• November 25, 2024

Bicara tentang intoleransi, bicara tentang kepemimpinan

“Saya merasa intoleransi akhir-akhir ini semakin meningkat di Yogyakarta,” demikian pernyataan seorang jurnalis perempuan di Yogyakarta pada pelatihan jurnalistik bagi jurnalis perempuan yang diadakan Dewan Pers pada 20 Maret 2015.

Sebagai mantan anggota Dewan Pers, saya didaulat menjadi salah satu pembicara dalam pelatihan bertajuk Workshop Reportase Jurnalis Perempuan: Meliput Konflik dan Bencana. Jurnalis ini menyinggung sejumlah kasus di Yogya. Laporan Wahid Institute tahun 2014 menunjukkan bahwa Yogyakarta masuk terbanyak kedua dalam kasus intoleransi.

Saya sering pergi ke Yogyakarta. Almarhum ibu saya lahir di kota pelajar ini, dan sampai hari ini kami masih memiliki rumah yang ditinggalkan ibu saya di sana. Sejak kecil saya sudah sering ke Yogya, walaupun saya tidak pernah tinggal dan belajar disana. Ayah saya berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain, jadi kami bersekolah di kota yang berbeda. Saya selalu menyebut Yogya sebagai kota tempat saya “pulang”, meski saya tidak terlalu mengetahuinya, seperti misalnya suami saya mengenal Yogya. Dia tinggal di sana sejak kecil dan menyelesaikan semua jenjang sekolah di kota itu.

Jadi, ketika teman perempuan jurnalis mengungkapkan perasaannya, kekhawatirannya terhadap Yogya yang semakin tidak toleran, tanggapan saya adalah: “Kalau ini benar-benar terjadi, sangat disayangkan. Yogya selalu menjadi miniatur Indonesia. Sebuah wadah peleburan, tempat berkumpulnya para pelajar dari seluruh Indonesia, untuk menghabiskan waktu di perguruan tinggi yang ada di kota ini. Semua suku, agama, hidup berdampingan secara damai selama bertahun-tahun. “Di sini ada lembaga pendidikan yang berafiliasi dengan Ahmadiyah Lahore dan telah menjalankan aktivitas dengan aman selama puluhan tahun.”

Saya melanjutkan: “Bahkan bagi diplomat asing, Yogya adalah kota tempat mereka menghabiskan beberapa bulan pertama belajar bahasa Indonesia. Yogya memang menjadi destinasi wisata terpopuler kedua di Indonesia setelah Bali. Namun, masyarakat datang ke Yogya untuk tujuan yang lebih beragam dibandingkan menikmati wisata. Orang-orang datang untuk belajar dan belajar tentang kehidupan. “Jadi, jika kota yang selama ini menjadi etalase Indonesia ini kini dipandang semakin tidak toleran, sungguh disayangkan.”

Apa lagi yang bisa saya katakan? Di Yogyakarta ada sosok Sri Sultan Hamengkubuwono Kewenangan tersebut membuat Yogyakarta relatif aman pada Mei 1998 dari penjarahan dan pembakaran toko, sedangkan Solo yang berjarak sekitar satu jam perjalanan dari kota ini mengalami hal tersebut. Kekuasaan Sultan mengatasi berbagai kepentingan politik.

Termasuk kepentingan politik yang justru berada di belakang kelompok yang menjadi ancaman bagi kehidupan toleransi beragama. Kepentingan politik dilakukan dengan dalih mengedepankan nilai-nilai agama. Ideologi agama.

Begitulah seharusnya, bukan?

Mengapa faktor kepemimpinan penting? Sebab yang terjadi dalam sejumlah kasus intoleransi hingga berujung pada aksi radikal oleh kelompok yang merasa mayoritas terhadap kelompok minoritas terjadi karena buruknya kepemimpinan. Kepemimpinan yang buruk biasanya diakibatkan oleh sikap pragmatis kepala daerah, bahkan kepala pemerintahan, dan tindakan intoleransi.

Agama telah menjadi bagian dari permainan politik, untuk mendapatkan dukungan suara terbanyak, telah menjadi fenomena yang meluas, dimulai dari inisiatif Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada tahun 2005, seperti yang dibahas dalam artikel tersebut. Kepemimpinan yang buruk menjadi faktor utama yang memungkinkan berkembangnya intoleransi. Kepemimpinan yang lemah akan menjadi pintu gerbang radikalisme. Anggaplah mereka yang berbeda dari dirinya layak dikorbankan dengan kekerasan.

Pada Sabtu sore, @RapplerID membuat diskusi di Twitter dengan tagar #IntoleransidanRadikalisme. Rangkuman saran netizen untuk menghentikan intoleransi dan radikalisme bisa kita baca di sini, dan kepemimpinan menjadi salah satu isu penting yang muncul. Pendidikan toleransi, baik melalui jalur sekolah formal maupun melalui guru agama, dipandang penting dalam memutus rantai meluasnya intoleransi dan ideologi radikal.

Peran media juga penting. Dalam konteks digital, tentu saja media tradisional dan media baru. Jurnalis dan reporter warga. Kita mempunyai sejarah kelam ketika konflik di Ambon terjadi pada tahun 1990-2002. Saat itu, media lokal yang terbit di sana juga menjadi provokator di kedua pihak yang berkonflik. Potensi media untuk menjadi alat provokasi bagi pemikiran intoleran dan radikal masih ada hingga saat ini dan semakin sulit dikendalikan akibat penyebaran informasi melalui Internet. Pemblokiran bukanlah sebuah solusi, dan justru dapat mengarah pada sikap yang lebih radikal di internet. Siapa yang dapat sepenuhnya mengendalikan kerajaan virtual ini?

Pada tahun 2002 saya diwawancarai oleh Ulil Abshar Abdalla, pendiri Jaringan Islam Liberal, tentang bagaimana media harus menanggapi tekanan dari kelompok yang ingin memaksakan kehendak mereka. Dalam wawancara yang disiarkan KBR Radio 68H, saya mengatakan bahwa masalahnya, media besar cenderung takut diganggu dengan demikian mereka tunduk pada kehendak kelompok tersebut.

Wajar saja, meski aku menyesalinya. Sebagian besar grup media besar kita dimiliki oleh pengusaha non-pribumi. Jadi, mereka mudah bingung. Ancaman terhadap media di era reformasi bukan lagi datang dari pengusaha, namun dari masyarakat, termasuk pihak-pihak yang menggunakan kekerasan untuk merusak redaksi dan mengancam media. Media yang dimiliki pengusaha pribumi juga cenderung mengikuti suara kelompok mayoritas. Mengapa? Karena mereka mempunyai kepentingan politik dan membutuhkan dukungan suara dalam setiap pemilihan umum.

Oleh karena itu, saya senang (dan saya harap Anda juga demikian), karena Menteri Agama di kabinet Presiden Joko “Jokowi” Widodo, Lukman H. Saifuddin, telah memposisikan dirinya sebagai Menteri Agama untuk semua, tidak hanya Islam. “Yang dihadapi Kementerian Agama adalah perilaku ekstrem yang bersumber dari pemahaman agama,” kata Lukman, putra Prof KH Saifuddin Zuhri. Kiai Saifuddin Zuhri pernah menjabat Sekretaris Jenderal Majelis Pengurus Nadhlatul Ulama dan Menteri Agama pertama di era Presiden Sukarno.

Pada tahun 2008, Menteri Agama Maftuh Basyuni, Menteri Dalam Negeri Mardiyanto, dan Jaksa Agung Hendarman Supanji mengeluarkan peraturan yang membolehkan kriminalisasi terhadap pengikut Ahmadiyah. Hal inilah yang menjadi awal mula meluasnya pembatasan di 25 kabupaten/kota di Indonesia bagi jemaah Ahmadiyah dalam beraktivitas. Sepanjang tahun 2013, Laporan Wahid Institute menunjukkan terdapat 245 kejadian intoleransi terhadap kelompok minoritas terjadi di Indonesia.

Setiap kali saya menjadi anggota delegasi Indonesia pada sejumlah pertemuan di luar negeri, termasuk delegasi Kementerian Luar Negeri untuk dialog antaragama, saya melihat besarnya harapan sejumlah negara terhadap Indonesia. Negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, memiliki populasi Muslim terbesar, dan menjalankan sistem demokrasi. Selama ini Indonesia merupakan laboratorium hidup, tempat Islam dan demokrasi modern berjalan beriringan. Fakta yang berulang kali dibanggakan oleh Presiden Jokowi. Meski begitu, belakangan minat terhadap permainan politik mulai terkikis.

Yang perlu diingat Jokowi, kebanggaan itu ia warisi dari pemerintahan sebelumnya. Jangan sampai berakhir di era pemerintahan seperti ini. Kepemimpinan adalah kunci untuk menjaga suasana toleransi dan mencegah radikalisme, dan harus ditunjukkan oleh para pemimpin tertinggi.

Sabtu, 11 April sore, saya membaca buku terbitan Universitas Paramadina. Kumpulan tulisan mendiang Prof. Nurcholis Madjid yang telah dimuat di berbagai media. Judul buku Pintu menuju Tuhan. Ada artikel dengan judul Kebebasan beragamadalam bab Pintu menuju pluralisme dan kemanusiaan.

Cak Nur, begitu kami memanggilnya semasa hidup, menulis: “Setiap pengkhotbah dan khatib yakinlah bahwa dia mengetahui prinsip tidak boleh ada paksaan dalam beragama. Firman Allah yang sering dikutip sehubungan dengan hal ini adalah: ‘Tidak ada paksaan dalam beragama. Menjadi jelas (jika tidak) kebenaran kesalahannya. Barang siapa yang menolak kezaliman dan beriman kepada Tuhan, maka sesungguhnya dia telah berpegang pada tali yang kuat, yang tidak akan lepas. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui’ (QS. Al Baqarah, 2:256)”.

Cak Nur mengatakan, prinsip kebebasan beragama merupakan suatu kehormatan bagi umat Tuhan, karena Tuhan mengakui hak manusia untuk memilih jalan hidupnya sendiri. Tentu tidak perlu lagi ditegaskan bahwa segala risiko dalam pilihan tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab masyarakat itu sendiri.

Menurut saya, ini adalah pesan toleransi. Bagaimana menurutmu? —Rappler.com

Uni Lubis adalah mantan pemimpin redaksi ANTV. Ikuti Twitter-nya @unilubis dan membaca blog pribadinya unilubis.com.


slot