Barakan, Pertemuan Idul Fitri Marathon dari Pulau Bengkalis
- keren989
- 0
Barakan, sebuah toleransi sejati di Bengkalis, salah satu pulau terluar Indonesia yang berbatasan dengan Malaysia.
BENGKALIS, Indonesia — Warga menyebutnya Barakan. Dalam bahasa daerah artinya kelompok. Bayangkan saja, ratusan warga di satu dusun datang berkelompok ke rumah warga masing-masing untuk merayakan Idul Fitri. Tidak ada ruang kosong di rumah saat gelombang persahabatan ini datang. Banyak yang mengantri di luar, menunggu giliran.
Karena semua rumah harus dikunjungi, otomatis warga menginap fulltime dari pagi hingga malam selama 3-4 hari lebaran. Idul Fitri benar-benar menjadi media untuk saling menyapa dan berbagi santapan sepanjang hari.
Warga Pulau Bengkalis, Riau, masih melestarikan tradisi lebaran yang penuh kekeluargaan. Pesannya jelas, berbagilah makanan yang kita miliki kepada siapa pun tanpa memandang status sosial dan mengenal tetangga kita di desa yang sama.
Misalnya saja warga Wonosari. Selepas salat Idul Fitri, warga sudah saling imbau untuk berkumpul. Biasanya satu rombongan terdiri dari puluhan warga dalam satu gang. Ketua RT mengumumkan nomor urut warga yang rumahnya akan dikunjungi. Sekitar 400 kepala keluarga menerima nomor urut selama 3 hari Barakan di pemukiman pusat kota Pulau Bengkalis.
Kelompok dari setiap kompleks atau gang bertemu di jalan dan kemudian menuju ke rumah dengan nomor urut pertama. Di hari pertama Idul Fitri kemarin, pembawa acara pertama adalah Mbah Makmur. Wanita lanjut usia ini duduk di dalam rumah sementara menantu dan anak-anaknya bergantian menjamu tamu.
Mulailah dengan sekelompok pria. Ada yang berinisiatif memimpin salat Al-Fatihah, disusul yang lain sekitar 2 menit. Berbagai hidangan disajikan. Bagilah menjadi beberapa kelompok agar semua orang dapat mencicipi menu yang sama. Mbah Makmur dan keluarga menyajikan rendang dan ketupat sebagai menu utama.
Lainnya antara lain aneka kue kering, buah-buahan, sirup, dan minuman kaleng dengan berbagai rasa yang didatangkan dari Malaysia. Hampir semua rumah menyediakan minuman kaleng ini. Pulau Bengkalis letaknya sangat dekat dengan Malaysia, sehingga sejumlah produk konsumennya berasal dari negara tetangga.
Di rumah Mbah Makmur yang berbentuk panggung dari papan kayu, mampu menampung sekitar 40 orang. Sebagai bentuk toleransi, jika banyak warga lain yang antri karena tidak bisa masuk ke dalam rumah, maka waktu makan dan mencicipi kuenya dipercepat. Dalam waktu maksimal 5 menit, kelompok pertama selesai dan langsung mencari Mbah Makmur untuk berjabat tangan dan meminta maaf.
Hanya sekelompok pria di rumah pertama yang memanjatkan doa pembukaan dan rasa syukur. Kemudian disusul oleh sekelompok pria lainnya yang berdiri mengantri. Setelah kelompok putra selesai, kelompok putri melanjutkan.
Begitu seterusnya di rumah-rumah lainnya. Di tengah hari, warga beristirahat dan pulang untuk berdoa dan bersantai. Kemudian Barakan melanjutkan ke rumah-rumah lainnya. Jika ada 400 rumah yang dikunjungi, berarti lebih dari 100 rumah yang dikunjungi setiap harinya. Tak heran jika berlangsung secara maraton dari pagi hingga malam.
“Barakan ini sangat bermanfaat bagi kami untuk lebih mengenal tetangga dan warga satu dusun. “Saat pertama kali kami tinggal di sini, kami tidak mengenal siapa pun,” kata Nur Aini, warga pendatang asal Jawa Timur yang sudah lebih dari 10 tahun tinggal di Pulau Bengkalis.
Kini ia merasa memiliki desa kedua karena setiap tahun ia selalu bertemu, mengunjungi seluruh rumah warga dan berbagi makanan. Nur beberapa kali memeluk temannya yang sudah lama tidak dilihatnya.
Salah satu hal yang sering menjadi perbincangan saat rombongan berjalan bersama menuju setiap rumah adalah tentang makanan. Mereka sudah mengetahui ciri-ciri masakan atau jajanan tuan rumah. “Nanti kita makan pecel, oh semoga tahun ini ada,” teriak beberapa ibu-ibu memanggil nama pembawa acara.
Sosis, sop kotak, pecel, siomay, kelengkeng (masyarakat setempat menyebut buah mata kucing ini) adalah menu-menu yang banyak dibicarakan untuk dicicipi. Terkadang ada kejutan kuliner baru. Misalnya saja saat warga mendapat roti jala di sebuah rumah.
“Ada apa, bagaimana cara memakannya,” mereka berbincang dalam bahasa Jawa. Meski tidak semuanya beretnis Jawa, namun hampir semua penduduknya bisa berbahasa Jawa, termasuk banyak etnis Melayu dan Tionghoa di Pulau Bengkalis.
Tuan rumah menyajikan roti jala yang terbuat dari tepung terigu. Teksturnya lembut setelah melalui proses pembuatan yang agak rumit. Rotinya berbentuk jaring-jaring dan dilipat membentuk lemper ini lalu ditaburi kuah opor. Harum dan lezat.
Warga menikmatinya dengan antusias dan terburu-buru. Puluhan warga lainnya yang tidak bisa masuk ke rumahnya sudah mengantri.
Di dusun lain terkadang terdapat perbedaan. Misalnya ada yang melaksanakan tradisi Barakan 4 hari karena dibagi menjadi 3 kelompok yaitu laki-laki, perempuan dan anak-anak.
Idul Fitri benar-benar hari keluarga di sini. Agenda lainnya hanya pada malam hari. Namun sulit karena lelah dan harus menyiapkan tenaga untuk memasak jika bisa menjadi tuan rumah selain tenaga untuk berkunjung ke rumah.
Sudarminto, salah satu tokoh masyarakat mengatakan, tradisi ini awalnya adalah Tahlilan sehingga berlangsung cukup lama di setiap rumah warga. Namun, saat itu jumlah keluarga sekitar 40 keluarga.
“Sekarang semakin banyak warga negara yang dirugikan, hal ini penting untuk mencapai tujuan utama,” katanya. Artinya saling memaafkan, bergaul dan mengenal satu sama lain.
Pertama kali duduk di Pulau Bengkalis, kamu sudah bisa melihat suasana nusantara. Misalnya di pasar tradisional. Etnis penduduknya beragam. Pedagang terkenal etnis Tionghoa Jawa dan Malaysia. Tidak mengherankan jika bahasa Melayu dan Jawa lebih banyak terdengar di tempat-tempat umum. Selain masjid, ada cukup banyak kuil.
Ada juga suku Batak dan lain-lain. Misalnya, Yanto, seorang pemulung asal Medan, setiap tahun berkunjung ke rumah Khusnul Wahid asal Lamongan, Jawa Timur saat Idul Fitri. Keluarga pedagang kerang ini menyambut hangat keluarga Yanto yang beragama Katolik.
“Saya ketemu di jalan, cuma ngobrol, saya lihat dia bersih-bersih,” kata Khusnul Wahid. Keduanya kemudian melanjutkan hubungan tersebut melalui ibadah agama masing-masing.
Wahid juga membuat parsel sembako yang diberikan kepada setiap kenalannya, termasuk etnis lain sebelum Idul Fitri tiba. Begitu pula dengan tanda persahabatan yang akan mereka terima saat perayaan Natal atau Tahun Baru Imlek. Toleransi nyata di salah satu pulau terluar Indonesia yang berbatasan dengan Malaysia. —Rappler.com