• November 25, 2024

Freeport, Pak JK, dan Bupati Bantaeng Nurdin Abdullah

Nampaknya niat Freeport membangun industri pengolahan dan pemurnian tambang di Gresik tidak berjalan mulus. Banyak pihak yang tidak setuju. Dalam rapat dengar pendapat antara PT Freeport dan Komisi VII DPR RI yang membahas bidang pertambangan dan energi, Anggota DPR Kurtubi mengatakan sebaiknya Freeport membangun smelter di Papua, bukan di Gresik.

Pemerintah memberi Freeport waktu hingga 2017 untuk membangun smelter. Setelah itu, perusahaan Phoenix, Arizona tidak bisa lagi mengekspor. Menurut Kurtubi, biaya pembangunan smelter relatif kecil. “Freeport Indonesia tidak boleh terlalu banyak mengeluh tentang pembangunan smelter, seperti soal lahan, pelabuhan, dan kelistrikan,” kata Kurtubi, mantan pegawai Pertamina.

Tekanan dari Kurtubi ditambah dengan pernyataan tegas Wakil Presiden Jusuf Kalla. JK Jumat pekan lalu mengatakan, pembangunan smelter di Papua merupakan harga mati karena diminta membangun smelter di Papua sejak awal.

Pernyataan JK tersebut seolah mengakomodir aspirasi Gubernur Papua Lukas Enembe yang datang ke Istana Negara pada Kamis malam, 29 Januari 2015. Lukas ingin PT Freeport Indonesia membangun pabrik pengolahan dan pemurnian di Papua, bukan di Gresik, Jawa Timur.

Saat saya wawancara pekan lalu (25/1), Menteri ESDM Sudirman Said mengatakan Freeport diperbolehkan tetap mengekspor mineral mentah karena menunjukkan ada janji kesepakatan dengan PT Petrokimia Gresik untuk smelter di darat di Gresik.

Lukas mengatakan, Pemda Papua telah bekerja sama dengan Freeport untuk menyiapkan infrastruktur smelter tersebut. Pemda Papua berjanji akan mengakomodasi kebutuhan Freeport dalam proses pembangunan smelter.

Jika smelter dibangun di luar Papua, kata dia, maka masyarakat Papua akan terus hidup dalam kemiskinan dan kebodohan. Pembebasan lahan, kata dia, menjadi tanggung jawab pemerintah Papua. Namun pengadaan listrik menjadi tanggung jawab PT Freeport.

“Kita punya potensi air yang namanya Urumuka. Potensinya 600 megawatt. Tugas pemerintah yang diemban adalah membuat jalan menuju lokasi air terjun terbesar di Papua. Kalau Freeport tidak mau, kami tolak. “Kalau tidak mau bangun smelter di Papua, keluar saja dari Papua,” kata Gubernur Lukas seperti dikutip sejumlah media.

Padahal, saat ini PT Freeport Indonesia lebih memilih menyewa lahan seluas 80 hektare dari PT Petrokimia Gresik senilai Rp 76,8 miliar per tahun untuk membangun smelter. Freeport akan menyetorkan biaya awal sebagai komitmen pembebasan lahan sebesar Rp 1,56 miliar melalui tiga bank pelat merah yakni Bank Mandiri, BNI, dan BRI.

Menyelesaikan permasalahan yang dihadapi Freeport tidaklah mudah. Sebagai lembaga bisnis, cara berpikir Freeport berbeda dengan lembaga pemerintah. Diutarakan Direktur Utama PT Freeport Indonesia yang baru, Ma’ruf Sjamsoeddin, tidak ada lembaga usaha yang mau dirugikan.

Freeport, kata adik mantan Wakil Menteri Pertahanan, Sjafrie Sjamsoeddin, siap mematuhi peraturan perundang-undangan pemerintah. Pembangunan smelter tersebut merupakan salah satu bentuk renegosiasi kontrak.

Ma’ruf mengatakan kepada anggota DPR, Freeport mempersempit wilayah pertambangan dari 2 juta hektar pada kontrak karya pertama menjadi 212.000 hektar pada amandemen kontrak karya, Juli 2014. Kini sedang dilakukan persiapan untuk menguranginya menjadi 90.000 hektar.

Jika smelter dibangun di Gresik, persiapan yang harus dilakukan jauh lebih sedikit dibandingkan jika Freeport harus membangunnya di Papua. Kalau soal listrik, perlu diselesaikan. Sebab Freeport tidak harus membangun listrik sendiri, melainkan hanya membelinya dari PLN.

PT Petrokimia Gresik memasok kebutuhan pembangunan smelter Freeport seperti gas, air, dan listrik. Yang tak kalah penting, Freeport punya pengalaman menghadapi iklim industri di Gresik.

Jika rencana pembangunan smelter baru di Gresik terlaksana, Freeport akan memiliki dua smelter yang berdekatan. Bagi Freeport, hal ini akan menghemat biaya pengiriman.

Di dekat pabrik PT Petrokimia Gresik, PT Freeport sudah mengoperasikan PT Smelting Gresik. Perusahaan ini berlokasi 30 kilometer sebelah utara kota Surabaya. Pemegang saham utamanya adalah Mitsubishi Materials (60,5%), PT Freeport Indonesia (25%), Mitsubishi Corporation (9,5%), dan Nippon Mining and Metals Co. Ltd (5,0%).

Hasil tambang dari Gunung Grasberg, sekitar 2.600 kilometer sebelah timur Surabaya, dikirim melalui kapal laut. Pabrik peleburan di sini telah berproduksi komersial sejak 28 Mei 1999. Pada tahun 2001, PT Smelting Gresik memproduksi 214.000 ton tembaga katoda.

Jika rencana pembangunan smelter baru di Gresik terlaksana, Freeport akan memiliki dua smelter yang berdekatan. Bagi Freeport, hal ini juga akan menghemat biaya pengiriman. Begitu kapal berangkat ke Gresik, dua smelter akan menerima pasokan sekaligus.

Gresik juga merupakan kota yang infrastrukturnya memenuhi syarat sebagai kota industri: lengkap dengan pelabuhan, jaringan listrik, jaringan sumber daya, dekat dengan bandara, jalan beraspal mulus.

Sejumlah pemilik perusahaan tambang juga akan membangun smelter. Ada yang awalnya menjual bijih bauksit dari Kalimantan Barat dan menjualnya ke China. Ekspor terhenti sejak awal tahun 2014, setelah larangan dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia.

Sesuai Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, hasil pertambangan harus memberikan nilai tambah sebelum diekspor. Para perumus undang-undang tersebut tidak ingin Indonesia hanya menjual “tanah” dan “air”. Artinya, jangan asal ambil tanahnya, masukkan ke kapal lalu dikirim ke China, Jepang, atau negara importir lainnya.

Perizinan investasi tidak boleh ribet

Pengusaha pertambangan juga tahu, jika bisa membangun smelter maka keuntungan yang didapat akan semakin besar. Namun membangun smelter membutuhkan dana triliunan rupiah ditambah infrastruktur yang lengkap terutama listrik. Listrik dibutuhkan untuk berbagai hal: mulai dari tungku pemanas hingga perkantoran, pemukiman. Biaya listrik bisa mencapai 30-40% dari total investasi.

Semua ini membutuhkan lahan. Sebelum bisa memperoleh lahan, pengusaha harus mendapat izin terlebih dahulu dari bupati. Nah, ada kalanya bupati menganggap permohonan izin ini sebagai ATM: tanda tangan hanya diberikan saat upeti disetor.

Seorang pengusaha pertambangan memindahkan smelternya ke Bantaeng, Sulawesi Selatan karena rumitnya perizinan membangun smelter. Rumitnya, bupati di daerah asal tempat dia ingin membangun smelter itu meminta saham kosong dan sejumlah deposit lainnya, sebelum bersedia menandatangani izin.

Ia kemudian memindahkan smelternya ke kabupaten tetangga, Bantaeng. Perizinannya mudah, dia juga membantu mendapatkan listrik PLN.

Pada tanggal 28 Januari 2015, dalam seminar “Mining Outlook 2015” yang diadakan oleh Majalah TAMBANG, Bupati Bantaeng Prof. M. Nurdin Abdullah, hadir sebagai pembicara. Nurdin adalah seorang dokter lulusan Jepang. Beliau juga merupakan dosen di Universitas Hasanudin Makassar. Nurdin beberapa kali terpilih sebagai bupati terbaik yang dijabat oleh berbagai lembaga.

Dalam seminar tersebut, Nurdin mengungkapkan salah satu kunci keberhasilan Bantaeng menarik investor adalah bagaimana pemerintah memperlakukan investor. Ia mengaku langsung menyambut baik investor yang datang ke Bantaeng. Dari bandara hingga kantor bupati, investor dikawal polisi. Bila perlu, gunakan patroli pengawalan untuk menghindari kemacetan, karena jalanan berkelok-kelok dari bandara hingga kota ramai. Malam itu para investor mengadakan pesta. Makanlah durian Bantaeng yang terkenal enak. Saat itu juga saya menyerahkan izin utama, kata Nurdin.

Pemerintah juga membantu investor dalam pembebasan lahan. Pemerintah membantu mengumpulkan warga yang tanahnya akan dibebaskan, dan melarang transaksi jual beli pada periode tersebut untuk mencegah spekulasi tanah. Pembayaran tanah dilakukan langsung dari investor ke rekening pemilik tanah. Uangnya tidak harus masuk ke rekening pemerintah daerah atau pihak lain.

Nurdin pernah menghadapi investor yang terkendala karena barang impornya terhambat. Untuk melakukan impor barang impor, investor harus mendapat rekomendasi dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (IBPM). Investor sudah berkali-kali mengajukan permohonan ke BKPM, namun tidak membuahkan hasil. Setelah ditelepon Nurdin, rekomendasinya keluar di hari yang sama.

“Prinsipnya investor tidak boleh mempersulit. Harusnya dipermudah,” ujarnya.

Bantaeng sebenarnya merupakan kabupaten yang tidak memiliki tambang. Berbeda dengan kabupaten di Sultra seperti Konawe Selatan, Konawe Utara, Konawe, Kolaka, Bombana, dan Buton yang memiliki sumber daya pertambangan melimpah. Namun untuk nikel, pengolahannya dilakukan di Bantaeng, bukan di Sulawesi Tenggara atau kabupaten lain di Sulawesi Selatan.

Hal ini berkat beberapa terobosan yang dilakukan Nurdin. Termasuk listrik. Pemkab Bantaeng berperan aktif mengajak PLN menambah daya listrik untuk keperluan smelter. PLN sepakat menyuplai listrik sebesar 60 MW untuk smelter PT Titan Mineral Utama, 35 MW untuk PT Cinta Jaya, dan 39 MW untuk smelter PT Cheng Feng Mining. Ketiganya dibangun di Bantaeng.

Sebelumnya, PLN menandatangani tiga nota kesepahaman (MoU) untuk menyuplai listrik ke tiga smelter lain di Bantaeng: PT Bhakti Bumi Sulawesi (120 MW), PT Eastone Mining and Mineral Mining (70 MW), dan PT Macro Link International Mining (300). MW). MW). Harga listriknya memang lebih mahal dibandingkan listrik rumah tangga, namun dijamin tidak akan pernah putus, dan tegangannya stabil.

Saya kira Bantaeng akan mirip dengan Singapura. Tidak memiliki sumber daya alam, tetapi merupakan tempat pengolahan sumber daya alam. Anda pasti ingat, setiap hari kita mengimpor ratusan ribu barel minyak sulingan dari Singapura, negara yang menurut Pak BJ Habibie “hanya titik merah di peta” dan tidak memiliki tambang.

Kalau Gubernur Papua Lukas Enembe juga seperti Pak. Nurdin Abdullah berpikir, saya yakin Freeport akan membangun smelter di Papua tanpa adanya paksaan. —Rappler.com

Uni Lubis adalah mantan pemimpin redaksi berita dan terkini di ANTV. Ikuti Twitter-nya @unilubis

Artikel ini sebelumnya telah diterbitkan di blog pribadinya di unilubis.com.


Pengeluaran SGP