• September 24, 2024

Merencanakan kota: Belajar, jangan meniru

Mulai tanggal 9 Juni 2015 hingga tiga hari ke depan, akan diadakan 2 event internasional terkait kota dan infrastruktur di Jakarta.

Yang pertama adalah KTT Kota Baru 2015, ini keempat kalinya, setelah New York, Sao Paolo dan Dallas. Acara ini diselenggarakan oleh New Cities Foundation yang berkedudukan di Paris bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Pada saat yang sama ada Indonesia Green Infrastructure Summit (IGIS) 2015merupakan kolaborasi Kamar Dagang Indonesia (Kadin) dan Bank Dunia.

Sedangkan New Cities Summit membahas tentang kota-kota global, termasuk Jakarta, sedangkan IGIS fokus pada infrastruktur, pembangunan, dan investasi. Sayangnya, kedua peristiwa tersebut terjadi bersamaan, padahal permasalahan di antara keduanya bisa saja saling melengkapi.

Tahun ini saya harus memilih di antara keduanya, akhirnya saya memutuskan New Cities Summit.

Tahun lalu saya kebetulan menghadiri IGIS dan kurang lebih saya bisa merasakan bahwa apa yang mereka tawarkan tahun ini tidak jauh berbeda dengan tahun sebelumnya, yaitu penekanan pada investasi infrastruktur. Tentu ada persoalan menarik, bagaimana mewujudkan tambahan energi sebesar 35.000 megawatt sesuai target pemerintah, dengan tetap memperhatikan isu lingkungan hidup.

Seperti biasa, IGIS diisi pembicara dari seluruh kementerian, mulai dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat hingga Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup.

Alasan saya memilih New Cities Summit terutama karena saya cukup penasaran Yayasan Kota Baru Apalagi organisasi ini baru berusia 5 tahun namun sudah memiliki event kelas dunia. Misi New Cities Foundation adalah membantu membentuk masa depan perkotaan yang lebih baik dengan menghasilkan dan menyebarkan ide dan solusi melalui berbagai acara, penelitian, dan proyek inovasi perkotaan.

Faktanya, kota-kota di Indonesia memiliki keunikan dan tidak bisa begitu saja meniru apa yang terjadi di kota lain.

Berbeda dengan IGIS yang lebih merupakan perwujudan kebijakan atas ke bawah dan kuatnya peran negara dalam pembiayaan dan inovasi, New Cities Summit berfokus pada kemampuan kota untuk melampaui peran negara. Jakarta pun cukup berperan dalam peristiwa ini. Setidaknya ada 6 pembicara yang berasal dari Pemprov DKI Jakarta, mulai dari Wakil Gubernur hingga Kepala UPT Jakarta Smart City.

Dengan deretan pembicara di New Cities Summit, saya rasa akan penuh dengan presentasi yang mampu membuat peserta lokal terinspirasi dan tergoda. Namun acara seperti New Cities Summit merupakan rangkaian presentasi yang harus disaksikan dengan memperhatikan berbagai konteks dan kondisi tertentu.

Sebelum kita menyaksikan presentasi dari Paris, New York, Singapura dan Seoul, kita harus menanamkan dalam alam bawah sadar kita bahwa ini adalah kota-kota negara maju, atau menurut definisi Saskia Sassen adalah Kota Sedunia.

Kota Global adalah pusat aglomerasi ekonomi global. Kota Global biasanya berlokasi di belahan bumi utara dan tentunya di negara maju.

Masalah infrastruktur dasar, seperti transportasi, air bersih dan sanitasi tidak menjadi masalah bagi kota-kota seperti ini. Dan ketika mereka membicarakan hal itu merek kotamaka usaha yang dilakukan bersifat total, dan tidak hanya berhenti pada pembuatan logo dan website saja.

Solusi yang ditawarkan terkadang terkesan begitu mudah, seolah tanpa kendala berarti. Sehingga solusi yang dihadirkan dapat memikat para pengambil keputusan yang kebetulan hadir untuk menerapkan hal serupa di kotanya masing-masing. Namun paradigma seperti itu berbahaya bagi kelangsungan hidup setiap kota.

Dalam bidang arsitektur dan perekonomian kota, Anda mungkin sudah tidak asing lagi dengan istilah “Bilbao effect” yang mengacu pada kota Bilbao setelah melakukan regenerasi kota secara besar-besaran di berbagai bidang seperti transportasi, hotel, dan pusat kebudayaan. Namun, pengambil keputusan seringkali hanya melihat “efek Bilbao”. Museum Guggenheim Bilbao yang spektakuler pada saat itu.

Setelah keberhasilan Bilbao mengubah kota miskin menjadi kota terkenal, kota-kota lain berlomba-lomba membangun museum spektakuler lainnya. Dalam prosesnya, mereka seringkali melupakan hal penting yaitu keaslian dan kesiapan kota.

Dampak Bilbao tidak hanya melanda kota-kota global, namun juga mulai merambah ke kota-kota di Indonesia. Ada keinginan untuk segera dilakukan, yaitu membangun gedung berskala besar karya arsitek dunia, dengan harapan bisa mendatangkan wisatawan dan perlahan menarik investasi untuk memperbaiki infrastruktur yang ada. Ini sebenarnya hanya lamunan.

Taman Pasupati di Jalan Tamansari, Bandung, dinamakan Taman Jomblo karena kubus yang berfungsi sebagai tempat duduk hanya cukup untuk satu orang.  Foto oleh Yuli Saputra/Rappler

Faktanya, kota-kota di Indonesia memiliki keunikan dan tidak bisa begitu saja meniru apa yang terjadi di kota lain. Masih belum bisa melupakan kejadian Bandung dengan gembok cinta dan tulisan Cinta di Taman Jomblo yang dalam waktu 3 hari akhirnya dibuka. tertutup oleh pemerintah yang mendukungnya.

Taman tersebut akhirnya ditutup setelah mendapat kritik keras dari banyak orang, yang merasa agak malu karena tulisan Love adalah tiruan yang buruk Instalasi Robert Indiana. Dan kita pasti ingat bahwa gembok cinta tersebut juga merupakan tiruan dari aktivitas penguncian di salah satu jembatan Paris yang kini bahkan sudah ditinggalkan oleh pemerintah kota Paris.

LOVE Park di JFK Plaza, Philadelphia, AS.  Foto dari visitphilly.com

Acara seperti New Cities Summit merupakan peluang bagus untuk belajar dengan cepat, dengan melihat contoh-contoh yang ada, untuk pada akhirnya membangun dialog. Namun belajar tidak sama dengan meniru. Kota yang unik, mempunyai permasalahan, potensi dan ciri khas yang berbeda dengan kota lainnya. Permasalahan kota tidak bisa diselesaikan dengan resep obat generik yang berasal dari sana praktik terbaik.

Meniru babi buta adalah sesuatu yang cukup memalukan dalam dunia desain. Tidak akan pernah terlupakan pada Konferensi Asia Afrika di Bandung, ketika Jalan Otista Bandung tiba-tiba dihias pemasangan payung merah, biru, kuning. Dan tampaknya pemasangan payung itu merupakan tiruan yang murahan pemasangan payung di Agueda, Portugal.

Pemasangan payung Umbrella Sky Project di Agueda, Portugal, pada tahun 2014. Foto oleh EPA

Ivo Taveras menciptakan instalasi ini untuk merangsang pengalaman ruang melalui sensasi warna yang muncul. Agueda yang berada jauh di atas garis khatulistiwa tentu menawarkan sensasi ruang dan warna yang berbeda dibandingkan Bandung yang dekat dengan garis khatulistiwa.

Jadi mulailah belajar melalui diskusi. Dan berhentilah mencoba meniru atau menerapkan segala sesuatu yang terlihat bagus di presentasi atau kota lain.

Dan bagi kepala daerah atau perencana kota di pemerintahan, saran saya hentikan studi banding. Ada baiknya melihat potensi diri, berdiskusi dengan seluruh masyarakat, memahami dan menggali potensi lokal, membuka kerjasama dengan warga.

Karena pada akhirnya yang menempati kota itu adalah warganya, bukan warga Agueda, Paris, atau Philadelphia. —Rappler.com

Elisa Sutanudjaja adalah Eisenhower Fellow, editor Jakarta Facts, dan salah satu pendiri rujak.org. Ia juga seorang aktivis sosial, reporter data terbuka dan warga kota Jakarta. Ikuti Twitter-nya @elisa_jkt.


game slot online