• September 8, 2024

Bahagianya keluarga korban tsunami Aceh bertemu dengan dua anaknya yang hilang

PARINGGONAN, Indonesia – Gadis berusia 14 tahun tersenyum saat berjalan melewati pintu rumah semi permanennya di desa yang dikelilingi pepohonan rimbun. Sebelum masuk, dia menyapa seisi rumah. Di pintu dia duduk sejenak dan melepas sepatunya.

Sore itu, suatu hari di bulan Desember lalu, Raudhatul Jannah baru saja pulang sekolah, yang berjarak sekitar 2 kilometer dari rumah barunya di Desa Paringgonan, Kabupaten Padang Lawas, provinsi Sumatera Utara. Setelah mencium tangan orang tuanya, ia masuk ke kamarnya untuk berganti pakaian sekolah: kemeja putih dipadukan dengan rok merah dan jilbab putih.

Raudha, begitu gadis kecil itu disapa, kemudian duduk bersama ayah dan ibunya – Septi Rangkuti (52) dan Jamaliah (42) – serta adiknya, Jumadil Rangkuti (7), di ruang keluarga rumah berukuran 6 x 6 meter itu. . Hanya ada dua ruangan di rumah kelapa yang dibangun Septi dua tahun lalu. Kemudian Raudha bercerita tentang pengalamannya di sekolah, mata pelajaran yang sulit, gurunya yang baik, dan teman-teman barunya.

Sekitar 15 menit kemudian, seorang pemuda berusia 17 tahun dengan kemeja putih dan celana merah dengan ransel baru di bahunya bertemu di depan pintu. Tanpa salam, ia langsung masuk dan duduk di antara keluarga yang tertawa terbahak-bahak mendengar lelucon Jumadil.

Pemuda yang pasti sudah duduk di bangku SMA itu adalah Arif Pratama Rangkuti. Dengan aksen yang sedikit gagap, dia bercerita tentang sejumlah anak di sekolahnya yang berkelahi. “Saya memisahkan mereka. “Saya bilang kepada mereka bahwa berkelahi adalah dosa,” katanya.

Septi dan Jamaliah hanya tersenyum mendengar cerita Arif. Lalu Jamaliah menyuruh Arif memakai baju sekolahnya. Arif berusaha mencari alasan, namun tatapan mata Septi yang masih tersenyum langsung mempersilakan dirinya masuk ke dalam kamar. Sesaat kemudian, Arif keluar dan kembali berkumpul dengan orang tua dan kedua adiknya.

Mereka semua duduk di atas tikar yang dibentangkan di lantai semen, tanpa keramik. Tidak ada kursi tamu di ruang keluarga. Sebuah televisi berukuran 20 inci terletak di dekat dinding. Di sebelahnya ada lemari es sepanjang satu meter. Keluarga itu santai membicarakan sekolah Raudha dan Arif.

Tiba-tiba putra sulung mereka, Zahry Rangkuti (18), pulang. Dia bergabung dan duduk di lantai.

Jamaliah bangkit dari duduknya, berjalan ke dapur, meletakkan kakinya di lantai. Tanpa diminta, Raudha pun berangkat bersama ibunya. Ibu dan anak perempuannya sedang sibuk di dapur. Usai memasak, Jamaliah dan Raudha membawa nasi dan telur goreng ke ruang keluarga. Mereka sedang makan siang. Menunya adalah telur mata sapi dan sayuran berwarna cerah. Sesekali mereka tertawa mendengar percakapan Arif dan Jumadil.

Keluarga Septi menjadi korban tsunami yang melanda Aceh, 26 Desember 2004. Saat air laut Samudera Hindia menerjang pesisir pantai Aceh, keluarga ini tinggal di Desa Panggong, Kecamatan Johan Pahlawan, Kabupaten Aceh Barat. Meski berprofesi sebagai teknisi instalasi listrik, Septi hidup bahagia bersama istri dan ketiga anaknya hasil pernikahan mereka sejak tahun 1994.

Saat tsunami melanda Meulaboh, ibu kota Aceh Barat, keluarga Septi terpisah. Arif dan Raudha lolos dari tangan Septi setelah menempatkan keduanya di papan apung. Setelah mencari selama dua bulan, pasangan suami istri bersama putra sulungnya, Zahry, memutuskan untuk kembali ke desa tempat Septi dilahirkan. Pada tahun 2007, Jamaliah melahirkan Jumadil.

Seperti diberitakan pada Agustus lalu, mereka menemukan kedua anaknya. Raudha awalnya mereka temukan pada akhir Juni lalu di Desa Pulo Kayu, Kecamatan Susoh, Kabupaten Aceh Barat Daya. Setelah reunifikasi keluarga dan putrinya diberitakan di media massa, mereka menemukan Arif hidup sebagai anak jalanan di Payakumbuh, Provinsi Sumatera Barat, pada pertengahan Agustus lalu.

‘Bukan anak korban tsunami’

Namun Mustamir, nelayan yang membawa Raudha dari Desa Ujung Sialit di Pulau Banyak, Kabupaten Aceh Singkil, ke Pulo Kayu pada awal tahun 2006, mengklaim bahwa gadis kecil itu “bukanlah korban tsunami”.

Menurutnya, nama anak tersebut adalah Weniati. Kedua orang tuanya meninggal sebelum tsunami. Weni mempunyai dua orang adik; anak laki-laki dan anak perempuan Adik-adik Weni, kata Mustamir, kini tinggal bersama pamannya di Pulau Nias. Sedangkan adik perempuannya masih tinggal di Ujung Sialit bersama neneknya.

Alasan Mustamir membawa Weniati ke Pulo Kayu karena merasa kasihan dengan ketiga anaknya yang diasuh oleh neneknya. Selain itu, dia tidak memiliki anak perempuan. “Saya dan ibu kandung ketiga anak itu masih berhubungan. “Bu Weni dan ibu saya bersaudara,” ujarnya saat diwawancara Rappler Indonesia melalui telepon.

Saat ditanya kenapa hingga saat ini belum ada upaya dari pihak keluarga untuk datang menemui keluarga Septi dan mengambil kembali Weni, Mustamir membantah. “Kami adalah orang-orang miskin. Kami tidak punya uang untuk transportasi. “Kami juga tidak punya uang untuk melaporkannya ke polisi,” ujarnya.

“Dulu ibu mertua saya hanya mengizinkan Weni dibawa keluarga selama seminggu untuk keperluan tes DNA karena mereka bilang Weni adalah putrinya. Namun mereka tidak pernah melakukan tes DNA dan Weni tidak pernah dikembalikan ke ibu mertua saya.”

Klaim Mustamir berbeda dengan mertuanya, Sarwani, yang mengasuh Weniati selama beberapa tahun sebelum keluarga Septi mengambil anak tersebut. Menurut perempuan 69 tahun itu, Weniati merupakan anak korban tsunami yang diasuh menantunya karena putrinya, Sariwati, tak punya anak perempuan.

“Saya memberi nama Weniati karena saat saya tanya siapa namanya, anak itu diam dan tidak menjawab. “Saya beri nama Weniati saat saya menyekolahkannya,” jelas Sarwani yang mengaku senang anak tersebut akhirnya bisa berkumpul kembali dengan orang tuanya.

Darman, adik Mustamir, menceritakan informasi berbeda soal orang tua Weniati. Menurut dia, ibu kandung Weniati masih hidup dan menikah lagi setelah suaminya meninggal. “Sekarang Ny. Weni bersama suaminya di Pulau Nias. “Mungkin suaminya melarang dia datang dan mengambil anaknya,” kata Darman.

Namun klaim Mustamir dan Darman dibantah keras oleh Rusmadi, mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) wilayah Susoh yang tak lain adalah sepupu Sariwati. Rusmadi yang terlibat aktif dalam proses penyerahan Weni kepada keluarga Septi mengaku Darman menemuinya pada Mei 2013 untuk mengucapkan terima kasih karena telah menyelamatkannya saat ditangkap pasukan GAM pada tahun 2000.

“Saat itu dia menanyakan kabar anak tsunami yang dibawa kakaknya ke Pulo Kayu. Darman juga mengatakan bahwa Weni dan kakaknya lah yang menyelamatkan mereka di laut saat terjadi tsunami dan kemudian membawa mereka ke Pulau Banyak, jelas Rusmadi.

Saat dikonfirmasi pernyataan Rusmadi kepada Darman, nelayan yang kini tinggal di Pulau Nias itu membantahnya. Ia mengaku belum pernah ditangkap pasukan GAM dan pernah datang menemui Rusmadi pada tahun 2013. “Saya sudah tinggal di Nias sejak tiga tahun lalu,” ujarnya.

Siap untuk tes DNA

Meski Mustamir mengaku Raudha bukanlah anak korban tsunami, Septi dan Jamaliah tetap menyayangi gadis kecil itu sepenuh hati. Mereka yakin sekali, anak yang kini selalu ceria adalah putri mereka yang terpisah saat tsunami meluluhlantahkan Meulaboh 10 tahun lalu.

Sebelum memutuskan pulang ke tanah air Septi, mereka terlebih dahulu melaporkannya ke Mapolres Aceh Barat (Mapolres) di Meulaboh pada pertengahan November lalu. Dengan begitu, jika ada masalah di kemudian hari, mereka siap datang ke Meulaboh.

“Saat pertama kali kami menemukan Raudha, kami juga melaporkannya ke polisi. Buktinya surat dari Polres Aceh Barat. Begitu pula saat kami membawa Arif dari Payakumbuh, kami juga melaporkannya ke polisi setempat, kata Jamaliah sambil menunjukkan dua surat dari polisi.

Septi menambahkan, alasan mereka tidak melakukan tes DNA saat membawa Raudha dari Sarwani karena tidak punya uang. Apalagi, polisi menyebut tes DNA hanya bisa dilakukan jika ada pengaduan dari keluarga lain. Namun hingga mereka kembali ke Paringgonan, tidak ada satu pun keluarga di Aceh yang mempertanyakannya.

“Bahkan saat ini kami siap tes DNA jika pengaduannya seperti yang disampaikan polisi. “Kalau tidak ada keluhan kenapa perlu tes DNA karena kami berdua sangat yakin Raudha adalah anak kami yang hilang saat tsunami,” kata Septi.

Ia juga menyebutkan, dalam proses perundingan yang melibatkan tokoh Desa Pulo Kayu dan perangkat Desa Panggong, semua pihak mengharapkan Mustamir datang ke Pulo Kayu untuk menyelesaikan permasalahan yang sebenarnya.

“Tapi dia tidak datang. Alasannya adalah tidak ada uang. Kemudian salah satu anggota keluarga kami mengirimkan uang untuk biaya transportasi. Namun hanya istrinya yang datang. Saat ditanya tokoh desa, Sari belum bisa menjawab secara jelas latar belakang Raudha, ujarnya.

Septi menduga Mustamir tidak berani datang karena menemukan Arif yang diyakini sedang disiksa. Ada bekas luka di kepala dan kakinya. Menurut Arif, luka di kepala tersebut disebabkan oleh “air panas yang disiram ibu saya”. Namun belum jelas siapa pelakunya. Saat dikonfirmasi, Mustamir mengaku tidak pernah mengenal Arif.

Septi dan Jamaliah tak terlalu peduli dengan pernyataan Mustamir. Yang mereka pikirkan kini adalah memberikan kasih sayang kepada keempat anaknya, terutama Raudha dan Arif yang membutuhkan perhatian lebih. Apalagi, Arif ditempatkan di kelas 3 Sekolah Dasar (SD) padahal seharusnya ia duduk di bangku SMA. Sedangkan Raudha kini duduk di bangku kelas 5 SD.

Usai makan siang, Arif bergegas keluar rumah. Bersama beberapa teman barunya di kampung halaman ayahnya, ia ingin mencari durian yang tumbang di kebun sekitar kota. “Itu Arif. Saya tidak pernah merasa betah di rumah. “Beliau juga punya banyak teman ketika kami tinggal di Meulaboh sebelum tsunami,” jelas Jamaliah.

Sore harinya, Septi berangkat bersama Jamaliah dan ketiga anaknya menuju air terjun dari pegunungan di ujung desa. Sesampainya di air terjun, ternyata Arif sudah mandi terlebih dahulu. Tanpa menunggu lama, Zahry, Raudha dan Jumadil segera menuju kolam untuk mandi bersama Arif. Septi dan Jamaliah hanya memperhatikan keempat anaknya dan tersenyum bahagia. – Rappler.com

Data SDY