• October 7, 2024

Bali terjual

Tidak ada surga di bumi yang tidak bisa dijual untuk pariwisata. Namun setiap surga bisa dijaga dan dipelihara jika kita mau dan peduli. Di sini kehendak dan kepedulian semua penguasa menjadi penekanan, bahwa surga bisa hancur atau tetap tergantung pada keputusan kita. Bali, salah satu pulau indah yang disebut surga, kini berada di ambang kehancuran. Keserakahan dan ketidakpedulian terhadap ekosistem lingkungan menjadi salah satu penyebabnya.

Mungkin keinginan untuk terus menjaga lingkungan bisa menjadi usaha yang berat. Bagaimana mungkin alam semesta ini, tempat manusia hidup di dalamnya, dibiarkan begitu saja? Bagaimana tidak bisa digunakan dan hasilnya dinikmati? Jika pertanyaannya adalah mengapa kita harus melindungi alam, maka kita salah menafsirkan alam. Alam semesta yang berupa surga ini merupakan warisan generasi penerus kita, bukan sepenuhnya milik kita. Oleh karena itu, menjaganya adalah suatu keharusan.

Sebagian dari kita menyebut orang yang terlalu protektif adalah orang yang terlalu peduli. Pura-pura protektif, padahal bisa saja ada orang yang iri karena tak mendapat bagian. Dalam kajian pembangunan lingkungan hidup terdapat istilah ekofasisme, yaitu masyarakat yang berpendapat kuat bahwa alam harus dibiarkan tetap perawan tanpa dieksploitasi sedikit pun. Istilah ini dipopulerkan oleh Ton Dietz dalam bukunya Mengklaim Sumber Daya Alam: Kontur Geografi Lingkungan Politik.

Tapi apakah Dietz salah? Tentu saja tidak. Dalam buku tersebut, Dietz juga memperkenalkan konsep eco-development dan eco-populism. Eco-Developmentalism adalah kelompok yang meyakini bahwa lingkungan harus dilestarikan demi kepentingan pragmatis industri. Sedangkan Eco-Populism berpendapat bahwa lingkungan hidup harus dilindungi dan dilestarikan secara terbatas dan efisien untuk kepentingan masyarakat. Artinya eko-populisme mendukung eksploitasi terbatas dalam pemanfaatan lingkungan, seperti hutan atau kawasan wisata, demi kepentingan masyarakat (yang sering kali merupakan masyarakat adat) sehingga mereka berdaya.

Pola pikir ini berkembang sebagai perkembangan dari paradigma konservasi benteng yang muncul pada tahun 60-70an. Kemudian pada akhir tahun 70an-90an berkembang menjadi paradigma konservasi berbasis masyarakat sebagai respons terhadap perusakan hutan dan lingkungan hidup masyarakat adat secara besar-besaran dan menghancurkan di Afrika. Hal ini merupakan reaksi terhadap kapitalisme global yang memangsa tanah dan identitas masyarakat Afrika. Mereka terpaksa menjadi penghuni liar dan orang asing di negaranya sendiri.

Bali mengalami ancaman reklamasi Teluk Benoa. Proyek ambisius ini berencana membuat pulau buatan di sekitar Tanjung Benoa. Proyek ini diklaim dapat meningkatkan harkat dan martabat masyarakat Bali karena menambah pesona pariwisata di pulau tersebut. Mereka beranggapan masyarakat Bali hanya bisa hidup dari pendapatan sektor pariwisata saja dan tidak ada yang lain. Tapi kami tahu mereka salah.

Sebelum pariwisata ada di Bali, masyarakat Bali masih bisa hidup berdampingan dengan alam. Harmonisasi antara manusia dan lingkungan merupakan bagian dari kebiasaan. Jauh sebelumnya, kehidupan masyarakat Bali sebelum pariwisatanya terkenal digambarkan dalam novel terkenal Vicky Baum berjudul Sebuah cerita dari Bali atau karya AA Pandji Tisna I Swasta, Setahun ke depan Dan Sukreni gadis Bali. Dari karya-karya tersebut terlihat bahwa masyarakat Bali telah dan bisa hidup tanpa pariwisata.

Apakah pariwisata satu-satunya jalan menuju kemakmuran? Tidak, dalam Lingkungan manusia: jalan belum dilalui, jalan masih memberi isyarat ada ide menarik yang disampaikan oleh Robert W. Kates. Dalam industri pariwisata terdapat pilihan sinergi dari lingkungan, masyarakat adat dan perlindungan identitas budaya. Bahwa setiap jalan yang kita pilih, baik eko-fasisme, eko-pembangunan, atau eko-populisme, akan membawa kita pada konsekuensinya masing-masing. Yakni terus berlanjutnya dominasi lingkungan terhadap manusia, manusia terhadap lingkungan hidup atau sinergi keduanya.

Salah satu kengerian kerusakan lingkungan yang mengatasnamakan pariwisata di Indonesia ditulis Putu Setia dalam sebuah buku Sue Bali pada tahun 1986. Salah satu yang terbaru adalah Pandora Bali, cerminan dibalik gemerlap pariwisata ditulis oleh Nyoman Sukma Arida. Kedua buku tersebut memiliki sedikit narasi yang sebagian besar dari kita enggan mengakuinya. Bali telah mengalami eksploitasi berlebihan atas nama industri pariwisata dan hiburan. Sudah saatnya ada gerakan baru untuk menyelamatkan Bali.

Pergerakan Mengubah globalisasi yang bercirikan pemberdayaan masyarakat, pembangunan ekonomi mikro, penguatan identitas komunal dan pemeliharaan kearifan lokal merupakan upaya melawan rezim kapitalis global. Perlu dilakukan upaya untuk memperkenalkan dan membentuk wacana pariwisata berbasis keberlanjutan yang sinergis antara alam, manusia, dan modal. Hal ini penting untuk menjaga keberlangsungan kehidupan manusia dan lingkungan di kawasan wisata.

Sayangnya di Indonesia ide ini belum begitu berkembang dan cenderung ditinggalkan. Anggapan bahwa pariwisata bukan sekedar destinasi masih asing. Akibatnya, banyak lingkungan indah yang rusak akibat eksploitasi pengembang. Teluk Benoa, Cagar Alam Pulau Sempu, Kepulauan Raja Ampat, dan Karimun Jawa menjadi sederet tempat yang mulai rusak akibat kegagalan masyarakat dalam bekerjasama dengan alam.

Bangkitnya gerakan Bali menolak reklamasi Teluk Benoa merupakan upaya melawan kerusakan ekologi dan bencana kemanusiaan. Terbitnya Surat Keputusan 2138/02-C/HK/2012 tentang Pemberian Izin dan Hak Pakai Bagi Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa Provinsi Bali tertanggal 26 Desember 2012 menjadi awal mula terjadinya bencana. Dengan adanya reklamasi, perairan di Tanjung Benoa akan rusak dan mengalami perubahan signifikan.

Masyarakat pesisir adalah pihak pertama yang merasakan dampak bencana ekologis akibat ulah manusia ini. Masyarakat yang tinggal di sepanjang perairan Gianyar hingga Kuta akan merasakan langsung dampak reklamasi ini. Dalam surat keputusan tersebut terdapat janji bahwa pulau yang baru direklamasi tersebut akan menjadi semacam perlindungan bagi Bali jika terjadi tsunami. Pulau buatan ini hanya akan melahirkan aktivitas wisata baru yang tidak penting.

Jalan tengah yang ada tampaknya tertutup oleh kepentingan modal. Produsen memfasilitasi kepentingan konsumen yang tidak ingin mengetahui status destinasi wisatanya. Maka kiamat akan segera terjadi jika kepedulian kita masih hanya pada tataran pergerakan di media sosial. Penolakan terhadap reklamasi Teluk Benoa merupakan sebuah gerakan masif yang kemudian disalahpahami keberadaannya. Mereka dituding sebagai kelompok anti kemajuan, kelompok anti kesejahteraan karena dinilai mengganggu proses perekonomian pariwisata di Bali.

Hal ini sebenarnya agak menggelikan karena yang berteriak menyangkal dan mengkritik keras upaya rekan-rekan aktivis anti daur ulang bukanlah orang Bali dan tidak berdomisili di Bali. Ini bukan masalah geografis. Saya percaya bahwa kepedulian dan empati tidak mengenal identitas etnis atau negara kelahiran. Namun untuk menolak, menerima, mengkritik atau sekadar mengkritik suatu hal, diperlukan pemahaman yang mendalam, menyeluruh dan jelas mengenai akar permasalahan yang terjadi di wilayah konflik.

Saya sudah lama tertarik membahas dampak travel write terhadap suatu destinasi wisata. Selama tiga tahun terakhir, saya sering mengkritik dan mengkritik penulis perjalanan yang saya anggap tidak bertanggung jawab atas apa yang mereka tulis. Kekhawatiran terhadap dampak sebuah artikel yang mengundang masyarakat untuk datang ke suatu destinasi wisata hendaknya diselaraskan dengan analisa pribadi mengenai akibat yang mungkin timbul jika kawasan wisata tersebut terekspos.

Beberapa jurnalis keliling menganggap kritik saya hanya kebetulan dan tidak penting.

Selama tiga tahun saya sering mengkritik penulis perjalanan yang tidak bertanggung jawab atas apa yang mereka tulis.
– Armaan Dhani

Apa yang terjadi di Teluk Benoa dan bagaimana masyarakat Bali akan terkena dampaknya adalah satu hal yang sangat saya takuti. Bahwa seseorang atas nama modal, pariwisata, dan kemajuan bisa dengan bodohnya mengabaikan keberadaan orang lain. Berdasarkan kajian dan penelitian terhadap peraturan pemerintah yang ada, Reklamasi Teluk Benoa berpotensi merusak ekosistem laut, merugikan lingkungan manusia dan hilangnya mata pencaharian nelayan setempat.

Tentunya masyarakat di luar Bali perlu memahami hal ini. Bali merupakan tempat liburan bagi banyak orang, tempat mereka menghabiskan waktu untuk bersenang-senang. Namun bagi penduduk setempat, Bali adalah rumahnya. Tempat tinggal dimana mereka akan tinggal, hidup dan dikenal hingga meninggal dunia. Wisatawan akan datang dan pergi, namun masyarakat Bali di Teluk Benoa akan menjadi tua di daratan itu. Bisakah kita membiarkan mereka menderita atas nama pariwisata dan kemajuan?

Mereka yang mengkritik bisnis Demonstrasi Bali di Garuda Wisnu Kencana, mungkin belum pernah mengalami kengerian kehilangan rumah atau desa dengan tradisi yang dijunjung seumur hidup. Mereka yang mencemooh dan berargumentasi untuk memajukan Bali dengan menyebut aksi protes di GWK tempo hari sebagai hal yang alot adalah kebodohan belaka. Mereka adalah warga negara Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diberi hak oleh hukum untuk menyatakan pendapatnya di muka umum.

Peduli bukan tentang identitas, tapi tentang empati. Anda tidak harus menjadi orang Bali, lebih tepatnya warga sekitar Tanjung Benoa yang akan dilakukan daur ulang. Peduli adalah soal mengetahui apa yang benar dan salah. Moralitas seperti ini mungkin basi dan tidak penting. Namun moral seperti ini bisa menyelamatkan masyarakat Tanjung Benoa dari penderitaan, menyelamatkan ekosistem dari kepunahan, dan menyelamatkan masyarakat Bali dari bencana ekologi.

Mungkin aku lelah dikutuk. Mungkin ini saatnya melihat bagaimana surga dihancurkan dan kita bisa saling menyalahkan.

Arman Dhani adalah seorang penulis lepas. Ikuti Twitter-nya @Arman_Dhani.

Artikel ini sebelumnya diterbitkan oleh Tengah jurnal.com


unitogel