Apa penyebab kebakaran hutan terbanyak di Indonesia?
- keren989
- 0
BOGOR, Indonesia — Fenomena cuaca El Nino yang menyebabkan hampir seluruh kepulauan Indonesia mengering, bukanlah penyebab kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan.
Berdasarkan laporan lembaga penelitian, faktor manusia menjadi penyebab kebakaran hutan di sejumlah provinsi. Lebih dari 90 persen kebakaran hutan disebabkan oleh manusia atau disengaja.
Meski cuaca panas dan kering memperparah titik api di sejumlah provinsi seperti Riau, Jambi, dan Pontianak serta menimbulkan kabut asap tebal, namun yang menyalakan api adalah manusia.
“Kebakaran hutan merupakan kejahatan terorganisir karena lebih dari sembilan puluh persennya disebabkan oleh manusia atau sengaja dibakar. “Tujuannya untuk membuka lahan perkebunan,” kata peneliti Center for International Forestry Research (CIFOR). Henry Purnomo di sela-sela Konferensi Jurnalis Sains Indonesia di Bogor, pekan lalu.
Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) ini mengatakan, pembakaran hutan merupakan cara termurah untuk mengubah lahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit, sekaligus menaikkan harga tanah.
Riset CIFOR mencatat terjadi kenaikan harga tanah sekitar Rp3 juta pasca pembakaran lahan.
Sebelum kebakaran, harga tanah berkisar Rp8 juta, dan setelah kebakaran Rp11 juta per hektar.
Setelah tanam sawit, harganya kembali naik dua kali lipat, sekitar Rp50 juta, dan bisa mencapai Rp100 juta per hektar jika ditanam sawit bibit unggul.
Oleh karena itu, kata Herry, selain masyarakat yang dirugikan akibat kabut asap, ada juga sekelompok masyarakat yang turut menikmati dampak kebakaran hutan. Mereka adalah orang-orang yang mengejar keuntungan ekonomi dari pembakaran, seperti kelompok tani, penggugat lahan, perantara penjualan lahan, dan investor kelapa sawit.
“Pihak yang paling mengetahui informasi mengenai kebakaran hutan adalah pemerintah kabupaten, kecamatan, pemerintah desa, dan LSM lokal. “Pemerintah kotalah yang menerbitkan sertifikat tanah untuk perkebunan kelapa sawit baru,” kata Herry.
Saat ini kelapa sawit telah menjadi “emas hijau” yang banyak dicari investor, mulai dari perusahaan raksasa hingga investor perorangan, karena merupakan investasi yang paling menguntungkan.
Oleh karena itu, menurut penelitian CIFOR, pembakaran hutan adalah salah satu cara untuk mendapatkan uang dengan mudah.
Solusinya, menurut CIFOR, adalah dengan memutus jaringan pihak-pihak yang mencari keuntungan ekonomi dari kebakaran hutan, mulai dari petani hingga investor, menata tata ruang dan pertanahan serta menegakkan supremasi hukum.
Selain itu, pemerintah harus mengalokasikan dana yang lebih besar untuk pencegahan kebakaran jangka panjang, bukan pemadaman kebakaran.
“Rekayasa hujan buatan merupakan proyek yang mahal namun tidak menyelesaikan masalah,” kata Herry.
Berdasarkan pantauan Rappler di Riau dan Jambi beberapa waktu lalu, industri kelapa sawit masih menjadi primadona perekonomian. Tak hanya perusahaan besar yang memiliki lahan perkebunan jutaan hektar, masyarakat kecil pun ikut bermain dalam bisnis ini, mulai dari puluhan hingga ratusan hektar.
Kerugian ekonomi dan ekologi
CIFOR menjelaskan penelitiannya di Riau tahun ini bahwa kebakaran hutan di provinsi ini melepaskan sekitar 1,5 hingga 2 miliar ton karbon dioksida. Riau menyumbang 10% emisi gas karbon nasional setiap tahunnya.
Kerugian ekonomi akibat perpeloncoan mencapai sekitar Rp20 triliun dalam dua bulan, sedangkan Singapura mengklaim kerugian sekitar Rp16 triliun.
Pada bulan September hingga Oktober, kerugian diperkirakan meningkat dua kali lipat karena saat ini merupakan puncak El Nino yang menyebabkan udara dan tanah semakin kering.
Kebakaran hutan yang terus berlanjut di Riau juga akan berdampak pada krisis lingkungan yang serius dan hilangnya sumber daya air bagi masyarakat karena wilayah tersebut tidak memiliki pegunungan dan pegunungan yang berfungsi menyimpan cadangan air tanah.
“Air tanah disimpan di hutan gambut. Jadi jika gambut terbakar dan mengering, maka hampir bisa dipastikan cadangan air tanah di Riau juga akan ikut mengering. “Itu bisa mengancam peradaban,” kata Herry.
Secara terpisah, Peneliti Ekologi Tumbuhan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Yuni Setio Rahayu, mengatakan kebakaran hutan berdampak serius terhadap berkurangnya keanekaragaman hayati di Indonesia yang jumlahnya terbesar di dunia melampaui Brasil.
Misalnya, keanekaragaman hayati hutan tropis memiliki lebih dari 260 spesies tumbuhan per hektar, tidak termasuk spesies hewan. Namun kebakaran hutan dan pembukaan lahan yang tidak terkendali setiap tahunnya mengancam kepunahan berbagai ekosistem.
Di Kalimantan Tengah misalnya, dampak kebakaran hutan terhadap penurunan populasi keanekaragaman hayati terlihat jelas. Belum ada penelitian komprehensif di Riau dan Jambi, namun dampaknya diperkirakan akan lebih besar karena luasnya kebakaran.
“Menurut penelitian LIPI di Kalimantan Tengah, populasi dari 125 jenis tumbuhan hutan yang telah teridentifikasi masih hanya 10 persen. Artinya sebagian besar penduduknya musnah, kata Yuni di Cibinong Science Center.
Selain kerusakan langsung akibat kebakaran, kebakaran hutan juga menyebabkan kepunahan spesies secara perlahan. Emisi gas karbon yang terus meningkat juga berkontribusi terhadap peningkatan suhu bumi dan pemanasan global.
“Pergeseran cuaca, perubahan suhu, dan curah hujan akan menyebabkan spesies beradaptasi kembali, dan yang tidak bisa beradaptasi akan punah,” kata Yuni. —Rappler.com
BACA JUGA: