Anak yang lahir dengan sendok perak
- keren989
- 0
Ini adalah minggu kritis bagi sebagian besar rumah tangga di kota-kota besar seperti Jakarta. Seminggu menjelang Idul Fitri 1436 H, para pembantu rumah tangga (ART) yang biasanya menjadi andalan mengurus rumah tangga, termasuk mengasuh anak, mudik dan pulang ke kampung halaman.
Teman-teman saya mulai menulis status di akun media sosial mereka. Ada pula yang mengeluh pusing luar biasa. Ada pula yang mengelolanya dengan berbagi tanggung jawab.
Teman saya, Ventura Elisawati, menulis di status Facebooknya pada 12 Juli:
“Hari ini sudah resmi serahkan dari ART hingga kami. Pembagian tugas untuk hari 1 sedang berlangsung: anak-anak gadis besi, nak pria mengepel, ayah mencuci, dan ibu memasak. selesai. Semuanya berjalan lancar sejauh ini. Saya yakin banyak rumah tangga mengambil solusi itu. Meski tak sedikit yang berebut ART’salah‘, pengganti sementara, apalagi jika Anda masih memiliki bayi, atau memilih ‘mengungsi’ ke rumah orang tua atau hotel.
Lahir dengan sendok perak di mulutnya. Lahir dengan sendok perak di mulutnya. Itu adalah istilah yang lazim dilekatkan pada ahli waris kekayaan orang tuanya. Pewaris kerajaan, baik kerajaan dalam arti politik, maupun kerajaan ekonomi.
Kalau pemerintah terlalu banyak bicaraBesaratau terlalu besar, mungkin anak yang lahir dari orang tua yang cukup kaya juga bisa masuk dalam kategori ini. Merasa muak sejak masa kanak-kanak, ada yang khawatir tidak akan mampu bersaing di dunia yang keras ini.
Saya ingat membicarakan hal ini dengan adik ipar saya, Atiek, dua minggu lalu ketika saya pergi ke Yogyakarta.
Minggu lalu, saya berbuka puasa dengan teman saya di sebuah restoran Jepang di Pacific Place Mall Jasmin S.Jasin Dan Ardi Wirda Mulia. Kami berteman dekat sejak sama-sama kuliah di Institut Pertanian Bogor. Ardi satu tahun di atas aku dan Jasmin. Ardi dan Jasmin sama-sama lulusan Departemen Statistika IPB. Ardi adalah generasi di depan kita. Aku dan Jasmin berada di kelas yang sama.
Ardi kini menjadi doktor ilmu pemasaran dan menjalankan lembaga riset konsumen. Jasmin pernah menjadi Direktur Eksekutif Bina Antar Budaya, yayasan yang menyelenggarakan program pertukaran pelajar US Field Service (AFS), dan kemudian setelah sembilan tahun menjabat, mendirikan TK dan SD Gemala Ananda yang mempunyai reputasi baik. .
Tanpa disadari, perbincangan selama 1,5 jam itu didominasi cerita seputar pendidikan anak. Formal atau informal, di rumah. Usia anak-anak kami hampir sama. Bedanya hanya 1-2 tahun dibandingkan usia anak saya. Secara ekonomi, kami tidak boros, namun cukup mampu menyekolahkan anak kami dari PAUD hingga sekolah swasta. Di rumah, anak biasanya diberikan ART sejak dini. Praktisnya, adalah tanggung jawab anak untuk belajar. Fokus di sana. Ditambah lagi, pengajaran yang beragam.
Bisa dibilang, Jasmin, Ardi, dan saya adalah produk sekolah negeri, mulai dari SD hingga perguruan tinggi. Jumlah siswa dalam satu kelas lebih banyak dibandingkan dengan pengalaman anak-anak kita yang biasanya hanya mempunyai 19-24 teman dalam satu kelas. Dilayani oleh dua orang wali kelas. Dapatkan perhatian penuh, dan karena itu kurangi kebutuhan bertahan hidup dibandingkan berada di kelas dengan 45-50 siswa, seperti yang kita alami sebelumnya. Kami juga merasa khawatir.
Anak-anak kami mendapat nilai bagus. Namun kami bertanya: “Apakah ini cukup baik? Sangat bagus? Akankah anak kita mampu bersaing dengan anak pintar lainnya di level selanjutnya? Nilainya bagus, tapi kenapa di usia itu kami merasa lebih tangguh dan lebih baik dalam matematika, bukan? Mungkin bagus karena banyak mendapat bantuan dari les dan lain sebagainya?
Ini adalah bagian dari kompetisi angka. Nilai ujian. Selain itu kami juga mendiskusikan berbagai hal. Apakah cukup dengan mendorong anak mendapat nilai tinggi di sekolah? Perhatikan baik-baik dan pastikan mereka belajar dengan baik untuk ujian. Lalu lupakan hal lain yang tak kalah penting: pelajaran hidup mandiri.”
Kami kemudian melacaknya. Fenomena seperti ini mulai menguat dalam 25-30 tahun terakhir. Pada tahun 1990an, ketika kelas menengah Indonesia mulai tumbuh. Kondisi perekonomian membaik (walaupun terjadi krisis ekonomi tahun 1997-1998). Persaingan untuk mendapatkan sekolah berkualitas semakin ketat. Para orang tua stres karena ingin mendapatkan tempat di sekolah favoritnya.
Saya ingat, saya baru mendaftar SMP dan SMA sendiri. Tanpa didampingi orang tua. Kebanyakan membuat janji dengan teman. Pertimbangan memilih SMP dan SMA adalah karena banyak teman saya yang bersekolah di sekolah tersebut. Peran orang tua terbatas, asalkan sekolahnya bagus dan biayanya dibayar. Kami cukup mandiri, bukan?
(BACA: Ibu dan Ramadhan)
Karena ketatnya persaingan, orang tua mendorong anaknya untuk meraih nilai ujian setinggi-tingginya. Sekolah unggulan menerapkan batasan minimal nilai ujian. Anak-anak dibebaskan dari kewajiban yang pernah kita alami semasa kecil. Ikut serta dalam membersihkan rumah, minimal menyapu dan mengepel. Bantu ibu memasak di dapur. Ayah membantu memperbaiki genteng yang bocor (karena sekarang harus memanggil tukang, hehe).
Berapa banyak anak dari keluarga kelas menengah di kota besar yang bisa mencuci pakaian sendiri? Besi? Apakah kamarnya bersih dan rapi? omong-omongjangan merasa tersinggung, kita juga sedang membicarakan kita alias #notetoself.
Sebab, apa yang terjadi pada anak, baik menjadi mandiri atau semakin bergantung pada orang lain, sepenuhnya merupakan kesalahan pola asuh orang tuanya. Inilah yang sebenarnya saya sadari dalam beberapa percakapan dengan suami saya.
Masalahnya, kapan waktunya? Siswa SD kini pulang pada pukul 16:00 WIB, lelah setelah menghabiskan waktu di sekolah sejak pukul 07:00 WIB. Bahkan jika kamu ingin memintaku untuk membersihkannya, aku minta maaf. Ini adalah pembenaran.
Saya dan suami adalah produk orang tua yang mendidik anak-anaknya untuk mandiri sejak dini. Orang tua kami tidak pernah mempekerjakan pembantu. Pekerjaan dalam rumah tangga dibagi secara proporsional antara ayah dan ibu serta anak. Ibu suami saya adalah seorang guru. Ibu saya tidak bekerja secara formal namun aktif dalam berbagai kegiatan sosial dan organisasi.
“Kita harus mulai dari sekarang. Sejak SMP Darrel harus belajar lebih mandiri. Jangan bergantung pada orang lain. “Kemudahan dan kenyamanan semasa TK dan SD harus mulai diimbangi dengan memberikan tanggung jawab yang lebih,” begitulah tema perbincangan saya dan suami tentang anak-anak kami. Kami ingin belajar pelajaran hidup. Hal itu pun menjadi salah satu tema perbincangan dengan Jasmin dan Ardi.
Jangan sampai mereka beranjak dewasa, beranjak dewasa, menikah, dan tidak kompeten mengurus rumah. Mulailah mencuci dan menyeka sepeda. Cucilah piring dan gelas Anda sendiri setelah makan, meskipun saudara perempuan atau anggota rumah tangga Anda ada di sana. Belajar membuat nasi goreng. Tata pakaian di lemari.
Tidak mudah. Sulit bagi anak-anak zaman sekarang untuk membaca buku, kecuali buku-buku yang diwajibkan oleh sekolah. Melainkan browsing di dunia maya. Konsumsi informasi teks dan video dari perangkat teknologi komunikasi dan informasi seperti iPad atau smartphone. Sekali lagi, saya dan suami akui, kesalahannya terletak pada orang tua. Mungkin kita lebih nyaman melihat anak kita bermalas-malasan di kamar dan menatap layar tablet seharian saat liburan, dibandingkan beraktivitas di luar rumah. Lebih aman. Meski belum tentu.
(BACA: Tips Memaksimalkan Libur Lebaran dengan Menyenangkan dan Murah)
Dalam bentuk yang lebih sederhana, anak kita bisa dipanggil lahir dengan sendok perak di mulutnya. Saat lahir, orang tua sudah memiliki rumah dan mobil. Kedua orang tuanya bekerja dan memiliki penghasilan tetap yang alhamdulillah cukup baik. Namun hidup tidak selalu mulus. Saya mulai bercerita kepada anak saya, bagaimana jika tidak ada ART? Misalnya karena Anda akan pulang? Atau kita tidak mampu membayar anggota rumah tangga?
Saya ingat membicarakan hal ini sambil menonton Darrel Antar bintang. Ingat adegan ketika Cooper, tokoh utama film yang diperankan oleh Matthew McConaughey, mengalami ban kempes saat mengemudi bersama putranya Tom (Timothee Chalamet). Cooper meminta remaja Tom untuk menambal rekaman itu. Tom bertanya, kenapa harus begitu? Cooper, sang ayah, menjawab, “Karena aku tidak akan selalu bisa bersamamu, Nak.”
Sekali lagi, tidak mudah bagi saya untuk menerapkan kemandirian yang tegas pada Darrel yang notabene anak tunggal. Tapi, saya belajar dari Jasmin yang juga anak tunggal. Bagaimana dia dididik, dan sekarang mendidik anak-anaknya.
Itu klise. Artikel diakhiri dengan penulisan puisi karya Kahlil Gibran yang paling populer, tentang anak-anak. Tapi saya ingin menulisnya di sini sebagai pengingat, untuk diri saya sendiri. Dan semoga bermanfaat bagi para pembaca.
Anak-anak Anda bukanlah anak-anak Anda
Mereka adalah anak-anak kehidupan yang merindukan dirinya sendiri
Mereka lahir melalui Anda, tetapi bukan dari Anda
Sekalipun mereka bersamamu, mereka bukanlah milikmu
Bagi mereka kamu bisa memberikan cintamu, tapi bukan pikiranmu
Karena mereka mempunyai pemikirannya sendiri
Anda dapat menampung tubuh mereka, tetapi tidak jiwa mereka
Karena jiwa-jiwa itu tinggal di rumah masa depan, yang belum pernah kamu kunjungi, bahkan dalam mimpi
Kamu boleh saja menjadi seperti mereka, tapi jangan mencoba membuat mereka menyukaimu
Karena hidup tidak berjalan mundur, tidak juga ke masa lalu.
Dll… (Saya tidak menulis semuanya karena mudah dinikmati di dunia maya).
Saat aku membaca puisi itu, aku diingatkan untuk tidak mengukur apa yang aku alami sebelumnya dengan apa yang seharusnya diterapkan pada anakku. Namun saya percaya bahwa dari waktu ke waktu kita perlu belajar tentang kehidupan. Mungkin itu cara lain. Variasinya. Ada yang mau berbagi dengan saya? —Rappler.com
Uni Lubis adalah jurnalis senior dan Eisenhower Fellow. Dapat disambut di @UniLubis.
Artikel ini adalah bagian dari Cerita Ramadhan.