Anak-anak yang menyaksikan pembunuhan Salim Kancil menjalani ‘trauma healing’
- keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
Putra Salim Kancil melihat ayahnya disiksa dan dibunuh. Siswa PAUD di Lumajang pun menjadi saksi
LUMAJANG, Indonesia – Pembunuhan aktivis pertambangan Salim alias Kancil di hadapan sejumlah anak di Balai Desa Selok Awar-Awar, Lumajang, Jawa Tengah, meninggalkan bekas yang mendalam bagi mereka.
kata Istri Bupati Lumajang, Tutuk Fajriatul Mutofiah menanggapi kejadian tersebut penyembuhan trauma kepada putra Salim, Dio Eka Saputra (13 tahun), dan siswa Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Taman Kanak-Kanak (TK) Selok Awar-Awar, Kamis 1 Oktober.
“Langkah ini saya lakukan untuk menghapus trauma Dio dan anak-anak saya di PAUD,” kata Tutuk, istri Bupati As’at Malik, saat berkunjung ke rumah Salim, Kamis.
Salim dibunuh puluhan orang di halaman balai desa Selok Awar-Awar pada 26 September 2015. Dia menentang penambangan di Lumajang setelah dia ditemukan 8 bidang tanah rusak akibat penambangan pasir ilegal.
Tambang tersebut kemudian diduga dijalankan oleh Tim 12 yang merupakan mantan tim sukses kepala desanya, Haryono.
Berdasarkan pemeriksaan Komisi Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) Surabaya, sekelompok orang yang diduga anggota Tim 12 masuk ke rumah Salim.
Mereka kemudian menyeret Salim ke Balai Desa dengan menggunakan tali kendur yang biasa dibuat untuk menggembala sapi. Mereka bisa leluasa masuk ke kantor Haryono karena karyawan libur pada hari Sabtu.
Mereka kemudian membaringkan Salim untuk menyetrumnya. Upaya pembunuhan Salim dengan sengatan listrik ini disaksikan oleh anak-anak PAUD yang kebetulan sedang mengadakan pembelajaran di samping Balai Desa.
“Anak-anak kecil ketakutan, gurunya kemudian memberi mereka libur,” kata Fathul Khoir, koordinator KontraS Surabaya.
Bagi Tutuk, peristiwa kekerasan di depan anak yang dilakukan sekelompok orang dewasa akan mengganggu psikologi mereka. Apalagi Dio melihat orang tuanya diseret, dipukuli, dan dipukuli.
“Saya dengar Dio ingin menjadi korban pelemparan batu oleh sekelompok orang yang membunuh ayahnya. Kok tega punya anak?” kata Tutuk yang memiliki 5 orang anak dan 2 cucu ini.
Tutuk pun mengajak Dio berbicara dari hati ke hati tentang peristiwa yang mungkin tidak akan ia lupakan. Ia berharap siswa kelas 5 SD ini tidak melakukan balas dendam atau kekerasan di kehidupan selanjutnya.
“Dio anak yang cerdas, baik hati, meski bapaknya masih emosi saat ditanya apa yang terjadi,” kata Tutuk.
Tutuk juga mengajak anggota keluarga Salim lainnya, serta orang tua siswa PAUD untuk tidak menceritakan kejadian tersebut kepada anaknya, agar mental dan psikologisnya tidak terganggu dalam menjalani kehidupan sebagai remaja pada umumnya.
“Hal ini juga saya sampaikan kepada orang tua siswa PAUD dan TK serta guru pendidikannya. “Jangan bicara di sekolah tentang tindakan kekerasan yang dilakukan Pak. Salim Kancil bukan korbannya,” kata Tutuk.
Tutuk berjanji akan kembali mengunjungi siswa PAUD, TK, dan Dio secara langsung untuk melihat langsung perkembangan psikologis mereka.
“Saya juga sampaikan kepada perangkat desa dan kelurahan untuk terlibat aktif dalam hal ini penyembuhan trauma “Kepada anak-anak yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Desa Selok Awar-Awar Haryono ditetapkan sebagai tersangka kasus pembunuhan aktivis pertambangan Salim alias Kancil, Rabu 1 Oktober.
Menurut polisi, dia memfasilitasi pembunuhan tersebut dengan membiarkan pelaku melakukan aksinya di halaman Balai Desa.—Rappler.com
BACA JUGA: