• October 7, 2024

Impunitas dan sulitnya memperjuangkan keadilan

Belakangan ini sosok Munir seperti Wiji Thukul membuat saya bertanya-tanya. Bolehkah kita bermalas-malasan mengikuti tren budaya populer namun tidak mengikuti kampanye kemanusiaan?

Bagaimana kita memaknai perjuangan Munir Said Thalib? Apakah dengan turut serta dalam perjuangan turun ke jalan untuk mengadili kasus-kasus pelanggaran HAM? Apakah dengan mengganti avatar kita di media sosial saat peringatan meninggalnya Munir tiba?

Atau lebih dari itu, berhenti melihat ke belakang dan menatap ke depan untuk memperbaiki bangsa? Bagi setiap orang, makna berkelahi akan berbeda-beda, apalagi bagaimana kita memaknai sosok Munir.

Bagi saya, Munir lebih dari sekedar individu atau tokoh yang diidolakan sebagai pejuang HAM. Seharusnya hal ini menjadi kata sifat atau sinonim dari perjuangan hak asasi manusia.

Sangat mustahil bagi saya berbicara tentang hak asasi manusia tanpa mencantumkan nama Munir. Konsistensi, integritas, dan perjuangan HAM almarhum mungkin membuat sebagian pelanggar HAM di negeri ini bertindak pengecut dengan membunuhnya menggunakan racun.

Mengingat Munir bisa menjadi masalah. Di satu sisi, glorifikasi berarti perjuangan Munir melawan impunitas direduksi menjadi popularitas sosoknya, namun di sisi lain, persoalan HAM yang tadinya tidak seksi, membosankan dan menakutkan bisa menjadi hal sehari-hari yang dibicarakan banyak kalangan.

Belakangan ini sosok Munir seperti Wiji Thukul membuat saya bertanya-tanya. Bolehkah kita bermalas-malasan mengikuti tren budaya populer namun tidak mengikuti kampanye kemanusiaan?

Saya kira generasi sekarang berhutang budi pada Munir, Marsinah, dan Wiji Thukul. Mereka adalah orang-orang yang bersuara dan memperjuangkan kebebasan berpendapat, keadilan bagi pekerja, dan juga jaminan hak asasi manusia.

Namun sejauh mana Munir, Marsinah, dan Wiji Thukul dikenal?

Selama ini mereka dikenal sebagai tokoh poster yang rutin tampil di berbagai acara. Tokoh-tokohnya dikomodifikasi menjadi ikon populer sehingga nilai perjuangannya semakin berkurang.

//

Maksud saya, beberapa hari terakhir ini beredar komik Doraemon yang menceritakan tentang Wiji Thukul. Dalam komiknya tersirat ajakan untuk berhenti mengutip dan membicarakan mengenang Wiji Thukul. Karena menurut komiknya, lebih baik memikirkan masa depan daripada terjebak di masa lalu.

Komik itu mungkin punya niat baik. Serta niatan mantan Menko Polhukam Tedjo Edi Purdijatno yang pernah mengatakan:

“Itulah masalahnya, kami akan melanjutkan rekonsiliasi ini. Jangan kembali lagi. Negara harus sejahtera ke depan, tidak hanya mencari kesalahan sana sini. Jadi marilah kita memperbaiki bangsa ini ke depan.”

Menurut saya pribadi, komik itu bermasalah dari segi bahasa. Mereka yang mengingat Munir atau Wiji Thukul seolah-olah hanya bicara mengikuti tren. Mungkin benar mereka, peduli hanya bisa ikut-ikutan saja, tapi kalau iya bagaimana?

Apakah memang tidak boleh bersikeras menuntut penghapusan impunitas? Atau ikut menuntut keadilan bagi korban kejahatan HAM? Atau menuntut penyelesaian kasus Munir?

//

Tanggal 7 September lalu ada peringatan bahwa Munir telah dibunuh selama 11 tahun. Sayangnya, hingga saat ini masih belum ada solusi yang memuaskan para pembela hak asasi manusia.

Berbagai kelompok hak asasi manusia seperti Kontras dan istri mendiang Munir, Suciwati, menilai belum ada tindakan tegas yang mengusut tuntas siapa dalang pembunuhan Munir.

Presiden Joko Widodo, yang selama kampanyenya menyatakan berkomitmen menegakkan hak asasi manusia, kembali terdorong untuk mengangkat kasus ini dan membentuk tim khusus untuk melakukan investigasi.

Jika negara enggan atau takut menyelesaikan kasus pelanggaran HAM, warga patut curiga. Apa yang sebenarnya terjadi? Jokowi secara pribadi pernah mengatakan bahwa penyelesaian kasus HAM adalah prioritas pemerintahannya.

Jika pemerintah lupa, sebagai warga negara kita berhak dan wajib menuntut dan mengingatkan. Atau mungkin isu hak asasi manusia tidak terlalu seksi sehingga harus dikesampingkan.

Sayangnya, harapan untuk menuntut penyelesaian kasus HAM semakin sulit diwujudkan di bawah pemerintahan Jokowi. Kita dapat mengukurnya dari teorema Jaksa Agung HM Prasetyo sebenarnya yakin kasus Munir sudah selesai.

Pasalnya, Prasetyo meyakini tersangka pembunuhan yakni pilot nonaktif Garuda Indonesia Pollycarpus sudah menjalani hukuman sehingga ia menilai kasus ini tidak perlu diangkat lagi.

Komitmen Jokowi terhadap HAM terus diuji. Beberapa kasus pelanggaran HAM seringkali berakhir tanpa adanya tindakan tegas atau bahkan keadilan.

Kasus Paniai di Papua, penindasan terhadap kelompok minoritas seperti Syiah di Sampangm dan Ahmadiyah di Lombok, hingga mereka yang terlantar akibat pembangunan seperti Jatigede dan Rembang. Selama ini Jokowi bungkam, bahkan pemerintah kerap mengambil posisi sebagai penindas.

Gejala kelalaian dan impunitas tercermin dari pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang menyebut pelaku kasus pembunuhan Munir sudah tidak perlu lagi dibicarakan. Pasalnya, kasus tersebut diselesaikan oleh orang yang diduga membunuh Munir, yang dijebloskan ke penjara.

Menurut Kalla, penetapan pihak yang bersalah dalam kasus pembunuhan tersebut sepenuhnya menjadi kewenangan pengadilan. Oleh karena itu, LSM tidak berhak menetapkan tersangka yang dianggap sebagai pelaku pembunuhan.

“Pengadilanlah yang memutuskan, bukan LSM. Pengadilan memutuskan demikian, bagaimana caranya? “Ini bukan negara LSM, tapi negara hukum,” kata Kalla.

Perjuangan menuntut keadilan memang akan sulit ketika ketidaktahuan menjadi hal yang sehari-hari. Akan sulit bagi seseorang untuk berbicara tentang perjuangan ketika semua hak yang dimilikinya telah diberikan dan terjamin.

Memperjuangkan penyelesaian kasus HAM seperti yang dialami Munir, Marsinah, dan Wiji Thukul hanya bisa terjadi jika masyarakat sadar akan keadilan dan kemanusiaan. Tidak mungkin membicarakan keadilan jika impunitas terus berlanjut.

Menuntut keadilan dan menghilangkan impunitas seharusnya menjadi kewajiban bagi mereka yang berpikir dan mempunyai hati nurani. —Rappler.com

BACA JUGA:

Arman Dhani adalah seorang penulis lepas. Penulisannya bergaya satir penuh sarkasme. Saat ini ia aktif menulis di blognya www.kandhani.net. Ikuti Twitter-nya, @Arman_Dhani.


Data SGP