• October 7, 2024

Bom itu disebut bendungan

Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.

Farid Gaban tak sepenuhnya puas dengan rencana Jokowi meresmikan waduk terbesar di Aceh kemarin. Menurutnya, pembangunan bendungan tersebut justru menimbulkan kejutan budaya bagi warga sekitar.

Tubuh telanjang itu melayang tak bernyawa, terdampar di teluk bendungan baru. Tetangga desa menduga pria tersebut meninggal setelah terpeleset ke air dan tenggelam. Atau bunuh diri.

Kejadian itu terjadi sudah lama sekali, 30 tahun yang lalu. Saat saya mengunjungi Bendungan Saguling yang baru ditimbun, Jawa Barat, saya meliput perubahan sosial dan ekonomi masyarakat yang terkena dampak pembangunan waduk besar. Pria itu hanya satu dari puluhan orang yang tewas setelah waduk tersebut diresmikan.

Saya teringat kejadian saat Presiden Joko Widodo menyetujui selesainya pembangunan Waduk Jatigede, juga di Jawa Barat, dua pekan lalu. Ini adalah momen bersejarah. Setelah tertunda hampir 50 tahun, waduk tersebut akan benar-benar terealisasi dan menjadi waduk terbesar kedua di Indonesia.

Tidak hanya itu. Pemerintahan Jokowi juga berencana membangun 49 bendungan besar serupa di seluruh Indonesia selama lima tahun ke depan. Perlukah kita bangga?

Bendungan dibangun untuk tujuan baik: pengendalian banjir, pengairan sawah untuk swasembada pangan, dan pembangkit listrik. Namun dalam praktiknya, tujuan baik tersebut belum sepenuhnya tercapai, sementara dampak sosial dan lingkungan yang ditimbulkan sangat mahal.

Umur Waduk Saguling lebih pendek dari perkiraan awal yaitu 50 tahun karena lumpur, puing-puing, dan polusi hebat dari Sungai Citarum yang membendungnya. Waduk Gajah Mungkur di Jawa Tengah juga bernasib hampir sama.

Di sisi lain, pembangunan waduk menimbulkan kejutan budaya bagi masyarakat sekitar. Petani yang digusur harus mencari tempat tinggal baru dan jenis pekerjaan baru. Terjadi perubahan besar dari budaya darat ke budaya air. Beberapa dari mereka bingung, frustasi dan akhirnya bunuh diri.

Bendungan menggusur petani dan menenggelamkan lahan pertanian subur yang seringkali bertentangan dengan tujuan swasembada pangan. Para petani yang kehilangan lahannya membuka bukit dan gunung, meningkatkan ancaman tanah longsor dan mempercepat banjirnya waduk. (BACA: Keureuto: Bendungan Terbesar di Aceh Diklaim Mampu Atasi Banjir)

Lalu ada aspek politik. Waduk besar membuat puluhan ribu penduduk di puluhan kota terpaksa mengungsi. Karena alasan kepentingan umum, warga yang kurang berdaya ini sering kali diusir dengan kompensasi yang tidak mencukupi atau mengalami teror dan intimidasi jika menolak.

Cagar Alam Kedung Ombo di Jawa Tengah telah menenggelamkan hampir 40 desa yang penduduknya digusur akibat teror 30 tahun lalu. Biaya politiknya sangat mahal, padahal saat ini diketahui umur waduk tersebut hanya setengah dari rencana 100 tahun. Protes Kedung Ombo merupakan salah satu tonggak penting perlawanan politik terbuka terhadap pemerintahan Orde Baru.

Pembangunan bendungan menjadi tren yang kuat secara internasional pada tahun 1980an, namun surut sepuluh tahun kemudian. Pada akhirnya, bendungan besar hanya dilihat sebagai masalah, bukan solusi.

Tidak mengherankan jika pengalaman seperti Kedung Ombo dan Bendungan Narmada di India telah menginspirasi gerakan penolakan bendungan di seluruh dunia. Arundhati Roy, penulis dan feminis India, adalah salah satu tokoh di garis depan gerakan ini. Bendungan, kata Arundhati, memiliki kekuatan destruktif seperti bom nuklir. Semakin besar, semakin merusak.

Jika bendungan ditolak, apa yang akan terjadi pada kelestarian sumber daya air, swasembada pangan dan energi?

Pelestarian sumber daya air dan pengendalian banjir tidak bisa dipisahkan dengan pemeliharaan aliran alami sungai dan pemeliharaan keutuhan hutan di pegunungan dan perbukitan. Bendungan besar tidak hanya mengubah sungai alami tetapi juga mendorong manusia untuk merusak hutan.

Kita masih mempunyai banyak sumber energi lain untuk listrik, padahal minyak bumi dan batu bara bisa diabaikan karena dianggap terlalu kotor: gas, panas bumi, angin, matahari. Bahkan pembangunan bendungan mikrohidro kecil pun masih bisa ditoleransi.

Dalam konteks ini kita berbicara tentang skala. Konsep “kecil itu indah” yang diusung ekonom EF Schumacher 40 tahun lalu masih relevan. Dalam konteks bendungan, pembuatan jaringan waduk kecil yang dirancang secara cermat dengan mempertimbangkan berbagai aspek akan lebih bermanfaat dibandingkan bendungan raksasa. Risikonya juga lebih mudah diramalkan.

Bendungan besar cenderung merangsang pertanian skala besar sehingga menggusur para petani. Swasembada pangan berkelanjutan tidak mungkin tercapai tanpa pemberdayaan dan penguatan petani, baik dalam aspek pengelolaan maupun pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Jika kita berpikir bahwa membangun pertanian memerlukan banyak air, kita patut belajar dari para petani Israel yang bertani di gurun pasir dengan sistem irigasi tetes. Mereka berhasil mengekspor bunga dan buah-buahan ke Eropa.—Rappler.com

Artikel ini telah mendapat izin dari yang bersangkutan untuk diterbitkan ulang. Artikel sebelumnya telah dimuat pada kolom Catatan Bawah Tanah Farid Gaban di Majalah Geo Times Volume 1 No 44 tanggal 2-8 Februari 2015. Kunjungi website di geotimes.co.id.

Farid Gaban adalah seorang jurnalis dan petani yang tinggal di lereng Gunung Sindoro, Wonosobo, Jawa Tengah. Ia pernah berkarir sebagai jurnalis dan redaktur pelaksana Tempo Tydskrif. Setelah itu, Farid memilih menjadi jurnalis lepas. Sekarang dia adalah Pemimpin Redaksi Majalah Geo Times.