• November 10, 2024

Bisnis hotel budget yang lesu di Denpasar

DENPASAR, Indonesia – Seiring dengan terus dibangunnya jaringan hotel di Denpasar, tingkat hunian hotel budget di kota ini terus menurun. Inikah lonceng kematian hotel murah di Denpasar?

Beberapa pelanggan

Hotel Rai di kawasan Sanglah, Denpasar, boleh jadi membunyikan lonceng kematian. Dari 17 kamar hotel, hanya dua kamar yang terisi pada awal pekan ini.

“Setiap hari begitu sepi,” kata karyawan Hotel Rai Kristoforus Lolom saat ditemui Rappler pekan ini.

Sore harinya hotel tampak sepi. Padahal hotel ini terletak tepat di Jalan Diponegoro, salah satu jalan utama Denpasar. Kristo dan satu karyawan lainnya hanya bermain ponsel dan menonton televisi. Teman Kristo malah merebahkan diri di ruang resepsi.

Biasanya tamu kita hanya orang-orang yang sedang menjalani pengobatan, kata Kristo.

Hotel Rai terletak di kawasan Sanglah, hanya berjarak sekitar 1 km dari rumah sakit terbesar di Bali, Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah. Menurut Kristo, tamu lain yang menginap di Hotel Rai berasal dari pulau timur Bali seperti Lombok, Sumbawa, dan Flores yang mendapat perawatan di RS Sanglah.

Sekitar 500 meter dari hotel Rai, masih di jalan yang sama, suasana hotel Viking tidak jauh berbeda. Hotel yang berada di kawasan pusat komersial Denpasar ini terlihat sepi. Hanya tiga dari 70 kamar yang terisi.

Menurut Ketut Gara, pengelola Hotel Viking, hotelnya mengandalkan tamu lokal. Oleh karena itu, hotel hanya akan terisi penuh pada musim tertentu seperti libur Idul Fitri dan Tahun Baru. “Kalau bulan Maret dan April sepi sekali. “Apalagi karena banyak sekali hotel baru di Denpasar,” ujarnya.

Seperti yang dikatakan Gara, hotel-hotel baru terus bermunculan di kota ini. Ironisnya, beberapa hotel melati justru mati dalam waktu bersamaan. “Hotel ini (Viking) masih lebih bagus. “Saya dengar ada beberapa hotel melati yang mati,” tambah Komang Yudha, karyawan lainnya.

Yudha menyebut beberapa nama hotel melati yang sudah tidak beroperasi lagi, seperti Hotel Dewi dan Hotel Diponegoro di jalan yang sama.

Saya cek, kedua hotel itu hilang. Hotel Diponegoro, samar-samar saya ingat, dulunya dekat dengan Komplek Pertokoan Genteng Biru, tempat saya biasa makan semasa kuliah. Sedangkan untuk Hotel Dewi, di ujung Jalan Diponegoro. Teman saya pernah menginap di sana. Namun, keduanya hilang saat saya mencarinya dua hari lalu.

Pertumbuhan hotel budget dan jaringan (hotel kota) menjadi tersangka utama matinya hotel murah di Denpasar.

Lawan raksasa

Jalan Teuku Umar bisa jadi menjadi tempat yang menggambarkan betapa tidak adilnya persaingan antar yang terbaik hotel kota dengan hotel murah di denpasar itu. Dalam tiga tahun terakhir, hotel-hotel baru bermunculan di sepanjang jalan ini.

Sebut saja nama hotelnya ada Amaris, All Season, Pop, Ibis dan lain-lain. Hotel-hotel ini tampil berjejer bak jamur di musim hujan di tengah hiruk pikuk Jalan Teuku Umar.

Di kawasan lain di Denpasar juga terdapat Hotel Harris di Jalan Cokroaminoto, Hotel Neo di Jalan Gatsu Barat, atau Hotel Mars City di Jalan Kerta Dalem.

Umumnya hotel murah ini dijalankan dalam satu jaringan. Amaris misalnya hotel kota ala grup Santika milik Kompas Gramedia. Pop adalah hotel hemat milik jaringan Harris Hotel. All Season milik jaringan hotel Accor.

Selain unggul jaringan, tarifnya juga murah, antara Rp300 ribu hingga Rp500 ribu per kamar per malam. Tarif ini kurang lebih sama dengan tarif tertinggi untuk hotel melati di Denpasar.

Misalnya saja hotel Rai dan Viking yang mengenakan tarif maksimal Rp 300 ribu per malam. Namun, pengelola Hotel Viking, Ketut Gara, mengatakan tak mungkin mereka mematok harga yang sama.

“Kalau mau bertahan, kita harus mematok tarif paling rendah, Rp 70 ribu per malam,” ujarnya.

Di antara sekian banyak hotel baru di sepanjang Jalan Teuku Umar, hanya ada sedikit hotel murah yang bertahan. Salah satunya adalah Hotel Puri Royan. Hotel yang didirikan pada tahun 2001 ini harus berjuang melawan raksasa besar seperti Santika Group, Harris dan Accor.

Hasilnya mudah diprediksi. Hotel melati kalah telak.

“Tingkat okupansi kami terus menurun setiap tahun sejak maraknya hotel-hotel tersebut,” kata AA Putu Martino Royan, pemilik Hotel Puri Royan. Menurut Martino, kemunculan hotel baru di Denpasar sudah terjadi dalam tiga atau empat tahun terakhir.

Ketika jaringan hotel murah menjadi populer, tingkat hunian terus menurun sebesar 10 persen setiap tahun. Biasanya, lanjut Martino, tingkat okupansi Hotel Puri Royan berkisar 50 hingga 60% pada suatu waktu. musim ramai seperti Idul Fitri dan Tahun Baru. Sekarang hanya 40 sampai 50%.

Pada musim Musim sepi saat ini hanya tersisa 30 persen. “Hari ini hanya ada satu ruangan yang terisi,” ujarnya kemarin. Puri Royan Hotel hanya memiliki 14 kamar.

Menurut Martino, jika terus sepi seperti sekarang, bukan tidak mungkin hotel budget di Denpasar akan segera berbisnis. “Jika kondisi tetap sepi, kami bisa memanfaatkan kembali hotel tersebut,” tambahnya.

Martino mengatakan pemerintah adalah pihak yang harus bertanggung jawab atas ancaman kematian terhadap hotel melati. Martino mengatakan pemerintah harus serius menerapkan moratorium pembangunan hotel di Bali Selatan. Kalau tidak, hotel budget pasti mati.

Tumbuh di bebatuan

Rendahnya tingkat okupansi hotel budget di Bali sesuai dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) Bali. Berdasarkan data BPS, tingkat okupansi hotel non bintang pada tahun 2009 hingga 2013 hanya berkisar 30 persen. Pada tahun 2013 misalnya, hanya 36%. Lebih rendah dua persen dibandingkan tahun sebelumnya, 38,63%.

Di hotel melati dengan jumlah kamar kurang dari sepuluh, bahkan ada yang hanya memiliki 22%. Bandingkan dengan hotel bintang 1-5 pada tahun yang sama yang tingkat okupansinya berkisar 60,68%.

Menurut I Nyoman Darma Putra, ketua program magister studi pariwisata Universitas Udayana, hotel budget di Denpasar umumnya menghadapi dilema manajemen dan reinvestasi. “Banyak yang tidak bisa bersaing,” katanya.

Darma menambahkan, hotel budget akan sulit bertahan kecuali bersedia menerima tamu berlayar atau perkover. Artinya tamu pekerja, bukan tamu turis. Di sisi lain, hotel-hotel ini juga perlu memperbarui diri dalam hal pelayanan dan kenyamanan. Misalnya saja dengan ruangan ber-AC (AC).

Namun jika hal ini dilakukan, hotel budget akan membutuhkan biaya operasional yang lebih tinggi. Di sisi lain, mereka juga harus mengenakan tarif yang lebih rendah agar terjangkau. Akibatnya biaya operasional mahal, namun harga jual kamar murah.

“Mereka menjadi miskin seperti belalang yang tumbuh di bebatuan,” Darma menganalogikan.

Menurut Darma, hotel budget juga harus bisa memposisikan brand atau produknya agar tetap hidup. Karena konsumen akan mencari kualitas yang baik dan memuaskan.

Dia mencontohkan hotel murah milik keluarga di Sanur, Kuta, dan Ubud. Meski hotelnya hotel murah, mereka tetap bisa bertahan. “Karena hotelnya sudah diperbarui dari fisik ke fisik wifi gratis,” dia menambahkan.

Sesuai saran Darma, sebaiknya hotel budget di Denpasar meningkatkan kualitas pelayanannya. Jika tidak, ancaman kematian mereka mungkin tidak terlalu perlu dikhawatirkan. —Rappler.com

Anton Muhajir adalah seorang jurnalis, blogger, editor dan (terkadang) provokator yang tinggal di Bali. Dia menulis blog di anton.nawalapatra.com dan tweet di @antonemus.


sbobet wap