• October 7, 2024
Aktivis AIDS memprotes larangan peredaran kondom di Surabaya

Aktivis AIDS memprotes larangan peredaran kondom di Surabaya

Apakah pelarangan penjualan kondom di minimarket akan membantu mengurangi jumlah penderita HIV dan AIDS? Jawabannya justru sebaliknya.

JAKARTA, Indonesia- Esthi Susanti Hudiono, aktivis HIV dan AIDS dari Surabaya Hotline Foundation menyayangkan kebijakan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharani terhadap pembatasan peredaran kondom di mini market.

Menurut dia, tindakan Risma tidak mencerminkan posisinya sebagai Wali Kota. “Kenapa Bu Risma berpikiran konservatif, kenapa posisinya seperti pemuka agama,” kata Esthi saat dihubungi Rappler, Rabu, 18 Februari 2015.

Menurut Esthi, pembatasan pembagian kondom yang dilakukan Pemkot Surabaya tidak menyelesaikan persoalan seks bebas di Surabaya. Selain itu, pembatasan kondom ini juga berdampak pada kampanye pencegahan HIV dan AIDS yang juga gencar dilakukan oleh Surabaya Hotline Foundation.

“Semakin sulit mendapatkan kondom, maka penularan HIV dan AIDS juga semakin tinggi, apalagi jumlah penderita HIV dan AIDS di Surabaya cukup besar,” tambah Esthi yang saat ini menjabat sebagai Direktur Eksekutif di Yasayan Hotline Surabaya melayani.

Gunung es jumlah penderita HIV & AIDS

Jumlah penderita HIV dan AIDS di Kota Surabaya cukup tinggi. Berdasarkan data BKKBN per September 2014, jumlah penderitanya mencapai 2.028 orang. Hal ini menjadikan Surabaya sebagai penyumbang penderita HIV dan AIDS terbesar di Jawa Timur, dari total 57.321 penderita.

Untuk mencegah penyebaran HIV dan AIDS serta maraknya seks bebas di kalangan remaja, Esthi menilai pemerintah Kota Surabaya harus melindungi pelajar melalui pendidikan seksualitas sejak dini. Esthi menyayangkan, pendidikan yang diterima siswa saat ini hanya sebatas pendidikan kesehatan reproduksi, dan belum membahas pendidikan seks berkelanjutan.

“Pemberdayaan anak melalui pendidikan sangat penting, sehingga anak dapat mempelajari nilai-nilainya secara sukarela, bukan dengan paksaan,” ujar mantan jurnalis ini.

Pihaknya saat ini telah mengajukan peraturan daerah (perda) tentang pendidikan seksualitas kepada Pemkot Surabaya. Ia ingin pendidikan seksualitas dimasukkan dalam kurikulum sekolah, sehingga dapat menurunkan angka hubungan seks di luar nikah dan membantu pencegahan HIV dan AIDS sedini mungkin.

Namun, menurut Esthi, hingga saat ini Pemkot Surabaya belum merespons perda yang diusulkannya. “Sampai saat ini belum ada perdanya, padahal ini lebih penting dari pembatasan kondom,” kata Esthi.

Agus Priyono, warga Siwalankerto Surabaya, sependapat dengan Esthi dan mengatakan kebijakan pembatasan peredaran kondom yang dilakukan Pemkot Surabaya bukanlah hal yang tepat.

Menurutnya, kebijakan tersebut akan berdampak buruk pada kampanye HIV dan AIDS. Agus juga berpendapat, minimarket harus memastikan usia pembelinya sebelum membeli alat kontrasepsi.

Pembatasan peredaran alat kontrasepsi ini terjadi karena Pemkot Surabaya menemukan dua rak berisi paket coklat, bir, dan kondom di dua supermarket di Surabaya pada Hari Valentine, 14 Februari. Sebelumnya, Pemkot Surabaya juga mengeluarkan surat edaran kepada seluruh pelajar di Surabaya untuk tidak merayakan Hari Valentine.

Prostitusi Dolly pasca penutupan

Tidak dapat dipungkiri bahwa besarnya jumlah penderita HIV dan AIDS di Surabaya sebagian besar disumbang oleh pekerja seks. Ini juga salah satu alasannya Wali Kota Risma menutup lokalisasi Dolly.

Penutupan Dolly hingga saat ini masih menyisakan banyak permasalahan, salah satunya adalah aktivitas prostitusi tersembunyi di kawasan tersebut. Diduga kos-kosan pekerja seks di sekitar Dolly itu menjadi tempat transaksi. Mucikari yang biasa memajang pekerja seks di etalase kaca juga telah mengubah metode promosinya.

Diduga mucikari menawarkan pekerja seks melalui sistem online, lewat telepon pintar atau tablet. Saat pelanggan membutuhkan wanita idaman, muncikari yang biasa nongkrong di warung sekitar Dolly akan menghubungi pekerja seks di kos-kosan.

Selain di kawasan Dolly, praktik prostitusi tersembunyi juga banyak ditemukan di tempat hiburan malam seperti panti pijat, tempat karaoke, dan tempat hiburan malam.

Menurut Esthi Susanti, saat ini eks pekerja seks Dolly sudah menyebar ke berbagai daerah di luar Pulau Jawa. Saat Dolly ditutup pada Juni 2014 lalu, Esthi diberikan penutupan bersyarat.

“Tadi saya sudah beri syarat, kalau semua masalah mau ditutup, lebih baik diselesaikan. Namun kenyataannya hanya persoalan norma agama yang terselesaikan, masih ada persoalan kesehatan, ekonomi, dan kekerasan terhadap perempuan yang belum terselesaikan, kata Esthi.

Isu kesehatan khususnya pencegahan HIV dan AIDS menjadi fokus utama Hotline Foundation. Dengan ditutupnya Dolly, Esthi khawatir mantan pekerja seks Dolly yang positif mengidap HIV dan AIDS bisa menyebarkan virus tersebut ke daerah lain. Perempuan yang aktif di Hotline Foundation sejak 1992 ini berharap pemerintah bisa bertindak lebih tegas untuk menghentikan epidemi HIV dan AIDS.

“Harus ada kontrol yang jelas dan tegas. Jangan korbankan masalah lain. “Pemerintah harus fokus pada aspek kesehatan, bagaimana kesehatan dapat menyembuhkan yang sakit dan mencegah yang sehat,” tegasnya. -Rappler.com

Result SDY