Sosok Munir dalam ingatan seorang gadis
- keren989
- 0
Kekerasan, ketidakadilan, keserakahan dan kebencian menjadi musuh utama Munir dalam perjuangannya
Usiaku belum genap empat belas tahun ketika suatu hari samar-samar aku menonton berita di televisi, seorang aktivis kemanusiaan Indonesia telah meninggal.
Namanya Munir Said Talib, lebih sering dipanggil Munir.
Saya tidak mengenal Munir, maupun hal-hal besar yang dilakukannya dalam memperjuangkan hak asasi manusia dan keadilan di Indonesia – yang kemudian saya baca dan dengar – karena saat itu saya masih seorang gadis kecil yang memilih pohon belimbing untuk mengejar tetangga atau membaca buku petualangan Lima Teman oleh Enid Blyton di kamar ketika keluarga saya sedang dalam perjalanan menuju hamparan bunga.
Saat masih kecil, aku tidak mengenal Munir, kakak perempuanku, atau ibuku. Namanya sama sekali tidak melekat di hatiku, pikirku, karena ternyata kemanusiaan bukanlah hal yang begitu penting di pulau kelahiranku. Tidak pernah terpikir oleh saya tentang pentingnya orang-orang yang berani menentang kekuasaan dan kekerasan. Masyarakat yang berjuang untuk memutus ketidakadilan bagi rakyat kecil yang tidak mampu membayar segala ancaman dan tekanan yang diterimanya dari pihak-pihak yang tidak ingin mereka melawan dan membeberkan kejahatan yang dilakukannya. Orang yang tidak takut dan masih bisa melontarkan humor ketika berada menerima bom di pintunya.
Yang saya pedulikan hanyalah air asin yang berombak, istana pasir, dan daun palem untuk diayunkan.
Namun sepuluh tahun kemudian, Munir datang mengingatkan saya. Ketika saya tidak sengaja menemukan sepotong surat elektronik dari Goenawan Mohammad untuk Sutan Alief Allende dan Diva Suki Larasati. Keduanya merupakan anak Munir, buah cintanya pada Suciwati.
Perasaan sedih dan tidak berdaya menghampiriku saat membaca surat Goenawan untuk Alief dan Diva. Setiap kata yang diucapkannya begitu lembut dan pedih sehingga seolah-olah akulah yang mengalami kehilangan. Seolah-olah surat itu ditujukan kepadaku. Dan mungkin perasaan ini benar adanya, perasaan kehilangan seseorang yang berjuang di tengah kisruh perebutan kekuasaan. Disaat tak banyak masyarakat yang tertunduk karena bau menyengat nominal kertas yang ditawarkan, Munir adalah sosok yang menuruni tangga, memungutnya dan bersama-sama memperjuangkan keadilan, sebuah hak yang jarang diperhatikan oleh para penguasa negeri ini. negara.
Entahlah Munir, tapi perjuangan yang dilakukannya dan dipaksa berhenti karena arsenik membuatku merasa kehilangan karena aku percaya, seperti percaya bahwa politik selalu berakhir dengan uang, Munir adalah sosok yang belum tentu diantara milyaran bisa. tidak mengerti. rakyat.
Munir adalah orang yang tidak takut pada kegelapan, namun memiliki kegelisahan terhadap kegelapan karena baginya kegelapan adalah kepahitan pasrah, sebuah keputusasaan. Kegelapan itulah yang ingin dilawan Munir, bukan karena ia adalah orang paling berani yang pernah lahir di dunia, seperti yang dikatakan Goenawan “(…) Seperti kita semua, dia juga takut melihat semua ini”, tapi dia melawan. ketakutannya dan dengan tubuhnya yang lemah ia berjuang untuk mengalahkan empat penunggang kuda yang disebut Kekerasan, Ketidakadilan, Keserakahan dan Kebencian.
Keempat hal tersebut masih ada sampai sekarang. Saya masih mengalami ketika hidup saya tidak lagi tentang laut, karang, dan pohon kelapa. Aspal panas, gedung, selokan, perumahan kumuh, jalan berlubang, wajah marah, siku tajam, pengemis kota, mata buta, tangan tua, pipa knalpot rusak, tawa kering, lendir merah…
Derap langkah yang ditinggalkan oleh keempat penunggang kuda itu tersebar dimana-mana. Tumbuh subur, seperti rumput liar.
Kasus pembunuhan Munir yang hingga saat ini belum terungkap dan sama sekali tidak terungkap membuktikan bahwa keadilan yang dicarinya belum tercapai. Namun, dengan banyaknya orang yang terinspirasi oleh semangat juang dan tekad yang seolah mati rasa terhadap rasa takut, melalui lukisan, pantomim, puisi bahkan lagu, mungkin hari itu akan tiba suatu hari nanti. Munir, kata Goenawan, memberikan yang terbaik dari dirinya, maka Goenawan berduka, mereka berduka, dan aku berduka.
Munir bukan hanya seorang pahlawan, namun ia juga merupakan salah satu tanda tidak adanya keadilan di sini. Di garis khatulistiwa.
Seperti sepuluh tahun yang lalu saya tidak mengenal Munir. Tapi saya merasakan semangat dan perjuangannya yang mahal. Dan seperti Alief dan Diva, aku merindukan sosoknya yang mungkin tidak akan pernah tergantikan. Sebab, aku akui benar perkataan Goenawan, aku takut melihat kegelapan yang menyelimuti negeriku.