• September 8, 2024

Bagaimana seharusnya media meliput berita tentang kecelakaan atau bencana alam

Saat KMP Tampomas II terbakar dan tenggelam di sekitar Kepulauan Masalembo di Laut Jawa pada 27 Januari 1981, Indonesia menjadi sorotan dunia. Bencana ini menyebabkan ratusan penumpang kapal meninggal dunia. Diperkirakan 431 orang tewas: 143 jenazah ditemukan, dan 288 orang hilang bersama kapal. Media banyak meliput kejadian ini, salah satu jurnalis yang bisa merangkum cerita dan data tragedi ini adalah Bondan Winarno, selain tentunya Dahlan Iskan.

Kedua jurnalis ini melakukan investigasi mendalam dengan membaca dan mewawancarai banyak korban. Bedanya, hanya berbekal data laporan, Bondan langsung mendatangi Sangihe dan mewawancarai korban. Keduanya melahirkan dua pemberitaan jurnalistik dengan kualitas terbaik yang pernah dimiliki Indonesia.

40 jam neraka di tengah laut hasil pemberitaan Dahlan Iskan, dan Tragedi Neraka Tampomas di Laut Jawa Kompilasi laporan pembacaan dan data lapangan karya Bondan Winarno meliputi 1.141 lembar kertas. Isinya laporan jurnalis dan koresponden, salinan dokumen, teleks, negatif foto, dan bahkan sejumlah surat kaleng. Informasi ini saya dapatkan dari Yus Ariyanto, seorang penulis yang juga mentor menulis saya.

Kedua laporan inilah yang kemudian membentuk kebijakan transportasi di Indonesia yang awalnya berantakan. Dari laporan Dahlan Iskan dan Bondan Winarno diketahui kapal tersebut kekurangan peralatan keselamatan, terlalu banyak penumpang gelap, dan awak kapal tidak terlatih dalam upaya evakuasi.

Namun bagaimana seharusnya jurnalis meliput tragedi? Kim Tong-hyung, masuk Waktu Korea menulis ada 7 hal yang harus dipatuhi jurnalis saat meliput tragedi.

1. Jangan biarkan pelaporan Anda mengganggu upaya penyelamatan

2. Tidak menulis/menyatakan apapun yang dapat menimbulkan rasa takut yang tidak perlu

3. Selalu memverifikasi dan mengevaluasi klaim yang ada untuk menghindari kesalahan informasi

4. Tidak memaksa korban/keluarga korban untuk melakukan wawancara

5. Bagi jurnalis televisi, kurangi pengambilan gambar dalam jarak dekat

6. Jangan menggunakan gambar atau video yang mengandung gambar kasar atau provokatif

7. Menahan diri untuk tidak mengungkapkan data pribadi korban dan penyintas serta keluarganya

Korea Selatan merupakan salah satu negara yang memiliki kebijakan ketat terhadap pemberitaan tragedi. Hal ini disebabkan adanya protes masyarakat terhadap pemberitaan media yang dinilai berlebihan dalam mengeksploitasi pemberitaan tragedi tersebut. Terlebih lagi, saat tragedi tenggelamnya kapal feri Jindo, media Korea banyak melakukan blunder serius, salah satunya mengatakan bahwa semua korban selamat, padahal yang terjadi justru sebaliknya.

Koper AirAsia QZ 8501

Maka wajar jika ketika pesawat AirAsia QZ 8501 diberitakan hilang, media kita seperti biasa gegabah dalam memberitakan. Puncaknya adalah ketika seorang reporter televisi mewawancarai anggota keluarga penumpang AirAsia QZ 8501. Secara etis, ini adalah perilaku yang tabu. Secara tertulis, organisasi seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Persatuan Jurnalis Indonesia (PWI) memiliki aturan yang jelas mengenai hal ini.

Misalnya, Kode Etik AJI hanya menyatakan bahwa jurnalis harus menggunakan cara yang etis dan profesional untuk memperoleh berita, gambar, dan dokumen ketika melakukan pemberitaan. PWI pun menuliskan hal yang sama dengan penjelasan khusus “menghargai pengalaman traumatis narasumber dalam menyajikan gambar, foto, dan suara.” Namun bila dilanggar, tidak pernah ada sanksi dari Dewan Pers.

Ketika seorang reporter diturunkan ke lapangan, dalam hal ini meliput bencana atau kecelakaan transportasi, maka yang perlu dilakukan adalah melakukan penelitian dengan cepat dan efisien. Ini akan membantu untuk mengajukan pertanyaan untuk ditanyakan kepada otoritas lokal. Dengan pengetahuan pengantar, seorang reporter akan mampu menciptakan fokus yang jelas terhadap hal-hal penting yang akan diberitakan kepada publik. Oleh karena itu, pelapor juga akan menghindari kewajiban klise untuk menanyakan ‘perasaan keluarga korban’.

Tentu saja masyarakat berhak marah ketika AirAsia QZ 8501 menghilang, lagi-lagi mereka harus melihat jurnalis tidak bisa bekerja. Alih-alih mencari berita substantif dan penting, mereka malah sibuk mewawancarai keluarga penumpang seolah-olah berita duka. Padahal, jika mereka loyal kepada kalangan informasi dalam pemberitaan, maka keluarga korban bukanlah prioritas. Otoritas penerbangan, maskapai penerbangan, dan pemerintah dalam hal ini Dirjen Perhubungan menjadi sumber utamanya.

Apabila pesawat tersebut kemudian dinyatakan hilang dan dilakukan pencarian, maka Basarnas menjadi sumber utama dengan syarat wartawan tidak mengganggu proses pencarian atau evakuasi. Namun, tanpa pemahaman yang memadai atau pengetahuan sederhana tentang etika jurnalistik, sulit bagi reporter pemula untuk bekerja dengan baik. Seringkali seorang reporter terjebak dalam situasi dimana mereka tidak bisa lagi menemukan berita apa pun selain bertanya kepada keluarga korban.

Kita tidak bisa selalu menyalahkan pelapor ketika dia sibuk menanyakan perasaan keluarga korban. Mungkin dia tidak pernah diajari bagaimana menjadi jurnalis yang baik oleh editornya. Kita juga tidak bisa menyalahkan editornya yang tidak bisa bekerja dengan baik karena mungkin dia terdesak untuk mencari berita yang bisa mendongkrak rating. Semakin tinggi rating maka semakin banyak iklan yang masuk, semakin banyak iklan maka semakin banyak pula kepuasan. Hubungan yang kejam antara pemeringkatan dan konstruksi berita yang teratur memang kejam.

Farid Gaban, seorang jurnalis senior, mengatakan hal ini terjadi karena rezim media memperlakukan reporternya seperti robot. Hampir sangat sedikit media yang memperlakukan reporternya sebagai manusia. Gaji rendah, keterampilan kurang memadai dan kemampuan jurnalistik hampir minim. Pada titik tertentu, jurnalisme harus diperlakukan sebagai profesi profesional yang hanya bisa dilakukan oleh seorang ahli.

Ada seorang jurnalis yang mengaku diminta editornya untuk membuat narasumbernya menangis dramatis. Ini sangat kejam. Padahal, jika ingin berpikir lebih cerdas, beberapa editor dan reporter lapangan bisa menggarap isi berita. Seperti memverifikasi fakta nyata seputar tragedi tersebut. Jika merupakan kecelakaan transportasi, pelacakan dapat dilakukan mengenai kondisi cuaca, jenis dan umur kendaraan serta medan yang dilalui kendaraan.

Namun jika hal ini dilakukan, maka seorang reporter dan jurnalis bisa bertindak secara cerdas, seperti melakukan penelitian dengan membaca kembali catatan kecelakaan/bencana beberapa tahun terakhir. Ia akan memberikan kerangka waktu, catatan dan juga tekanan kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab untuk bekerja lebih maksimal. Posisi seorang jurnalis ketika terjadi tragedi, selain memberitakan berita, juga harus menjadi pengingat agar tragedi serupa tidak terulang kembali.

Tapi apa gunanya peringatan dan apa gunanya akal sehat di republik ini? Negara yang memperbolehkan pernikahan dan kelahiran artis biasa-biasa saja disiarkan langsung menggunakan frekuensi publik. Dewan Pers mengetahui seringkali wartawan televisi kita bekerja dengan standar kompetensi yang sangat rendah, alih-alih mengejar pihak yang bertanggung jawab memberikan fakta, mereka malah sibuk bertanya “Bagaimana perasaan keluarga atas kejadian ini” .

Mudah-mudahan di masa depan, ketika keluarga mereka hilang atau terjadi bencana, para reporter atau editor tidak perlu menanyakan perasaan mereka. —Rappler.com

Arman Dhani adalah seorang penulis lepas. Penulisannya bergaya satir penuh sarkasme. Saat ini ia aktif menulis di blognya www.kandhani.net. Ikuti Twitter-nya, @Arman_Dhani.

Togel Sydney