Dampak perubahan iklim tidak membeda-bedakan
- keren989
- 0
Beberapa bulan lalu, tepatnya Maret 2015, Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama yang biasanya selalu tampil fit terpaksa bolos kerja.
Ternyata dia terkena demam berdarah meski tidak dirawat di rumah sakit. “Saya tidak dirawat di rumah sakit, anak saya juga terkena demam berdarah,” kata Ahok saat itu.
Lalu dari mana datangnya Ahok yang memimpin salah satu kota terpadat di dunia dengan 10 juta penduduk itu saat ia dilanda wabah nyamuk Aedes aegypti?
“Di rumah, pos asisten dan satpamnya kotor, nih. “Sampai dispensernya dapat jentik,” ucapnya.
Meski rumah Ahok terletak di kawasan perumahan yang cukup elit di kawasan Pantai Mutiara, Jakarta Utara, namun nyamuk Aedes aegypti tampaknya tidak difavoritkan.
“Yang namanya demam berdarah, tidak memandang umur, kaya atau miskin, tinggal di kota atau desa, nyamuk tidak pilih-pilih. “Baru kemarin Ahok terkena demam berdarah,” kata Budi Haryanto, kepala penelitian Pusat Penelitian Perubahan Iklim Universitas Indonesia.
Menurut Budi, hal ini menunjukkan dampak perubahan iklim terhadap kesehatan yang dapat menimpa semua orang.
Logikanya iya, misalnya curah hujan meningkat, suhu terus meningkat karena perubahan iklim, inilah yang mendorong jumlah nyamuk semakin banyak. “Air hujan banyak yang terkumpul dimana-mana, menjadi media bertelur,” ujarnya.
Selain semakin banyaknya media nyamuk untuk bertelur akibat perubahan iklim, pemanasan global juga berdampak pada siklus hidup vektor penyakit seperti nyamuk.
“Meningkatnya suhu mungkin memperpendek umur rata-rata nyamuk, namun frekuensi makannya lebih sering,” kata Budi.
Misalnya, rata-rata suhu optimal untuk perkembangbiakan nyamuk malaria berada pada kisaran 25-27 derajat Celcius dan umur 12 hari. Namun akibat pemanasan global, suhu optimal berubah menjadi 32-35 derajat Celcius yang mempercepat metabolisme nyamuk, sehingga nyamuk cepat dewasa dan hidup hanya 7 hari.
Pada minggu tersebut, frekuensi pemberian makan juga semakin sering dan cepat, serta ukuran nyamuk juga semakin kecil dan lincah.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Asia Tenggara, saat ini infeksi demam berdarah di Indonesia telah menyebar ke lebih dari 29 provinsi dan meningkat secara signifikan hingga mencapai 80.065 kasus pada tahun 2010. Namun, sejauh ini belum ditemukan vaksin atau obat efektif untuk menyembuhkannya. penyakit..
Contoh lain dampak perubahan iklim terhadap kesehatan setiap orang adalah meningkatnya polusi udara akibat menipisnya lapisan ozon yang berfungsi sebagai pengatur suhu dan sinar matahari akibat pemanasan global.
“Tidak peduli kaya atau miskin, kita semua menghirup udara yang sama, bukan?” kata Budi.
Menurutnya, perubahan iklim disebabkan oleh penggunaan energi bahan bakar dan kebakaran hutan yang berdampak pada pemanasan global.
Kedua kegiatan tersebut, kata Budi, otomatis mengancam lingkungan dengan banyaknya asap akibat pembakaran energi dan hutan yang merusak lapisan ozon.
“Jika lingkungan tercemar, maka perlahan-lahan berbagai penyakit seperti demam berdarah, diare, malaria, ISPA akan menyerang masyarakat,” jelasnya.
Indonesia belum siap menghadapi pemanasan global
Sebuah laporan baru dari jurnal medis terkemuka dunia, Lancet, menemukan bahwa ancaman perubahan iklim terhadap kesehatan manusia begitu besar sehingga dapat melemahkan pencapaian manusia di bidang kesehatan masyarakat selama 50 tahun terakhir.
Sayangnya, Indonesia, sebagai salah satu negara paling rentan terhadap perubahan iklim, sama sekali tidak siap menghadapi dampak pemanasan global terhadap kesehatan, baik dari segi infrastruktur maupun kebijakan, aku Budi.
Ia merujuk pada hasil kajian pemetaan dan model kerentanan kesehatan akibat perubahan iklim di 21 kabupaten/kota di Indonesia yang dilakukannya bersama Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sejak awal tahun 2013.
Kesimpulan penelitian ini antara lain tingkat ketahanan seluruh kabupaten/kota yang diteliti ternyata mempunyai tingkat kerentanan yang tinggi terhadap penyakit malaria dan demam berdarah karena ketidakmampuannya dalam mengatasi dampak perubahan iklim.
“Kalau saya mau bilang, sama sekali tidak ada (persiapan pemerintah daerah) karena mereka tidak tahu belum,” kata Budi.
“Karena baru dianalisis oleh segelintir orang, maka analisisnya masih jarang, sehingga pemerintah daerah dan pemerintah pusat pun belum. sadar Betul, jadi sosialisasinya belum dilakukan. “Oleh karena itu, adaptasi kesehatan mendapat prioritas paling rendah,” ujarnya lagi.
Pemahaman masyarakat masih kurang
Menurut Direktur Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan, Wilfred H. Purba, kendala yang dihadapi pemerintah dalam pengendalian penyakit ini, selain perubahan iklim, adalah kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat terhadap penyakit ini serta dampak yang ditimbulkannya. .
Kendala lainnya adalah terbatasnya kualitas sumber daya manusia di bidang kesehatan, terutama di daerah terpencil, dan kondisi geografis, serta meluasnya penyebaran nyamuk, kata Wilfred.
Untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim, Kementerian Kesehatan sebenarnya telah memulai upaya adaptasi yang salah satunya dituangkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 1018/Menkes/Per/V/2010 tentang Strategi Adaptasi Perubahan Iklim Bagi Kesehatan.
“Masalahnya sekarang, khusus untuk kesehatan (dampak) (hanya dari perubahan iklim) hanya ada satu peraturan menteri kesehatan (Permenkes) untuk adaptasi kesehatan, itupun tidak pernah dilaksanakan karena tidak ada sosialisasi dan tidak ada. jelas siapa yang mau melakukannya,” kata Budi.
Oleh karena itu, menurutnya, perlu ada direktorat khusus di Kementerian Kesehatan yang menangani dampak perubahan iklim terhadap kesehatan sehingga bisa ada anggaran khusus untuk itu.
“Kalau mau menganggarkan di APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), siapa lagi? terkendali? Seharusnya di tingkat direktorat jenderal, sehingga bisa ditangani di tingkat direktur. Bayangkan di kementerian lain, seperti di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di tingkat I, ada dirjen, jadi mereka punya pendanaan, kata Budi.
Sementara itu, laporan Lancet merekomendasikan pemerintah berinvestasi pada energi terbarukan. Dengan ini, pemerintah tidak hanya mengurangi ancaman perubahan iklim, meningkatkan kualitas udara, dan mengurangi penyakit pernafasan dan jantung, namun juga mendukung teknologi yang dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat miskin lebih cepat dan lebih murah dibandingkan batu bara. —Rappler.com
Hans Nicholas Jong merupakan seorang penulis lingkungan hidup yang peduli terhadap isu perubahan iklim. Pekerjaan sehari-harinya adalah sebagai jurnalis untuk The Jakarta Post.