• October 5, 2024

Belajar dari Tolikara, jangan pilih pemimpin yang diskriminatif

Ada berbagai bentuk diskriminasi dalam politik. Ada pula yang menghalangi pendirian rumah ibadah agama tertentu dengan tujuan menghambat perluasan perkembangan pemeluk agama tersebut.

Ada pula yang mempersulit kegiatan peribadahan agama tertentu dengan memberikan syarat sepihak. Ada yang mengharuskan calon kepala daerah menunjukkan kefasihan membaca kitab suci agama di muka umum, sehingga calon calon kepala daerah yang menganut agama lain yang tidak dianut mayoritas penduduk di daerah itu akan dihalangi.

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada tahun 2013 mengumumkan terdapat 342 kebijakan yang bersifat diskriminatif, meningkat dari 282 pada tahun 2012 dan 207 pada tahun 2011. Kebijakan diskriminatif tersebut tertuang dalam bentuk peraturan daerah (perda) yang mengatur perempuan dalam nama agama dan moralitas.

Bentuknya mulai dari pengaturan cara berpakaian sesuai dengan ajaran agama mayoritas penduduk, pemisahan perempuan dan laki-laki di ruang publik, hingga pembatasan jam keluar rumah pada malam hari. Catatan Komnas Perempuan menunjukkan banyak peraturan diskriminatif yang dikeluarkan di Jawa Barat, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, Nangroe Aceh Darussalam, Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, dan Jawa Timur.

Meski mendapat kritik, sayangnya jumlah peraturan daerah yang mendiskriminasi perempuan atas dasar agama dan moral semakin meningkat. Pada tahun 2014, Komnas Perempuan mencatat terdapat 365 peraturan daerah yang diskriminatif.

Pada bulan Maret tahun ini, Komnas Perempuan meminta Presiden Joko “Jokowi” Widodo untuk melakukan hal tersebut menghapus peraturan daerah yang cenderung diskriminatif Itu. Saat itu, Jokowi meminta Komnas Perempuan berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri.

Persoalan peraturan daerah yang diskriminatif kemudian kembali menarik perhatian masyarakat pecah peristiwa Tolikara pada Hari Raya Idul Fitri, Jumat pagi, 17 Juli 2015. Dari situ terungkap Bupati Tolikara Usman Wanimbo membenarkan adanya Perda yang mengatur larangan aliran gereja lain di Tolikara. Konon hanya Gereja Injili di Indonesia (GIDI) yang berhak mendirikan gereja.

“Memang ada peraturan daerah yang menyebutkan bahwa GIDI dibentuk secara kebetulan di sini. Jadi, gereja ini sudah menjadi gereja yang besar. Jadi orang-orang di sini memikirkan sekte gereja lain TIDAK bisa membangun di sini,” kata Usman saat bertemu dengan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo di Tolikara, 21 Juli seperti dikutip media.

Menurut Usman, masyarakat juga mengimbau pemerintah daerah melarang aliran lain masuk. Perda ini sudah berlaku sejak tahun 2013 yang ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Menteri Dalam Negeri akan menghapuskan peraturan daerah yang diskriminatif

Bupati Tolikara Usman Wanimbo berpendapat Perda tersebut tidak dilaksanakan dalam bentuk Peraturan Bupati (Perbup). Apakah ini berarti Perda tersebut belum efektif?

Saya membaca halaman UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Pasal 144 UU disebutkan, apabila rancangan Perda yang telah disetujui bersama diserahkan kepada Gubernur/Bupati/Walikota, maka ada waktu 30 hari bagi Pemerintah Daerah (Pemda) untuk menerbitkan Perda tersebut. Apabila pemerintah daerah tidak menetapkan peraturan daerah dalam jangka waktu 30 hari, maka peraturan daerah itu dengan sendirinya berlaku dan harus diundangkan dengan penempatannya dalam Berita Negara.

Menteri Dalam Negeri Tjahjo meminta jajarannya mengusut adanya peraturan daerah yang diskriminatif di Tolikara, meski mengaku tidak menemukan peraturan tersebut.

Pengakuan Bupati Tolikara terungkap, membenarkan adanya peraturan daerah tentang pelarangan aliran gereja lain di Tolikara. Hanya GIDI yang berhak membangun gereja di sana.

Soalnya, Perda tersebut ditengarai memberikan keleluasaan kepada pengurus GIDI setempat untuk membuat peraturan yang membatasi ibadah kelompok lain, termasuk menyelenggarakan Salat Idul Fitri, yang kemudian memicu peristiwa berdarah tersebut. Dalam kunjungan Tjahjo, terungkap dugaan adanya peraturan daerah yang menjadi dasar pelarangan penggunaan pengeras suara saat salat Idul Fitri.

Tjahjo mengaku, sejak menjabat Menteri Dalam Negeri, ia telah mengirimkan kembali 139 peraturan daerah yang isinya tidak mempertimbangkan prinsip pluralisme di NKRI. Kementerian Dalam Negeri juga membatalkan peraturan daerah yang dianggap diskriminatif dan bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.

Apa syarat suatu peraturan daerah agar tidak diskriminatif?

Kamis sore, 23 Juli, saya menghubungi Profesor Zudan Arif Fakrulloh yang saat ini menjabat Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri. Saya mohon izin untuk mengutip presentasinya tahun 2012 pada Majelis Ilmiah Pengembangan Ilmiah Berperspektif Hak Asasi Manusia dan Gender di Universitas Indonesia. Saat itu, Zudan menjabat sebagai Kepala Biro Hukum dan Perundang-undangan Kementerian Dalam Negeri.

Zudan mengingatkan kepala daerah agar tidak mengeluarkan peraturan daerah yang diskriminatif, mengutip UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Zudan mengatakan dalam pasal 136 ayat (4) dan penjelasannya jelas disebutkan: Peraturan Daerah dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Apalagi bertentangan dengan konstitusi dan prinsip kenegaraan.

Penafsirannya adalah yang bertentangan dengan kepentingan umum adalah kebijakan yang mengarah pada terganggunya keharmonisan antar anggota masyarakat, terganggunya pelayanan publik dan terganggunya perdamaian serta kebijakan yang bersifat diskriminatif.

Dalam Pasal 28 huruf a UU No. 32/2004, juga mengatur pedoman kepala daerah dan wakil kepala daerah.

“Kepala daerah dan wakil kepala daerah dilarang mengambil keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bagi diri sendiri, anggota keluarga, kroni, kelompok tertentu dan/atau kelompok politik yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, merugikan kepentingan umum, dan mengganggu sekelompok orang. dan mendiskriminasi warga negara dan/atau kelompok masyarakat lain.”

“Yang jelas penyusunan peraturan daerah harus hati-hati,” kata Zudan.

Apa yang dimaksud dengan diskriminasi?

Mari kita jadikan pasal 1 ayat 3 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Disebutkan: “Diskriminasi adalah suatu pembatasan, pelecehan atau pengucilan yang didasarkan langsung atau tidak langsung pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, gender, bahasa, keyakinan politik yang mengarah pada pengurangan, penyimpangan atau penghapusan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan individu dan kolektif di bidang politik, ekonomi, hukum, sosial dan budaya.”

Zudan juga menyampaikan data perda diskriminatif yang diklarifikasi Kementerian Dalam Negeri kepada kepala daerah yang menetapkannya.

  • Antara tahun 2002 dan 2009, terdapat 1.878 pembatalan peraturan daerah yang diskriminatif.
  • Pada tahun 2010, dari 3.000 peraturan daerah yang diperjelas, terdapat 407 peraturan daerah yang bermasalah terkait diskriminasi.
  • Pada tahun 2011, Kementerian Dalam Negeri mengevaluasi 9.000 peraturan daerah dan menemukan 239 peraturan daerah bermasalah.
  • Pada tahun 2012, terdapat 3.000 peraturan daerah yang telah diklarifikasi, dan 173 diantaranya bermasalah.
  • Pada tahun 2013, terdapat 2.500 peraturan daerah yang diperjelas, terdapat 146 peraturan daerah yang bermasalah.
  • Pada tahun 2014, pada masa Menteri Dalam Negeri Tjahjo, ada 139 peraturan daerah yang bermuatan diskriminatif yang dievaluasi.

Membuat peraturan daerah menurut undang-undang no. 32/2004 menyatakan wajib menaati asas: perlindungan, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, nusantara, kebhinekaan, keadilan, persamaan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum, dan/atau keseimbangan, kerukunan dan keharmonisan. Idealnya demikian.

Padahal, berdasarkan catatan Kementerian Dalam Negeri yang disampaikan Zudan, sejumlah daerah telah membuat peraturan daerah yang diskriminatif sehingga harus dicabut. Zudan sudah mengidentifikasi potensi lahirnya peraturan daerah yang diskriminatif akibat perbedaan persepsi masyarakat yang dilatarbelakangi oleh aspek budaya.

Dia menyebutkan tiga wilayah yakni Nangroe Aceh Darussalam, Papua, dan Jakarta. Ketiganya mempunyai status istimewa.

Karena politik pencitraan

Pemilihan kepala daerah secara langsung juga mendorong kepala daerah untuk melakukan politik pencitraan dan cenderung menghasilkan atau mendukung peraturan daerah yang sejalan dengan mayoritas penduduk. Hal ini berujung pada perlakuan diskriminatif terhadap kelompok minoritas. Perempuan yang mempunyai posisi politik dan ekonomi yang lemah juga menjadi korban.

Tekanan kelompok mayoritas diserahkan kepada para pemimpin politik, mulai dari tingkat daerah hingga pusat. Hal ini kita lihat pada kasus-kasus terkait Syiah, Ahmadiyah, dan jemaah GKI Yasmin yang menarik perhatian dunia internasional.

Kemudian pecahlah peristiwa Tolikara.

Setiap kali terjadi hal seperti ini, sejujurnya saya berpikir, apakah benar masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang toleran?

Umat ​​​​agama mayoritas di Indonesia yaitu Islam mengalami pembatasan dalam beribadah Salat Idul Fitri di daerah yang mayoritas beragama Kristen, bahkan dikuasai oleh kelompok gereja tertentu, dalam hal ini GIDI. Jelas secara politis para kepala daerah di sana mendukung GIDI.

Menurut saya, hal inilah yang menyebabkan pemerintah daerah tidak mengantisipasi dampak surat GIDI setempat. Bagi saya, ini adalah sikap kelalaian. Hal serupa juga dialami kelompok minoritas di daerah lain ketika dihadapkan pada hegemoni mayoritas yang didukung oleh kepala daerah yang peduli terhadap citra dan popularitasnya.

Setiap kali terjadi hal seperti ini, sejujurnya saya berpikir, apakah masyarakat Indonesia benar-benar masyarakat yang toleran?

Mungkin kita justru terkesan toleran karena kelompok minoritas, baik dari segi suku/ras agama, memilih menuruti saja kemauan mayoritas, sekadar tidak terlibat konflik. Pengecualian diperuntukkan bagi kelompok minoritas yang kuat secara ekonomi dan bisa bersahabat dengan penguasa, mulai dari pusat hingga daerah.

Semoga kekhawatiranku tidak salah. Karena saya melihat potensi lain yang bisa diandalkan adalah semakin besarnya kepedulian masyarakat untuk merajut kebersamaan dalam suasana keberagaman. Beragam agama, budaya, suku, suku, dan segala macam hal lainnya. Menurut saya, lembaga pendidikan, baik formal maupun informal, dapat berperan besar dalam memperkuat sikap menghargai perbedaan.

Kini kita semua diharapkan dapat mengambil hikmah berharga dari kejadian Tolikara agar tidak terulang kembali. Di Papua, juga di wilayah lain di negeri ini.

Salah satu caranya adalah dengan memperhatikan rekam jejak politisi dan pemimpin yang cenderung mendukung peraturan daerah yang diskriminatif, sehingga tidak perlu dipilih kembali. Pada bulan Desember 2015, Komisi Pemilihan Umum (GEC) menyelenggarakan pilkada serentak di 269 daerah.

Saya tahu bahwa apa yang saya harapkan belum tentu menjadi prioritas atau perhatian mayoritas pemilih. Besar kemungkinan para pemilih akan terpuaskan dengan janji-janji populis para calon kepala daerah yang tentunya telah dibekali oleh timnya dengan data riset tentang apa yang dibutuhkan oleh para pemilih di daerah pemilihannya.

Apakah sikap diskriminatif menjadi ukuran menarik perhatian pemilih? Aku meragukan itu. Tapi kita harus optimis bukan? —Rappler.com

Uni Lubis adalah jurnalis senior dan Eisenhower Fellow. Dapat disambut di @UniLubis.


Togel Singapura