• November 24, 2024

Cyberbullying di ‘Ibukota Media Sosial Dunia’

Mempermalukan orang lain atas kesalahan mereka atau mengidentifikasi apa yang salah dan benar secara moral adalah tren baru penggunaan media sosial di Indonesia.

“Bhinneka Tunggal Ika” begitulah cara Indonesia menggambarkan negara multikulturalnya. Namun kasus-kasus cyberbullying di media sosial yang aktif di Indonesia menunjukkan pandangan yang berbeda mengenai bagaimana kelompok-kelompok yang beragam di Indonesia dapat hidup rukun.

Di Indonesia, mengkritik seseorang atau sesuatu di luar kelompok sosial Anda secara online berisiko menyinggung ribuan orang. Dalam kasus seorang perempuan Batak yang menyebut kota Yogyakarta di Jawa sebagai “miskin”, “bodoh” dan “tidak berbudaya”, ia dijebloskan ke penjara dan dikeluarkan dari studi pascasarjana.

Indonesia yang dibaptis “ibukota media sosial dunia”. Penetrasi internet hanya 23% dari 240 juta penduduk. Namun hampir seluruh pengguna internet di Indonesia mengakses media sosial.

Separuh dari mereka menggunakan ponsel pintar untuk melakukan hal tersebut. Jakarta mengirim tweet lebih banyak dibandingkan kota lain mana pun di dunia. Indonesia juga merupakan negara paling aktif ke-4 bagi Facebook dan negara ke-3 bagi Path.

Di Indonesia yang multikultural, Internet menjadi ruang publik baru di mana konflik antara “kita” dan “mereka” terwujud.

Periksa tweet Anda

Florence Sihombing, seorang mahasiswa pascasarjana di Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, menghadapi kemarahan ribuan pengguna media sosial setelah ia mengungkapkan kemarahannya terhadap kota tersebut melalui akun Path-nya yang terhubung dengan Twitter. Perempuan asal Kota Medan, Sumatera Utara, itu kesal ketika petugas SPBU tidak mengizinkannya membeli bensin nonsubsidi untuk sepeda motornya di antrean mobil. Ia ingin menghindari antrean panjang pengendara sepeda motor yang kebanyakan membeli BBM bersubsidi dengan harga lebih murah.

Kebencian dan kemarahan masyarakat Yogyakarta terhadap dirinya melampaui layar gadget masyarakat. Orang-orang berkumpul dan menuntut agar dia diusir dari provinsi tersebut. Polisi menangkapnya atas tuduhan pencemaran nama baik di tengah kontroversi tersebut Informasi dan transaksi elektronik (ITE) UU.

Wanita tersebut tidak lagi ditahan namun kasusnya terus berlanjut. Dia bisa menghadapi hukuman hingga 6 tahun penjara dan denda $84.000. Ia juga diskors dari studi pascasarjana di Universitas Gadjah Mada.

Florence secara terbuka meminta maaf dan Sultan Yogya, Hamengkubuwono XII, kemudian mendorong masyarakat Yogyakarta untuk memaafkannya. Namun kerusakan telah terjadi.

Di Bandung, ibu kota Jawa Barat dan rumah bagi suku Sunda, kasus serupa terjadi. Wali Kota Bandung melaporkan Seorang pemegang akun Twitter yang memposting tweet yang menghina kota tersebut.

Multikulturalisme di era media sosial

Inilah permasalahan multikulturalisme Indonesia. Dengan lebih dari 300 kelompok etnis yang berbicara dalam 700 bahasa berbeda, Indonesia memiliki masyarakat yang terfragmentasi.

Selama 32 tahun masa kediktatoran Suharto (1966-1998), ekspresi publik mengenai sentimen etnis atau agama sangat disensor. Suharto mengatur ekspresi perbedaan pendapat demi menjaga stabilitas sosial dan politik, basis rezimnya. Negara merupakan satu-satunya aparat yang mengontrol keterwakilan identitas etnis atau agama di ruang publik.

Di Indonesia pasca-Suharto, negara menjadi lebih lemah. Kelompok-kelompok kini mengekspresikan identitas dan ideologi mereka dalam berbagai bidang aktivitas. Ironisnya, kelompok-kelompok sosial kini mengulangi cara Orde Baru Suharto dalam menghukum “pihak lain” jika menyangkut perbedaan ekspresi identitas.

Masing-masing kelompok merasa mempunyai kewenangan untuk merepresentasikan ikon dan simbol budaya. Pada saat yang sama, mereka mempunyai keinginan untuk mengontrol perbedaan representasi identitas budaya mereka. Masyarakat menjadi lelah ketika “orang luar” mulai mengkritik etnis atau kelas sosial mereka sendiri dan bahkan rasa memiliki terhadap kota tersebut.

Melalui kecintaan masyarakat Indonesia terhadap media sosial, klaim keaslian dan pengecualian pendapat orang lain dibawa ke Twitter, Facebook, dan Path.

Sikap kita-dan-mereka inilah yang menjadi dasar ketegangan dan keresahan sosial. Kondisi konflik sosial dan sikap fasislah yang menimbulkan permusuhan terhadap “pihak lain”. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kasus konflik agama seperti Ambon pada tahun 1999 dan serangan kekerasan terhadap Ahmadiyah kelompok minoritas dalam 6 tahun terakhir hanya meningkat melalui rumor yang memperkuat tindakan pengucilan sosial yang kaku.

Rezim media di Indonesia telah menjadi distopia dengan kelompok-kelompok sosial yang mengutuk masyarakat melalui media sosial dan melibatkan aparat negara untuk menghukum orang-orang yang memiliki pandangan ofensif.

Menciptakan tatanan moral

Cyberbullying di media sosial sering kali merupakan akibat dari keinginan masyarakat untuk menciptakan tatanan moral secara online. Mempermalukan orang lain atas kesalahan mereka atau mengidentifikasi apa yang salah dan benar secara moral adalah tren baru penggunaan media sosial di Indonesia.

Sentimen etnis dan agama biasanya menjadi faktor utama yang mendorong orang-orang dari latar belakang budaya atau agama yang berbeda di Indonesia untuk mengkritik perilaku orang lain melalui postingannya di media sosial. Tapi tidak selalu.

Kasus cyberbullying lainnya melibatkan Dinda, seorang pekerja perempuan yang melakukan perjalanan antara Depok di pinggiran kota Jakarta dan ibu kota. Dia mengeluh di Path tentang wanita hamil di kereta yang selalu mendapat tempat duduk di mana pun mereka naik. Hanya dalam beberapa jam, postingannya menjadi viral dan dia mendapat banyak kecaman.

Kasus di Indonesia menunjukkan gambaran penggunaan media sosial yang berbeda dalam membahas isu-isu publik dibandingkan dengan Amerika Serikat. Yang baru-baru ini belajar oleh Pew Research Center mengungkapkan bahwa media sosial membungkam perdebatan publik. Studi ini menemukan bahwa orang Amerika cenderung tidak mengungkapkan pendapat mereka di media sosial, terutama ketika mereka merasa pendapat mereka berbeda dari ide-ide populer atau yang tersebar luas.

Hal ini tidak terjadi di Indonesia dimana ide dan pendapat sering diperdebatkan dan seringkali menimbulkan ketegangan sosial, seperti yang terjadi pada perdebatan sengit pada kampanye pemilu presiden lalu di Facebook dan Twitter. Pengguna media sosial di Indonesia lebih cenderung mengutarakan pendapatnya dan menantang gagasannya.

Media sosial adalah ruang publik baru

Media sosial, yang sebelumnya diperuntukkan bagi jaringan pertemanan, kini menjadi ruang publik baru. Dengan tangkapan layar dan media sosial yang terhubung, informasi pribadi dapat dipublikasikan dengan sangat mudah. Portal berita online dan integrasinya dengan platform media sosial meningkatkan tingkat viralitas postingan pribadi yang kontroversial.

Masyarakat Indonesia percaya bahwa mereka hidup di ruang publik yang demokratis. Memang benar, media sosial telah menyediakan media baru dalam partisipasi politik. Sayangnya hal itu juga menjadi ruang kristalisasi kebencian dan kemarahan terhadap orang lain.

Percakapan

Imam Ardhianto adalah dosen Departemen Antropologi Universitas Indonesia. Beliau memperoleh gelar master dari Ecole des Hautes Etudes en Science Sociales (EHESS), Paris, dengan bidang gerakan keagamaan kontemporer di Indonesia. Dia tidak bekerja, berkonsultasi, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mendapatkan manfaat dari artikel ini, dan tidak memiliki afiliasi yang relevan.

Artikel ini awalnya diterbitkan pada Percakapan. Membaca artikel asli.

uni togel