2006 oleh mantan Menteri Agama Maftuh Basyuni dan mantan Menteri Dalam Negeri Mohamad Ma’ruf.

PBM tersebut merupakan revisi Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tahun 1969. Menurut SKB tersebut, pendirian tempat ibadah sangat bergantung pada izin pemerintah daerah setempat. Prakteknya, pada masa Orde Baru, kepala daerah memberikan izin setelah mendapat rekomendasi dari pelaksana khusus daerah (Laksusda). Rekomendasi Laksusda mempertimbangkan aspek stabilitas dan keamanan.

Buku Kontroversi Gereja di Jakarta diterbitkan oleh Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS), membahas tentang latar belakang SKB dan perjalanan peraturan gereja di Indonesia. Buku ini merupakan hasil penelitian tim Yayasan Paramadina, Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik Universitas Gadjah Mada, dan Konferensi Agama dan Perdamaian Indonesia. Buku ini juga membahas kisah perjalanan 13 gereja di Jakarta.

Dalam buku karangan Ihsan Ali-Fauzi, Samsu Rizal Panggabean dan kawan-kawan ini dijelaskan bahwa SKB pada dasarnya mengatur kerukunan umat beragama secara umum. PBM tersebut mengatur lebih rinci mengenai kewenangan menjaga kerukunan umat beragama, mekanisme perizinan tempat ibadah, dan penyelesaian jika terjadi konflik.

PBM mengatur bahwa pemeliharaan kerukunan umat beragama merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan umat beragama. Pemerintah diwakili oleh gubernur di tingkat provinsi dan bupati/walikota di tingkat kabupaten/kota.

Aspirasi umat beragama diwakili oleh tokoh resmi agama yang tergabung dalam Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Anggota FKUB sebanyak 21 orang di tingkat provinsi, dan 17 orang di tingkat kabupaten/kota.

Kuota perwakilan masing-masing agama didasarkan pada perbandingan jumlah pemeluk masing-masing agama di setiap daerah, dengan minimal satu orang mewakili satu agama. Memang komposisi tersebut mendorong agama mayoritas di negeri ini, yakni Islam, untuk selalu mendapat keterwakilan yang lebih besar.

Dalam PBM tersebut disebutkan bahwa selain memenuhi persyaratan teknis bangunan, pendirian tempat ibadah harus memenuhi:

Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) sebanyak 90 orang yang menggunakan tempat ibadah yang disetujui oleh pejabat sesuai dengan batas wilayah setempat;

  • KTP 60 orang masyarakat setempat yang disetujui oleh kepala desa atau camat;
  • Rekomendasi tertulis dari kantor departemen agama kabupaten atau kota setempat;
  • Rekomendasi dari FKUB kabupaten atau kota setempat;
  • Rekomendasi harus berdasarkan musyawarah dan mufakat dan tidak dapat dihasilkan oleh musyawarah dan mufakat suara).

Keempat hal tersebut bukanlah perkara mudah untuk dipenuhi bagi mereka yang ingin mendirikan gereja di daerah yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Begitu pula dengan mereka yang ingin membangun masjid di daerah yang mayoritas penduduknya non-Islam. Kebutuhan akan dukungan masyarakat lokal biasanya menjadi kendala. Kasus Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin di Bogor adalah salah satu contohnya.

(BACA: GKI Yasmin peringati Jumat Agung di Garasi)

Apabila syarat berupa dukungan masyarakat sekitar tidak terpenuhi, maka pemerintah wajib memfasilitasi lokasi baru. Bangunan lain yang dijadikan tempat ibadah juga harus memiliki izin dari Pemerintah Daerah (Pemda), menyusul rekomendasi dari kantor divisi agama dan FKUB. Masa berlaku izin mendirikan bangunan sebagai rumah ibadah sementara adalah dua tahun.

Apakah Regulasi Menyebabkan Intoleransi?

Tim peneliti di dalam buku Kontroversi Gereja di Jakarta perhatikan dua masalah yang timbul dari APD. Pertama, politisasi kewenangan pemerintah daerah dalam penerbitan IMB. Dalam beberapa kasus, IMB bisa saja diberikan sebagai imbalan atas janji memberikan dukungan politik dalam pemilihan kepala daerah.

“Di beberapa daerah, seperti Bogor, calon kepala daerah terindikasi berjanji dalam kampanyenya untuk tidak menerbitkan IMB untuk agama tertentu,” kata penulis buku tersebut.

Kepala daerah yang ingin populer cenderung mengabulkan aspirasi mayoritas pemilih, dan mungkin berupaya menahan izin tempat ibadah untuk membendung pertumbuhan pemeluk agama tertentu.

Kedua, susunan FKUB dan pola pengambilan keputusan harus bersifat musyawarah dan mufakat. Faktor keterwakilan di FKUB seringkali menjadi penghambat karena merugikan kelompok minoritas.

“Representasi juga menjadi masalah karena tidak memberi ruang bagi keberagaman ‘denominasi’ di berbagai agama. Majelis Ulama Indonesia (MUI), misalnya, tidak mengakomodir Ahmadiyah. Peristiwa Tolikara membuka mata kita akan hal itu Gereja Injili di Indonesia (GIDI) juga menutup kesempatan bagi gereja-gereja denominasi lain untuk melakukan kegiatan di Tolikara..

Membaca analisa dalam buku tersebut, saya semakin memahami mengapa organisasi seperti MUI, Persatuan Gereja Indonesia dan Konferensi Waligereja Indonesia, tiga organisasi yang dianggap sebagai perwakilan resmi di FKUB, kurang “bersahabat” terhadap kelompok agama yang tidak dianggap anggota “ramah” atau “tidak resmi”.

Ketiga, syarat dukungan masyarakat berupa 60 KTP berpotensi menimbulkan diskriminasi. Buku ini menindaklanjuti survei LSI-Lazuardi Birru pada tahun 2010 yang menyatakan bahwa masyarakat Indonesia secara umum tidak toleran terhadap pendirian rumah ibadah. Survei menemukan 64,9% umat Islam keberatan dengan pembangunan rumah ibadah agama lain di wilayah mereka. Dukungan masyarakat ini merupakan bagian dari apa yang disebut dengan regulasi sosial.

Peraturan sosial memberikan celah bagi kelompok atau pihak yang ingin menghasilkan uang dalam pengurusan izin tempat ibadah, termasuk kelompok paramiliter yang memakai simbol agama. Dalam cerita sejumlah gereja di Jakarta, tampaknya pengurusan izin dengan menggunakan jasa perantara dan menggunakan uang sebagai kriteria justru menimbulkan permasalahan.

Buku ini mengelompokkan gereja-gereja yang diteliti ke dalam kategori: gereja-gereja yang tidak bermasalah dari awal sampai sekarang, gereja-gereja yang bermasalah dan terselesaikan, gereja-gereja yang tidak ada masalah yang kemudian dipertanyakan (termasuk GKI Yasmin di sini), gereja-gereja yang bermasalah. dan tidak terselesaikan (HKBP Filadelfia disertakan di sini. Kronologi disertakan yang dibuat oleh peneliti hak asasi manusia Andreas Harsono tentang HKBP Filadelfia dapat dibaca di sini).

Pentingnya kehadiran negara

Yang menarik adalah kisah gereja yang sejak awal tidak mempunyai masalah. Contoh yang diteliti dalam penelitian ini adalah Gereja Katolik St. Aloysius dan kapel St. Valentino di pemukiman TNI AD di Cijantung. Praktis tidak ada kendala terkait peruntukan lahan, pengurusan IMB dan pemenuhan persyaratan dukungan warga sekitar.

Kapel St Paul Valentino dibangun di kompleks RPKAD (sekarang Kopassus). Menggalang dana untuk membangun gereja juga tidak sulit, banyak yang mendapat bantuan dari pejabat militer dan pengusaha. Fungsi melindungi negara menjadikan proses St. Gereja Katolik. Aloysius dan kapel St. Valentino berjalan lancar.

Dalam kisah gereja dengan suatu permasalahan yang kemudian terselesaikan, terlihat juga peran “negara” yang terlihat dari sikap tegas kepala daerah dan aparat keamanan, dalam hal ini polisi, untuk mengusir pihak-pihak yang ingin melakukan hal tersebut. mengganggu atau menolak gereja dengan menggunakan cara-cara anarkis.

(BACA: Lukman Saifuddin: Jadi Menteri Agama, Bukan Menteri Agama Islam)

Melihat apa yang dialami gereja di Jakarta yang menurut saya tidak jauh berbeda dengan pengalaman mendirikan gereja di tempat lain, saya memahami keputusan pemerintah untuk membangun kembali masjid pengganti yang rusak akibat kebakaran ada pada peristiwa Tolikara di tanah yang diperintahkan oleh Gereja. TNI yaitu di wilayah kecamatan militer. Kurubaga, Tolikara.

Tempat ini dinilai aman, setelah terjadi keributan yang mengakibatkan 11 orang luka-luka, 1 orang meninggal dunia. Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo pun memerintahkan anggotanya untuk membangun masjid dan kios yang terbakar.

Lokasinya berada di tanah milik pemerintah. Setidaknya masjid ini mendapat perlindungan “negara” karena berada di atas tanah milik TNI yang notabene merupakan alat negara.

Saya juga mengerti mengapa Ahok merasa perlu merevisi PBM 2006. Meski aturan ini dibuat atas masukan dari seluruh perwakilan organisasi keagamaan resmi, namun ternyata terdapat celah yang justru mendorong praktik intoleran.

Bagi daerah dan masyarakat yang terbiasa dengan toleransi, hal ini tidak menjadi masalah. Padahal, konstitusi melindungi hak seluruh warga negara untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.

Jika ditilik kembali perjalanan konflik agama di negeri ini sejak sebelum kemerdekaan hingga saat ini, terlihat bahwa implementasi konstitusi ibarat memotong jalan yang penuh duri dan semak duri.

Gagasan Ahok memang kontroversial namun patut dipertimbangkan. Apalagi penjualan pemerintahan Joko Widodo yang notabene sahabat Ahok merupakan sebuah revolusi spiritual. —Rappler.com

Uni Lubis adalah jurnalis senior dan Eisenhower Fellow. Dapat disambut di @UniLubis.


sbobet mobile