Dakwah tentang orangutan melalui karya seni
- keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
Menyadarkan masyarakat akan berbagai permasalahan yang mengancam habitat orangutan tidak cukup hanya dengan pemberitaan. Center of Orang Utan Protection (COP) dan komunitas Gigi Nyala mencoba menghadirkan protes tersebut dalam bentuk seni.
YOGYAKARTA, Indonesia – Ada seorang perempuan muda dan dua orangutan. Wanita bertopi itu menanyakan satu hal yang dijawab dengan sedih oleh kedua orangutan itu: “Di mana rumahmu?” Demikian gambaran sederhana lukisan Asrijanto Nur Abadi.
Meski dilindungi undang-undang sejak tahun 1931, keberadaan orangutan terus terancam oleh kepentingan pertambangan dan perkebunan kelapa sawit.
Dalam salah satu gambar yang ditampilkan Center for Orangutan Conservation (COP), disebutkan orangutan dan satwa lainnya kehilangan 864 ribu hektar setiap tahunnya, karena 20 persennya dikonversi menjadi pertambangan, dan sisanya untuk perluasan perkebunan kelapa sawit. dianggap mempunyai nilai ekonomi yang tinggi.
COP berkolaborasi dengan komunitas Gigi Nyala menyelenggarakan pameran bertajuk Kehidupan Spesies Payung. Acara ini bertempat di Jogja National Museum dan berlangsung pada tanggal 31 Januari hingga 3 Februari 2015.
“Prosesnya dari awal memakan waktu sekitar 4 bulan. Ada beberapa hal yang perlu kita diskusikan agar kampanye ini dapat menyampaikan pesannya dengan baik. Jika untuk panggilan terbuka kepada artis selama sekitar satu setengah bulan. Kita buka panggilan terbuka seluruh Indonesia hingga akhirnya ada 94 seniman yang ikut serta, ada satu seniman yang mengirimkan dua karya, namun ada juga dua seniman yang berkolaborasi dalam satu karya,” ujar Ervance Dwi Putra, salah satu pendiri komunitas Gigi Nyala, mengatakan Selasa. (3/ 2), pada pameran.
Pameran ini diadakan untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian para insan gutan dari komunitas seni dan masyarakat umum. “Kami ingin pesan lebih lanjut mendukung COP mengkampanyekan tindakan mereka dalam merehabilitasi dan menyelamatkan orangutan dari industri dan pihak yang tidak bertanggung jawab. “Kami ingin menyebarkan isu ini seluas-luasnya kepada komunitas seni dan masyarakat umum,” jelas Ervance Dwi Putra tentang harapan diadakannya pameran ini.
“Seni adalah media cair yang menyampaikan pesan”
Ada 3 permasalahan utama yang dialami orangutan, yaitu sirkus atau pertunjukan orangutan, pembantaian atau penjualan orangutan secara ilegal. Ketiga permasalahan tersebut tersampaikan dengan baik melalui karya seni berupa lukisan, gambar, patung, dan instalasi seni.
Pengunjung diperlihatkan bagaimana orangutan menghadapi permasalahan kompleks melalui media seni yang ditampilkan di tiga ruang pameran dan koridor yang menghubungkan ruang-ruang tersebut. Seni merupakan media yang cair untuk menyampaikan pesan, sehingga sangat cocok untuk kampanye peningkatan kesadaran terhadap orangutan.
Pameran yang merupakan bagian dari aksi Art for Orangutans ini merupakan bagian dari rangkaian aksi COP setelah sebelumnya menggelar rangkaian kegiatan Song for Orangutans. Yogyakarta menjadi kota pertama yang menyelenggarakan kegiatan Art for Orangutan. Kedepannya diharapkan dapat menyebar ke kota-kota lain sehingga cakupan kampanye ini semakin luas.
Salah satu isu yang menarik pengunjung adalah eksploitasi orangutan untuk sirkus. Bagi pertambangan dan perkebunan kelapa sawit, seolah-olah kita bisa langsung melihat kenyataan yang ada, yaitu kehilangan habitatnya dan sengaja “disembelih” agar tidak mengganggu kepentingan ekonomi.
Meningkatkan kesadaran
Sementara itu, mayoritas masyarakat kita masih belum menyadari bahwa sirkus atau pertunjukan yang melibatkan orangutan merupakan bagian dari eksploitasi hewan yang dianggap berkerabat dekat dengan manusia.
“Saya berfoto dengan binatang, saya menonton sirkus, saya juga menonton topeng monyet. Namun setelah mengetahui bahwa hal tersebut merupakan eksploitasi besar, saya menyadari bahwa hal tersebut bukanlah hal yang baik untuk dilakukan. Mulai dari pelatihan yang menyiksa, pengobatan yang tidak memadai dan perumahan yang tidak memadai. “Kita harus mengembalikan sifat mereka sebagai satwa liar,” jelas Ervance Dwi Putra yang masih berstatus mahasiswa Modern School of Design.
Tentu pihak penyelenggara ingin agar pesan yang disampaikan tidak berhenti meningkatkan kesadaran masyarakat, namun suara mereka bisa didengar oleh pemerintah agar bisa lebih tegas dalam melindungi orangutan. Jangan hanya percaya pada perusahaan yang memiliki slogan “Bangun, Jaga, Lestarikan adalah komitmen kami”, namun kenyataannya justru eksploitatif.
Sedangkan bagi kita yang tidak mempunyai kewenangan untuk membuat peraturan perundang-undangan atau kebijakan, kita bisa ikut serta dalam perlindungan orangutan. Seperti yang dijelaskan oleh COP, “Salah satu upaya untuk melestarikan orangutan adalah dengan menjaga habitatnya yang kini sudah sangat rusak. Selain itu, Anda juga harus memperhatikan cara Anda memperlakukan hewan tersebut dengan memperlakukannya sebagai bukan mainan dan tidak dipertimbangkan untuk diperdagangkan.” -Rappler.com