• October 5, 2024
Bonus demografi, musibah atau berkah?

Bonus demografi, musibah atau berkah?

Bonus demografi, apakah menguntungkan atau malah sebaliknya? Sebuah refleksi bagi pekerja Indonesia di Hari Buruh.

JAKARTA, INDONESIA – Dalam beberapa tahun terakhir, “bonus demografi” menjadi jargon yang semakin sering kita dengar. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan bonus demografi ini?

Di sela-sela acara World Economic Forum on East Asia beberapa waktu lalu, Rappler mewawancarai Direktur Eksekutif United Nations Population Fund (UNFPA) Babatunde Osotimehin untuk mendalami persoalan ini.

UNFPA sendiri merupakan badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang fokus pada permasalahan kependudukan dan berbagai turunannya.

Generasi muda yang bekerja

Berdasarkan Osotimehin, Intinya, bonus demografi adalah ketika dalam suatu populasi, dalam jangka waktu tertentu, angka kelahiran meningkat dan angka kematian menurun secara paralel.

Akibatnya, suatu populasi akan menjadi “lebih muda”.

Dalam konteks suatu negara, jumlah penduduk muda akan meningkatkan jumlah penduduk usia produktif dalam struktur piramida penduduk negara tersebut (penduduk usia 15-64 tahun berdasarkan standar Bank Dunia).

Osotimehin menjelaskan bahwa hal tersebut mempunyai potensi untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi negara yang bersangkutan.

Untuk mengkonversi potensi ini menjadi pertumbuhan ekonomi menggigilharuskah penduduk usia produktif benar-benar produktif untuk menghasilkan nilai tambah (nilai tambah) untuk perekonomian.

Mari kita gunakan analogi dua kota: Kota A dan B

Kota A berpenduduk 5 orang berusia antara 15-64 tahun dan 2 orang penduduk dari luar rentang tersebut. Sedangkan Desa B justru sebaliknya.

Dengan asumsi kedua desa mempunyai luas lahan pertanian, tingkat kesuburan tanah, iklim, jumlah dan jenis benih serta teknologi pertanian yang sama, maka hasil pertanian Desa A seharusnya lebih besar dibandingkan Desa B.

Namun bagaimana jika 4 dari 5 warga Desa A tidak ikut bertani karena berbagai alasan, mulai dari sakit hingga tidak tahu sama sekali bertani karena tidak pernah mendapat pendidikan keterampilan bertani?

Sebaliknya, dua orang usia produktif asal Desa B ternyata merupakan lulusan teknik pertanian dari universitas terkemuka dan memiliki fisik yang sangat kuat untuk bertani karena sejak kecil sudah mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas.

Yang jelas, produk pertanian desa B akan lebih unggul.

Bonus demografi pada akhirnya merupakan pedang bermata dua. Kita perlu mengelolanya dengan baik untuk mendapatkan nilai manfaat yang optimal, bukan malah merugikan diri kita sendiri.

Kota apa kita ini?

Indonesia saat ini sedang menikmati masa bonus demografi. Data Buku Fakta Dunia 2014 menunjukkan bahwa usia rata-rata penduduk kita adalah 29,2 tahun. Bandingkan misalnya Amerika Serikat dan Jerman, masing-masing 37,6 dan 46,1 tahun.

Data UNFPA menunjukkan kita akan menikmatinya sekitar 15 tahun lagi.

Kabar buruknya, situasi di Indonesia lebih mirip dengan Desa A.

Data Laporan Daya Saing Global 2014-2015 Publikasi World Economic Forum menunjukkan bahwa tingkat daya saing Indonesia masih tergolong memprihatinkan. Bahkan di level Asia Tenggara, kita masih kalah dengan Thailand, Malaysia, dan Singapura.

Salah satu penyebab rendahnya daya saing adalah produktivitas yang masih rendah.

Ini bisa menjadi lebih buruk

Praktisi pengembangan sumber daya manusia Rene Suhardono memperkirakan jika tidak ada perubahan, situasi di masa depan akan semakin buruk.

“Jika kita melanjutkan jalur yang kita jalani saat ini, Indonesia akan menyadarinya celah sebesar 56% antara supply dan demand SDM level manajemen menengah pada tahun 2020. Padahal ada bonus demografi. “SDM kita banyak, tapi belum bisa sampai ke sana (posisi manajemen menengah),” jelas Rene.

“Negara harus berperan dalam menciptakan terobosan dan solusi,” tutupnya.

Menteri Hanif: penguatan kompetensi adalah kuncinya

Bicara soal peran negara, berbagai data dan fakta di atas kami bawa ke Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri, Kamis 30 April.

Menteri Hanif menjelaskan apa yang akan dilakukan kementeriannya untuk membangun kesiapan angkatan kerja Indonesia, dan menyambut baik masa bonus demografi.

“Kuncinya adalah penguatan kompetensi dan daya saing,” kata Hanif tentang bagaimana Kementerian Ketenagakerjaan mengantisipasi datangnya bonus demografi.

Konkritnya, menurut kader Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini, kementeriannya akan mengoptimalkan Balai Latihan Kerja (WTC) baik di pusat maupun daerah sebagai sarana penguatan kompetensi dan daya saing tenaga kerja di tanah air.

Dalam implementasinya, solusi ini juga tidak lepas dari kendala. Setidaknya ada dua kendala utama, yaitu terbatasnya kapasitas output dan struktur pengangguran Indonesia yang “unik”. Kendati demikian, Hanif optimistis kendala tersebut bisa diatasi.

“Kita bisa tingkatkan hingga satu juta orang,” ujarnya tentang produksi tahunan BLK di Indonesia. Saat ini jumlahnya 120.000 per tahun.

Anda sendiri, para tenaga kerja Indonesia dimanapun Anda berada, sudah siap menyambut bonus demografi? Di Hari Buruh ini, mari kita renungkan. —Rappler.com

judi bola online