• October 7, 2024

Apa motif beredarnya ‘beras plastik’?

Tiba-tiba saja terjadi penemuan “beras plastik” dan “beras aneh” di berbagai tempat. Media melaporkan puluhan mahasiswa STP Bandung keracunan beras plastik? Media juga memberitakan bahwa di Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, terjadi penjualan beras yang diduga mengandung bahan sintetis.

Ada juga berita orang Papua menemukan nasi aneh. Nasi yang ditemukan warga di Papua dalam keadaan belum matang, meski sudah direbus selama satu jam.

Yves Papare, warga Jayapura yang mengaku membeli satu kilogram beras di kios dekat rumahnya. Ia menggambarkan beras tersebut berwarna cerah, lebih terang dari beras pada umumnya, bersih tanpa kutu atau gabah, dikemas dalam karung Bulog seberat 50 kilogram.

Yves mengaku sudah memakan hasil panennya. Beda rasanya, kalau perut terasa kenyang, tidak kenyang, kata Papare.

Jika pengakuan tersebut benar, berarti nasi yang dimakan Papare dan istrinya pasti belum matang. Dinas Perindustrian dan Perdagangan setempat serta Satpol PP mengambil beras tersebut untuk diuji.

Kehebohan itu berawal dari si penjual bubur

Semua kemeriahan itu bermula dari pengalaman Dewi Nurrizza Septiani, pedagang bubur asal Bekasi. Dia memasak nasi, yang ternyata lebih keras. Pengalaman yang diunggah ke akun Instagram itu memicu heboh atas ditemukannya “beras plastik”. Media memberitakannya.

Pemerintah melakukan intervensi. Sampel beras diperiksa oleh laboratorium Sucofindo. Polisi memeriksa Dewi untuk mengetahui siapa produsen beras yang menurut temuan Sucofindo mengandung senyawa polivinil klorida (PVC) yang biasa digunakan untuk membuat pipa paralon, kabel, bahkan penutup lantai.

Informasi penting mengenai penemuan beras plastik dan dampaknya bagi konsumen dapat dibaca di sini.

Apa motif menjual ‘beras plastik’?

Terus terang saya juga bingung dengan motivasi para pemasok “beras plastik” atau yang sekarang disebut juga beras sintetis. Mencarinya tentu mudah.

Dewi membeli dari warung bening. Kios mendapat pasokan dari pedagang yang dikenal tentunya, kemudian ke produsen. Apakah beras tersebut diproduksi atau diimpor oleh produsen atau perusahaan lokal?

Informasi yang beredar awalnya adalah beras didatangkan dari China. Pada tahun 2011, sejumlah publikasi menyebutkan bahwa Negeri Tirai Bambu memproduksi beras buatan, campuran kentang dan ubi jalar dengan senyawa resin, untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat miskin di sana.

Informasi ini antara lain dapat dibaca Di Sini. Dalam beberapa lokasi Bahkan kita bisa menemukan iklan-iklan yang menawarkan mesin untuk membuat beras tiruan agar mirip dengan beras asli.

Namun Menteri Perdagangan Rachmat Gobel membantah kemungkinan tersebut. Mereka merasa belum mengeluarkan izin impor beras dari China.

Beras untuk orang kaya?

Kebingungan motivasi pemasok “beras plastik” ini juga kami bahas dalam diskusi yang diadakan pada Jumat sore, 22 Mei, oleh Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI).

Asmo Wahyu, pakar kimia UI yang menjadi salah satu pembicara, mengatakan hal tersebut beras buatan yang dikembangkan di Tiongkok sebenarnya ditujukan untuk orang-orang yang mampu membeli.

“Nasi dibuat dengan menambahkan nutrisi, sehingga dicampur dengan ubi dan kentang. Agar adonan menjadi lentur dan dapat dibentuk maka ditambahkan bahan majemuk bahan pemlastis, yang biasanya cukup aman dikonsumsi, misalnya gliserin. “Jadi ini merupakan upaya untuk menghasilkan beras dengan kandungan gizi yang lebih tinggi,” kata Asmo.

Adonan tersebut kemudian dibentuk menyerupai nasi. Beras seperti ini dijual dengan harga lebih tinggi. Pembelinya adalah kalangan menengah.

Dewi, penjual bubur di Bekasi, mengaku membeli beras yang kemudian dijadikan benda penelitian tentang “beras plastik” berharga Rp 8.000 per kilogram. Ini harga sesuai pasar saat ini, yakni Rp 8.000 – 9.000 per kilogram beras.

Padahal, menurut Asmo Wahyu, harga pelet plastik daur ulang saja Rp 15.000 per kilogram. Jauh lebih mahal dari harga beras.

Lantas, jika benar ada peredaran “beras plastik” dalam artian mengandung senyawa butiran plastik atau beras asli yang dicampur (dicampur) dengan beras yang mengandung butiran plastik, bagaimana bisa dijual dengan harga rata-rata di pasaran? Belum lagi kondisi Bekasi dan wilayah Jawa Barat pada umumnya merupakan lumbung padi yang tidak kekurangan beras asli.

Agenda politik untuk beras plastik?

Jadi, pertanyaan tentang motivasi masih kabur. Dari sudut pandang ekonomi, itu tidak masalah. Hal ini pula yang menjadi pertanyaan Bustanul Arifin, ahli agronomi Institut Pertanian Bogor (IPB) yang menjadi pembicara pada acara HIPPI bertajuk, “Beras Plastik, Beras Campur dan Diversifikasi Pangan.”

“Kalau beras plastik, saya kira ada agenda lain. Baik itu politik, intelijen, atau ketahanan pangan. Saya melihatnya di sana,” kata Bustanul yang juga guru besar Fakultas Pertanian Universitas Lampung itu.

Menurut dia, polisi harus mengusut tuntas masalah ini dan menghukum pelakunya. “Ini adalah kejahatan pangan. Kejahatan serius,” kata Bustanul.

Persoalan pangan yang mengandung bahan berbahaya bagi kesehatan masyarakat berulang kali muncul. Mulai dari gorengan yang menggunakan plastik untuk memberikan efek renyah, ikan aneh yang menggunakan bahan pengawet, makanan dengan pewarna tekstil, hingga bakso berbahan daging tikus, hal ini ramai diberitakan di media.

Yang belum selesai adalah penyidikan terhadap pelakunya, kata Bustanul.

Kali ini isunya adalah soal beras yang tidak hanya menjadi komoditas pokok namun juga menjadi komoditas politik.

Dugaan lainnya, beras mengandung bahan berbahaya yang disebut beras plastik, yaitu beras busuk yang dipoles dengan bahan kimia tertentu untuk mendapatkan keuntungan. Hal ini dimungkinkan karena dengan mencampurkan beras lapuk dengan bahan kimia tertentu dapat lebih menarik, sehingga dapat dijual kembali dengan harga yang wajar di pasaran.

“Beras lapuk hanya Rp 5.000 per kilogram. Bahkan beras untuk masyarakat miskin, Raskin, bisa dibeli dengan harga Rp 1.700 per kilogram. Saat dipoles (dipoles) dan agar lebih menarik bisa dijual dengan harga tinggi,” kata Bustanul.

Diversifikasi pangan

Ketua Umum HIPPI Suryani Motik menilai keresahan akibat isu “krisis plastik” disebabkan adanya ketimpangan antara penawaran dan permintaan beras dalam negeri.

Artinya, tingginya pertanyaan beras rakyat tidak seimbang memasok memadai. Sebab, kata dia, Indonesia kerap melakukan impor beras, terutama menjelang hari raya keagamaan.

“Akibatnya, banyak permasalahan pada sistem perberasan kita. Apalagi pola makan masyarakat Indonesia selalu mengutamakan nasi sebagai makanan utama, kata Suryani.

Hal ini memudahkan isu-isu terkait beras untuk mempengaruhi situasi perekonomian.

HIPPI yang memiliki 20.000 anggota dunia usaha di 30 provinsi juga meminta pemerintah memanfaatkan kejadian “krisis plastik” ini sebagai momentum serius untuk memperkenalkan produk pangan lainnya, sebagai langkah diversifikasi pangan di Indonesia. Tujuannya agar masyarakat Indonesia mempunyai banyak pilihan bahan makanan pokok, apalagi saat harga beras melonjak.

Bustanul mengungkapkan penelitian selera konsumen Indonesia dilakukan oleh Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Masyarakat Indonesia sudah terbiasa mengonsumsi nasi, dan bersedia menggunakan nasi sebagai pengganti karbohidrat jika dibuat dalam bentuk butiran mirip butiran beras.

Hal ini menjelaskan mengapa di China beras sintetik berbahan dasar umbi-umbian berkembang dan dikonsumsi oleh masyarakat kelas menengah yang sadar akan pentingnya nutrisi dalam konsumsi karbohidratnya.

“Kelas menengah juga lebih sadar akan kesehatan, termasuk masalah diabetes. Oleh karena itu pencarian bahan makanan yang mengandung karbohidrat kompleks terus dilakukan, kata Bustanul.

Kenali Bentuk ‘Beras Plastik’

Asmo mengimbau masyarakat untuk sekadar bisa mengenali perbedaan antara beras asli dan beras campur bahan plastik. Setidaknya, kata dia, ada 4 cara sederhana mengenali beras plastik.

Pertama, dari bentuknya, beras asli terlihat memiliki garis-garis sekam padi, sedangkan beras plastik tidak terlihat garis-garis pada bulirnya dan bentuknya agak lonjong.

Kedua, dari ujung bulir berasnya, beras asli mempunyai warna putih pada setiap sisinya, warna tersebut adalah kapur yang mengandung karbohidrat. Sedangkan nasi campur plastik tidak berwarna putih.

Ketiga, jika beras asli direndam dalam air maka akan berubah warna menjadi lebih putih, sedangkan beras plastik yang dihasilkan tidak akan saling menempel dan airnya tidak menjadi putih. Keempat, jika beras palsu ditaruh di atas kertas, maka nasi akan terlihat tidak alami, melengkung, tidak pecah-pecah.

“Kalau dipecah, akan pecah berkeping-keping. Sedangkan beras asli butirannya agak menggembung dan kalau dipecah baru terbelah dua, kata Asmo. — Rappler.com

Uni Lubis, mantan Pemimpin Redaksi ANTV, menulis blog tentang 100 hari pemerintahan Jokowi. Ikuti Twitter-nya@unilubis dan membaca blog pribadinya unilubis.com.


SGP hari Ini