Belajar toleransi dan menghargai masa lalu
- keren989
- 0
Ada banyak cara untuk memaknai haji sebagai ritual tahunan kolosal ini. Haji dapat dibaca sebagai simbol persatuan dan etos egalitarianisme Islam.
Melalui ritual ini, umat Islam dari seluruh dunia berbondong-bondong berkumpul di satu tempat, dengan mengenakan pakaian yang sederhana, dengan warna yang sederhana. Persatuan dan kesederhanaan. Ini adalah salah satu cara yang mungkin untuk menafsirkan makna haji.
Haji juga dapat dibaca sebagai simbol kembalinya umat Islam ke “rumah leluhurnya”, ke kampung halamannya. Haji adalah semacam mudik spiritual, ketika umat Islam kembali ke rumah yang didirikan oleh Ibrahim, pendiri agama monoteistik.
Melihat jutaan umat Islam berbaris menuju titik pusat adalah pemandangan yang menakjubkan. Seperti debu yang tertarik pada medan magnet pusat. Debu tersebut seolah tersedot kembali ke lokasi semula.
Tapi saya ingin menafsirkan haji dengan cara yang berbeda. Saya akan membaca Haji sebagai sebuah kritik. Ritual tahunan ini sebenarnya merupakan sebuah kritik terhadap dua fenomena dalam masyarakat Islam saat ini.
Masa lalu tersingkir dari kota Mekkah, tergantikan oleh segala sesuatu yang paling modern, paling mutakhir.
Pertama, ibadah haji merupakan kritik terhadap sikap umat Islam saat ini yang cenderung ekslusif dalam beragama. Haji adalah ritual yang, dalam iman Muslim, dimaksudkan untuk “mengimpor kembali” atau menghidupkan kembali peristiwa yang dialami Nabi Ibrahim, nabi yang menjadi bapak tiga agama besar monoteistik – Yudaisme, Kristen, dan Islam itu sendiri. Ibrahim adalah kanopi atau payung besar yang menaungi ketiga agama tersebut.
Ritual haji hendaknya membuat umat Islam mengingat Ibrahim sebagai bapak tiga agama monoteistik. Ritual ini hendaknya mengingatkan mereka bahwa agama mereka berasal dari “nenek moyang teologis” yang sama dengan dua agama besar lainnya: Yudaisme dan Kristen. Oleh karena itu, ibadah haji harusnya membuat umat Islam mengulurkan tangan untuk berdialog dengan kedua agama tersebut.
Apa yang terjadi sekarang, seperti yang Anda tahu, justru sebaliknya. Saat ini di negara kita sedang terjadi sejumlah tren besar intoleransi terhadap umat Kristiani, terutama berupa permasalahan pembangunan tempat ibadah yang dialami oleh para penganut agama tersebut. Saya tahu bahwa umat Islam mengalami masalah yang sama di suatu tempat di Papua. Namun apa yang dialami umat Kristiani jauh lebih besar.”ukuran” dia berkata.
Dengan kata lain, ibadah haji hendaknya kembali menjadi momen di mana umat Islam belajar menghidupkan kembali kenangan akan Ibrahim sebagai “kakek” yang mempersatukan mereka dengan dua agama lain yang kerap menjadi sasaran kecurigaan mereka. Saya membayangkan, bagaimana caranya berbelokBulan haji juga dimeriahkan dengan seminar dan acara dialog antar umat beragama, khususnya Islam-Kristen-Yahudi, di Arab Saudi atau di negara-negara Islam lainnya.
Ritual kurban yang kita ketahui bermula dari kisah Ibrahim yang mengorbankan putranya. Dalam versi Kristen, pangerannya adalah Ishaq. Dalam Islam, Ismail. Bagi saya, tidak masalah siapa yang dikorbankan. Yang jauh lebih penting adalah peristiwa kurban itu sendiri sebagai momen sejarah yang mempersatukan Islam dan Yudaisme sebagai dua agama yang berasal dari sumber yang sama.
Kritik kedua menyangkut bagaimana pemerintah Arab Saudi kini memperlakukan tanah suci umat Islam. Saya menganggap haji adalah ritual masa lalu. Setiap agama besar dimana pun selalu berusaha keras menyikapi masa lalunya dengan penuh pengabdian. Masa lalu bukan sekedar peristiwa sejarah masa lalu yang patut dikenang, namun dalam agama masa lalu mempunyai makna yang lebih dalam.
Masa lalu, bagi agama, adalah “momen yang mendasar”, masa atau waktu yang menandai berdirinya suatu bangunan. Yakni bangunan keimanan yang kemudian menjadi agama. Dengan mengingat masa lalu, seorang mukmin kembali ke momen awal yang menjadi awal mula agama yang dianutnya. Haji adalah ibadah haji yang tidak hanya ke tanah suci, tapi juga ke waktu yang suci – yaitu zaman Ibrahim.
Di Yerusalem saya melihat bagaimana sejarah masih terpatri kuat di setiap sudut kota. Ketika saya berada di Mekah, saya melihat sejarah perlahan-lahan dihancurkan.
Namun, rezim Saudi yang berkuasa saat ini didasarkan pada pandangan agama yang bermusuhan dengan masa lalu. Saat ini, pemerintah Saudi sedang melakukan renovasi besar-besaran terhadap tanah suci Mekkah. Proyek ambisius ini – yang mungkin dimaksudkan untuk memudahkan para peziarah melakukan ibadah haji di sana – mempunyai dampak samping yang sangat buruk.
Proyek renovasi ini menghancurkan situs-situs bersejarah yang tersebar di sekitar Masjid Agung. Menurut Islamic Heritage Research Foundation yang berbasis di London, perluasan dan pembangunan kawasan Masjidil Haram menghancurkan 98% situs bersejarah dan keagamaan di Mekah.
Ilustrasi kecilnya saja: Rumah Sayyidina Hamzah, paman Nabi, dibongkar pada tahun 2014 untuk dijadikan pembangunan hotel. Hal ini menurut laporan dari sebuah yayasan yang berbasis di London yang memantau situs-situs Islam. Pasar Seng yang terkenal, tempat para peziarah Indonesia berbelanja oleh-oleh sejak zaman dahulu, kini telah rata dengan tanah dan digantikan oleh bangunan-bangunan modern.
Di seberang Masjidil Haram berdiri gedung pencakar langit Menara Jam Kerajaan Mekah. Di bagian atas terdapat jam raksasa mirip dengan jam Big Ben yang terletak di atas Elizabeth Tower di London. Di dalam gedung terdapat hotel mewah, pusat perbelanjaan dan fasilitas modern lainnya. Masa lalu tersingkir dari kota Mekkah, tergantikan oleh segala sesuatu yang paling modern, paling mutakhir.
Penghancuran situs bersejarah bukanlah hal baru di Saudi. Aliran pemikiran Islam yang dominan di negara ini adalah Wahhabisme. Merupakan aliran pemikiran yang memiliki pandangan unik sekaligus aneh mengenai “tauhid”. Menurut aliran pemikiran ini, tauhid tidak hanya berarti meneguhkan Tuhan, namun memusuhi segala bentuk tindakan yang dapat dianggap penghindaran.
Syirik mengasosiasikan hal-hal yang bukan ketuhanan dengan Tuhan dan menjadikannya objek pengabdian/pemujaan. Bagi ulama Wahhabi, merawat tempat-tempat bersejarah, seperti makam dan rumah teman, penuh dengan bahaya. Karena objek-objek tersebut tidak hanya akan menjadi tempat kunjungan “wisata religi” (saya sebenarnya kurang suka dengan istilah “wisata religi”; kenapa tidak “wisata religi” saja?).
Saat mengunjungi objek bersejarah tersebut, umat Islam mungkin akan bersembunyi karena terlalu menghormatinya. Hal inilah yang menjadi kekhawatiran para ulama Wahabi. Karena itu, mereka tak segan-segan membongkar situs-situs bersejarah yang berkaitan dengan Nabi karena bisa menjadi sarang syirik.
Protes terhadap pembunuhan bersejarah atau pembunuhan bersejarah yang dilakukan pemerintah Saudi datang dari berbagai kalangan. Tapi sepertinya itu tidak masalah. Bahkan dahulu kala ada rencana penghancuran makam Nabi karena dikhawatirkan akan dijadikan tempat ibadah. Kalau bukan karena protes para ulama Indonesia, bisa-bisa makam Nabi Muhammad SAW rata dengan tanah. Protes terhadap rencana penghancuran makam Nabi itulah yang menjadi cikal bakal berdirinya organisasi Nahdlatul Ulama pada 31 Januari 1926.
Haji patut menjadi kritik terhadap kebijakan perusak sejarah ini. Sebelum saya menunaikan ibadah haji beberapa tahun lalu, saya terlebih dahulu mengunjungi Yerusalem, ke Masjid Aqsa, kiblat pertama umat Islam. Ada kontras antara Yerusalem dan Mekah. Di Yerusalem saya melihat bagaimana sejarah masih terpatri kuat di setiap sudut kota. Ketika saya berada di Mekah, saya melihat sejarah perlahan-lahan dihancurkan.
Entah apakah jamaah haji Indonesia merasakan hal aneh ini atau tidak? Atau justru mereka bahagia karena melihat kota Mekkah dipenuhi hotel-hotel mewah dan pusat perbelanjaan, mirip kota-kota besar di Indonesia yang dipenuhi bangunan-bangunan modern?
Ataukah sejarah berupa bangunan fisik tidak terlalu penting bagi umat Islam? Karena sejarah dalam Islam seolah-olah dinilai hanya sebagai dokumen tertulis di dalam buku? Historiografi Islam penuh dengan buku-buku sejarah yang ketebalannya tidak main-main. Kurma Tabari misalnya. Atau Muruj al-Zahaboleh al-Masudi. Saya curiga umat Islam tidak terlalu peduli dengan bangunan. Karena yang penting bagi mereka adalah rekaman teks berupa “buku”.
Sebab peradaban Islam seperti yang pernah diungkapkan oleh Prof. Nasr Hamid Abu Zayd, adalah peradaban teks (hadlarat al-nass).—Rappler.com
Ulil Abshar Abdalla adalah seorang cendekiawan Muslim dan pendiri Jaringan Islam Liberal. Dia dapat ditemukan di Twitter @ulil
BACA JUGA: